Mohon tunggu...
novy khayra
novy khayra Mohon Tunggu... Penulis - Aspire to inspire

Novy Khusnul Khotimah, S.I.Kom, M.A, SCL - Pegawai Negeri Sipil - Master Universitas Gadjah Mada - Penulis Buku -SDG Certified Leader

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecacatan Logika dalam Pemberantasan Korupsi

10 Desember 2021   14:10 Diperbarui: 10 Desember 2021   14:12 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau bisa hidup itu, jadilah orang yang pintar dan benar. Jika harus memilih salah satunya, maka pilihlah menjadi orang benar bukan sebaliknya. Orang benar bisa dipintarkan, tapi orang pintar susah dibenarkan.Karena orang pintar punya mahzab yang sulit terbantahkan yaitu Thariqah Ngeyeliyah".

Kalimat diatas saya tonton dari cuplikan video ustadz ceramah di media sosial yang menggunakan bahasa jawa. Meski tidak dicantumkan namanya dan tiidak termasuk populer, menurut saya isinya sangat relatable dengan fenomena korupsi di Indonesia saat ini.

Pelaku tindak pidana korupsi biasanya adalah orang-orang pintar namun tidak benar. Kenyataannya, Pelaku pidana korupsi sebesar apapun nominalnya walau bisa terjerat hukum, hingga saat ini belum pernah ada yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia.

Berbeda dengan kejahatan narkoba dan terorisme yang sudah beberapa episode pelakunya telah dijatuhi hukuman mati. Padahal jika dinilai berdasarkan dampaknya, ketiganya adalah kejahatan luar biasa. Lalu bagaimana membaca pemberantasan korupsi selama ini? 

Memaafkan Kejahatan dan Mengesampingkan Keadilan Bersenjatakan Kecacatan Logika (Logical Fallacy)

Mengutip Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata pada Peluncuran Desa Antikorupsi melalui Kompasiana (2021), Marwata berujar "Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede,"

Lebih lanjut, Kompasiana menambahkan kesimpulan pernyataan diatas yaitu jika korupsi kecil tidak perlu dipenjara, apakah itu membuat orang yang akan membuat korupsi besar jera? Sebuah kalimat retorik yang dipertanyakan kepada Kompasianer untuk beropini tentang hal ini.

Maka sebelum beropini lebih jauh, maka saya akan memaparkan kecacatan logika dari pernyataan Marwata . Pertama, Nilai nggak seberapa kala kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede." Kumpulan kata yang digarisbwawahi adalah bentuk penyepelean dengan kata "nggak seberapa" padahal kejahatan pencurian walaupun tidak seberapa tetaplah disebut kejahatan. Masih ingat kisah seorang nenek yang bernama Minah yang mencuri 3 buah kakao namun tetap dihukum penjara satu setengah bulan?

Bahkan Jaksa mendakwa Mbah Minah dengan telah melakukan pencurian tiga buah kakao seberat tiga kilogram yang menurut perhitungan harganya hanya Rp 2.000 per kilogram saat itu di pasaran. Mbah Minah disangkakan melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian. Sehingga Mbah Minah pun dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.

Kisah yang terjadi pada tahun 2009 silam ini bahkan pernah viral dan juga disebutkan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di hadapan Komisi III DPR pada Rabu 20 Januari 2021. Jenderal Listyo mengatakan bahwasanya tidak boleh lagi ada hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Dengan kata lain, "nilai nggak seberapa" itu adalah hal yang relatif tidak sepantasnya dimaafkan kecuali oleh yang dirugikan. Seperti kasus Mbah MInah, pada dasarnya dia tidak perlu menjalani hukuman bilamana si penggugat mencabut laporan. Artinya, jika kepala desa yang korupsi "nggak seberapa" itu bisa tidak diproses bilamana seluruh warga desa yang dirugikan itu memaafkan tindakannya.

Kecacatan Logika yang kedua, diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede. Pernyataan ini menunjukkan secara tidak langsung mengatakan bahwa mahalnya keadilan di negara kita, Indonesia. Biaya lebih gede ini mungkin meliputi banyak hal seperti ongkos transportasi bolak-balik kantor, lembaga hukum, sewa pengacara, boros waktu, atau mungkin ada faktor lain yang mungkin jauh lebih mahal. Kebanyakan orang menyebutnya rahasia umum. Karena kalau disebut negosiasi harga pasal mungkin terkesan fulgar.

Namun kenyataan pahit seperti ini akan sampai kapan terjadi? Ketika privilege tidak berpihak pada yang benar namun lemah? Padahal keadilan seharusnya berpihak bukan pada yang kuat atau lemah, melainkan pada yang benar. Siapapun itu atribut dibelakangnya.

Karena yang lemah bisa saja salah dan yang kuat bisa saja benar. Semisal kasus kecelakaan antara pemotor dan pengendara mobil, tidak jarang yang disalahkan adalah pengendara mobil, padahal bisa jadi pengendara motornya yang ugal-ugalan. Kecuali setelah dibuktikan dengan kamera pengawas.

Dengan pernyataan proses peradilan biayanya lebih gede, masyarakat jadi khawatir jika ingin mencari keadilan. Seperti kasus tempo hari yang viral mahasiswa kasus bunuh diri dan aborsi Novia Widyasari ,  Komisioner Komnas HAM (Indozone, 2021)  Beka Ulung Hapsara  mengungkap fakta bahwa laporan Novia sempat ditolak polisi.

"Jajaran kepolisian atau propam yang menolak pengaduan almarhumah Novia terkait tindakan yang dilakukan Randy. Harus didalami mengapa pengaduan almarhumah Novia ditolak," ujar Beka.

Dengan kata lain, tersangka yang diadukan korban mendapat privilege karena memiliki kesamaan profesi dengan pemroses hukum. Padahal hukum seharusnya tidak memandang latar belakang tersebut, melainkan kasus itu sendiri terlepas siapapun orangnya yang benar atau salah. 

Keadaan proses peradilan seperti ini tidak semata-mata salah dari aparat hukum, melainkan juga persepsi kolektif masyarakat yang menganggap jabatan adalah privilege luar biasa diatas kebenaran itu sendiri. Hal ini menjadi kecacatan logika kolektif bahwa biaya peradilan adalah mahal. Lalu pasrah pada keadaan tanpa melakukan usaha perjuangan untuk meraih keadilan tersebut. Sehingga muncul lagi  kecacatan logika kolektif yang lebih salah kaprah bahwa karena mahalnya proses peradilan ini, hukum hanya bisa dibeli oleh orang kaya atau yang banyak duit saja.

Last but not least, mengutip pernyataan yang dibuat oleh Lord Acton, seorang sejarawan Inggris pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority, still more when you superadd the tendency or the certainty of corruption by authority. There is no worse heresy than that the office sanctifies the holder of it."

Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup. Orang besar hampir selalu orang jahat, bahkan ketika mereka menjalankan pengaruh dan bukan otoritas, terlebih lagi jika Anda menambahkan kecenderungan atau kepastian korupsi oleh otoritas. Tidak ada bid'ah yang lebih buruk daripada jabatan yang menguduskan pemiliknya.

Kumpulan kalimat ini harusnya menjadi pengingat bagi semua orang yang punya jabatan dan yang menginginkannya. Karena hal yang patut kita sadari bahwa mengapa korupsi masih tumbuh subur di negeri ini tidak semata-mata salah oknumnya, melainkan sistem dan persepsi kolektif kita. Persepsi kolektif bahwasanya pembenaran cacat logika terhadap perilaku salah. Perilaku yang demi mendapatkan posisi tertentu harus melalui suap dan orang dalam. Sehingga mengabaikan nilai moral dan nilai kebaikan-kebaikan lainnya.

"Janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan." (HR Muslim)

Wallahualam Bisshowab.

Referensi : 

https://www.liputan6.com/news/read/4463927/ini-kasus-nenek-minah-yang-disinggung-calon-kapolri-listyo-sigit-prabowo

https://www.indozone.id/news/BysADj8/terkuak-paksa-aborsi-dan-tolak-nikahi-novia-randy-bagus-ternyata-punya-selingkuhan/read-all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun