Baju yang dibelipun juga punya kasta, selesai idul fitri dipakai kemudian menjadi baju bepergian. Setelah baju bepergian luntur warnanya, jadi baju sehari-hari.Â
Setelah ada yang bolong turun kasta menjadi baju tidur. Hingga ketika sudah tak layak dipakai turun kasta menjadi gombal untuk mengelap debu di sekitar benda rumah.
Ketiga, papan dan kendaraan. Selain pangan dan sandang, papan atau rumah ini penting untuk dimiliki sebagai tempat berteduh untuk melepaskan kepenatan.Â
Terlepas ini milik sendiri atau kontrak/kos, individu tersebut harus sadar dengan kebutuhannya. Seseorang bisa saja memutuskan untuk mengontrak selama masa produktifnya di  kota besar di Jakarta. Namun di kampung halamannya dia membeli rumah untuk tempat berteduh masa tuanya.
Kehidupan seperti itu tentu lebih baik daripada mengontrak rumah mewah hanya untuk gengsi karena malu beli rumah yang kecil walau milik sendiri.Â
Demikian pula dengan kendaraan pribadi, Terlalu memaksakan membeli kendaraan mahal, padahal kebutuhan pangan, sandang, dan papan masih kurang. Sehingga baru menyicil beberapa bulan terpaksa kendaraan tersebut harus dijual dengan harga yang menyusut.
Banyak orang yang lebih mengutamakan gengsi daripada fungsi, yang memperumit hidup mereka sendiri. Frugal living adalah oposit dari gaya hidup yang lebih mementingkan gengsi daripada fungsi.Â
Namun, perlu dipahami bersama, bahwa frugal living tidak berarti membeli barang yang murahan. Melainkan efektivitas dan efisiensi barang sesuai kegunaan.
MIsalkan saja, seorang penulis mungkin hanya akan membutuhkan sebuah laptop dengan kisaran harga 5-10 juta rupiah. Namun ketika si penulis ingin menjadi content creator, laptop yang dimilikinya perlu di-upgrade pada kisaran harga 10-20 juta rupiah.Â
Hal ini karena fungsi dan daya guna yang berbeda. Karena software edit video hanya bisa berfungsi optimal pada spesifikasi laptop diatas 10 juta rupiah.