Mohon tunggu...
novy khayra
novy khayra Mohon Tunggu... Penulis - Aspire to inspire

Novy Khusnul Khotimah, S.I.Kom, M.A, SCL - Pegawai Negeri Sipil - Master Universitas Gadjah Mada - Penulis Buku -SDG Certified Leader

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Masih Ada Rasisme dan Arogansi di Antara Kita?

20 Januari 2022   11:19 Diperbarui: 20 Januari 2022   11:25 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : zonapengertian.com

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti (Al-Hujurat:13)

Buntut pernyataan anggota DPR RI yang meminta Kajati dicopot karena memakai bahasa Sunda menjadi perbincangan publik. Bahkan sudah ada spanduk di tengah kota Bandung yang menyatakan "Arteria Dahlan musuh orang Sunda". 

Terlebih hingga saat artikel ini ditulis, yang bersangkutan belum meminta maaf kepada masyarakaat Sunda. Alih-alih meminta maaf, malah berdalih untuk mencegah berdirinya Sunda Empire di Kejaksaan Agung. Padahal Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah menghimbau agar Arteria Dahlan meminta maaf atas pernyataan tersebut.

Pernyataan memecat Kajati hanya karena penggunaan bahasa Sunda ditambah dengan dalih mencegah Sunda Empire tentu tidak layak dilakukan oleh tokoh publik terlebih salah seorang anggota DPR. 

Bagaimanapun, pernyataan tidak relevan dan menyinggung perasaan 40 juta pemasyarakat Sunda di Indonesia atau sekitar 15% komposisi penduduk di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Karena hal ini bentu rasisme terhadap suku tertentu. Dengan kata lain megkianati slogan nenek moyang yang masih kita pertahankan hingga sekarang. "Bhinneka Tunggal Ika"

Lalu bagaimana menyikapi pernyataan seperti ini agar tidak menjadi api dalam sekam dan merembet kemana-mana?  Bagaimana pula rakyat Indonesia untuk bersikap bijaksana agar tidak mengulangi kesalahan yang sama yang dapat berakibat ketidakharmonisan antar sesama?

Rasisme, Perundungan, dan Polarisasi di Negeri ini

Pernyataan rasis semacam ini, sebenarnya sudah sering terjadi di negeri ini. Istilah "Kadrun"(Kadal Gurun), "Kampret", "Cebong" adalah bentuk julukan buruk bagi orang-orang di luar lingkungan kita. 

Tidak hanya sebatas sebutan, bahkan ada yang mengaku Habib tapi mengatakan bahwa "Arab adalah bangsa yang tidak punya budaya jika tidak Kakbah disana." 

Pernyataan seperti ini tentu saja kontroversial, karena tidak hanya akan membuat tersinggung orang keturunan Arab di Indonesia tapi juga orang Arab asli di Timur Tengah sana. Selain pernyataan ini ada beberapa lagi, pernyataan rasis terutama sejak mencuatnya media sosial 10 tahun belakangan ini.

Menilik kasus Artheria Dahlan, bagaimana sebaiknya dia bersikap terhadap orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti? Pertama, Ada baiknya untuk meminta yang bersangkutan menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dimengerti bersama. 

Sedikit banyak saya mengerti perasaannya, karena saat pertama kali saya hidup di tanah Sunda, saya juga tidak paham bahasa Sunda. Seiring waktu dengan kita open minded bahasa lain malah memperkaya khasanah kecerdasan kita. 

Selama bahasa daerah yang digunakan lawan bicara kita tidak bermaksud merendahkan atau menghina kita, selama itu juga kita tidak perlu emosional apalagi temperamental. Kecuali menggunakan bahasa kasar yang bermaksud menyinggung, akan berbeda ceritanya.

Kedua, hal yang perlu disadari ketika telah melakukan kesalahan yaitu minta maaf. Bukan mencari dalih pembenaran terhadap pernyataan kita yang salah. 

Hanya berbicara Sunda secara serta merta tidak akan memunculkan Sunda Empire. Terlebih Sunda Empire di Kejaksaan Agung yang notabene seluruh pegawainya sudah terikat sumpah berbakti pada Indonesia sebagai abdi negara.

Cacat logika atau sesat pikir semacam ini sering terjadi dimasyarkat, seperti pemakaian cadar, jegot panjang, celana cingkrang yang diidentikkan dengan terorisme dan pendirian khilafah Islam di Indonesia. 

Wanita keluar malam diidentikkan perempuan nakal, pelacur didentikkan manusia sampah, pecandu narkoba dianggap aib, orang miskin dianggap beban negara, dsb.  

Penarikan kesimpulan semacam ini memiliki premis-premis terlalu lemah yang berbahaya jika dicerna bagi masyarakat yang kurang pendidikan dan suatu bentuk kedzaliman.

Tegas Bukan Berarti Arogan

Sikap tegas adalah bentuk sikap yang baik jika konteksnya sesuai yaitu "nahi munkar" atau memerangi keburukan. Namun ketika sikap tegas salah konteks dan salah subjek atau objek adalah bentuk arogansi. 

Saya akui salut dengan beberapa anggota DPR yang bersifat tegas pada beberapa kementerian yang menghabiskan anggaran terlalu banyak untuk riset tapi outcomenya kurang. 

Beberapa yang lain mempertanyakan kinerja nyatanya pada pimpinan BUMN yang tidak bisa menunjukkan data yang lengkap padahal anggaran terkuras.

Namun, menurut saya apa yang dilakukan Arteria Dahlan nyaris suatu bentuk arogansi karena meminta pencopotan  seorang Kajati hanya karena memakai bahasa Sunda. Seolah bahasa Sunda adalah bentuk kriminal yang  harus dihukum. 

Arogansi anggota DPR juga pernah ditampakkan dengan melarangnya KPK untuk melakukan tidak penyadapan bahkan mengusir dari gedung dan mengatakan bahwa DPR adalah DPR tempat suci. Sungguh lucu dan arogan sekali..

Terakhir, mewakili suara rakyat , saya ingin menyampaikan data tingkat kepercayaan rakyat Indonesia terhadap DPR.   Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik dalam dua posisi terbawah lembaga yang dipercaya publik.

Lembaga yang paling dipercaya publik adalah Tentara Nasional Indonesia (95 persen), diikuti gubernur (91 persen), bupati/wali kota (90 persen), presiden (88 persen), pemerintah pusat (85 persen), Komisi Pemberantasan Korupsi (83 persen), dan seterusnya.Sedangkan sebanyak 71 persen responden menyatakan percaya kepada DPR dan 65 persen yang percaya kepada partai politik.

 Berdasarkan survey ini seharusnya menjadi catatan penting bagi para wakil rakyat untuk sadar dan mawas diri. Mampu menjaga sikap dan berhati-hati, serta  tidak menunjukkan arogansi dengan cara tidak menyingung suku tertentu atau menyalahgunakan kekuasaan untuk mencopot jabatan orang lain. Terlebih tuduhan yang hanya bersifat kecurigaan terhadap paham tertentu yang tidak bisa dibuktikan.

Wallahu alam bisshowab

Sumber :

https://nasional.tempo.co/read/1435647/survei-lsi-soal-kepercayaan-publik-dpr-dan-parpol-urutan-paling-buncit/full&view=ok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun