Beberapa hari aliran PDAM di rumah tersendat nyaris mampet, mendorong saya mengunjungi sumber mata air Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang yang memasok sumber PDAM Salatiga. Terhenyak melihat padatnya pengunjung terutama aktivitas mencuci tikar dan karpet, baru teringat inilah tradisi cuci tikar karpet jelang bulan Ramadhan. Beberapa kendaraan mengangkut hasil cucian yang sudah kering dijemur di sekitar sumber air, beberapa mengangkut cucian basah meneteskan air untu dijemur di tempat lain.
Sejenak saya minggir, berteduh di bawah kerimbunan pohon mengamati sekeliling. Hampir di setiap titik kawasan sumber air padat dengan pencuci tikar karpet. Sendau gurau menjeling diantara gerakan menyikat tikar karpet. Tak dipungkiri gelombang buih sabun deterjen tiada henti meningkatan kepekatannya di air bening Senjoyo dengan bonus terseraknya aneka kemasan bungkusnya.
Semilir angin dan gemericik aliran air Senjoyo membisikkan pesan, amati dengan lebih bening dan jeli, mari lihat tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan adalah kearifan lokal pembaharuan komitmen relasi. Ah masa? Bagaima alur pikirnya?
Setiap titah ingin memasuki ibadah bulan puasa dalam suasana bersih. Secara wadag kedagingan indikator bersih dapat dimulai dengan sarana ibadah. Bukankah selama bulan puasa aktivitas di rumah ibadah meningkat, kegiatan taraweh dan aneka pendamping ibadah. Mari awali suasana bersih dengan tikar dan karpet masjid ataupun mushola yang bersih. Senyampang jelang puasa saatnya mencuci tikar dan karpet. Tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan sebagai ekspresi pembaharuan komitmen relasi dengan Sang Pencipta.
Pembaharuan komitmen relasi dengan sesama titah
Menggululung, menggotong serta mencuci tikar dan karpet masjid maupun mushola secara sendirian? Mana kuat? Apa enaknya dan mana keseruannya? Tradisi ini membuhul kebersamaan, terlihat kumpulan remaja masjid dengan suka cita melakukannya. Tak hanya remaja, ada juga para simbah, pakdhe paklik bulik yang ramai menyikat tikar dan karpet di Senjoyo. Tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan sebagai ekspresi pembaharuan komitmen relasi dengan sesama.
Pembaharuan komitmen relasi dengan alam sumber air
Mencuci tikar dan karpet rumah ibadah rame-rame dilaksanakan di kompleks masjid dan mushola tidak masalah. Tentunya diperlukan areal yang memadai. Kalau di sekitar rumah ibadah ada sumber air apalagi yang mengalir tentunya lebih mudah kan. Selain sumber air Senjoyo, kali Muncul di tepian Rawa Pening juga menjadi pilihan kegiatan tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan.
Sekian puluh tahun yang lalu kegiatan cuci tikar karpet mungkin cukup dengan disikat sabut kelapa atau sesekali dengan perasan daging buah lerak (Sapindus rarakDe Candole) yang bersifat alami. Seiiring waktu penggunaan sarana bantu deterjen semakin marak tentunya plus kemasan praktisnya.
Tersirat pengakuan ketergantungan pada sumberdaya alam air untuk mendukung tradisi ini. Ada saat sumber air melimpah ada saat sumber air terasa berkurang. Ketergantungan ini akan menumbuhkan relasi saling membutuhkan yang pada gilirannya menumbuhkan rasa ingin memelihara kelestariannya. Tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan sebagai ekspresi pembaharuan komitmen relasi dengan alam.
Dengan pendekatan perspektif kearifan lokal tak pelak ritual cuci tikar karpet ini dapat dikemas menjadi bagian wisata, sarana edukasi relasi yang semuanya bermuara pada harmoni dan keselarasan. Ajakan meningkatkan ketaqwaan diwujudnyatakan dalam guyubnya persaudaraan dan cinta pemeliharaan alam sekitar semisal meminimalkan polutan. Aha ternyata ya tradisi cuci tikar karpet jelang ramadhan adalah wujud  kearifan lokal pembaharuan komitmen relasi baik relasi dengan Sang Pencipta, sesama maupun dengan alam sumberdaya air. Selamat cuci tikar karpet dan bebersih hati. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H