Mohon tunggu...
novy khayra
novy khayra Mohon Tunggu... Penulis - Aspire to inspire

Novy Khusnul Khotimah, S.I.Kom, M.A, SCL - Pegawai Negeri Sipil - Master Universitas Gadjah Mada - Penulis Buku -SDG Certified Leader

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

4 Petikan Hikmah dari Ramadhan di Masa Pandemi

14 April 2021   12:41 Diperbarui: 14 April 2021   13:03 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya ketika sedang berumroh pada tahun 2019 di Jabal rahmah Arafah Saudi Arabia, sumber : dokumentasi pribadi.

Saya salah seorang kompasianer yang concern dengan isu covid 19 sejak kemunculannya di Indonesia setahun yang lalu. Covid 19 memang banyak mengambil kebebasan kita semua tidak terkecuali dalam ibadah. Ibadah puasa tahun 2020 mungkin adalah yang terberat daripada tahun-tahun sebelumnya.

Mengutip pepatah dalam bahasa Inggris : "What doesn't kill you, make you stronger." Covid memang telah membunuh banyak orang pada tahun 2020 lalu. Namun saya yakin bagi orang-orang yang tahun  ini telah telah lolos dari maut yang disebabkan oleh covid, mereka adalah orang-orang yang kuat dan tangguh.

Tidak hanya secara fisik dan ekonomi, melainkan juga secara emosi dan pertumbuhan spiritual. Lalu apa saja hikmah yang dapat kita petik dari ramadhan tahun lalu saat ditengah covid yang dapat menjadi pelajaran untuk ramadhan tahun ini? Berikut akan saya jabarkan apa saja menurut refleksi pemikiran saya :

1. PSBB dan PPKM Mengubah Fokus dari Ke luar Menjadi Ke dalam

Dalam rangka social dan physical distancing, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan sosial berskala Besar (PSBB) dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kedua aturan ini pada intinya adalah untuk mengurangi mobilitas masyarakat agar dapat meminimalkan infeksi penularan. Hal ini membuat kita mau tidak mau harus berkegiatan di rumah baik untuk bekerja atau menghibur diri.

Kita semua tidak dapat memungkiri bahwa keadaan sebelum munculnya covid-19 membuat kita selalu berfokus keluar. Kita bekerja, belakar, bermain, tidak terkecuali mencari kebahagiaan. Dengan dibatasinya mobilitas untuk keluar, pada akhirnya kita perlu untuk mau melihat diri kita kedalam.

 Berinstrospeksi, bermuhasabah diri, merenungi perjalanan hidup yang telah kita lewati, menghitung harta dan ilmu yang telah kita dapati, serta apa yang kita inginkan dan harapkan dimasa depan? Apakah kegiatan yang telah dan akan kita lakukan berarti atau sekadar mengisi waktu luang bahkan malah menimbulkan kerusakan?

2. Belajar Lebih Mementingkan Esensi Daripada Materi

 Pada saat ramadhan memunculkan budaya berkumpul bersama seperti ngabuburit, berbuka bersama, tarawih berjamaah, dan sahur bersama. Budaya yang demikian memiliki nilai positif seperti meningkatkan persaudaraan atau silaturahmi dan berbagi cerita, dan melepaskan stress karena sebagai ajang curhat.

Namun kadang ada perilaku yang kurang baik entah sadar atau tidak kita sadari. Seperti  karena keasyikan ngabuburit dan bukber malah meninggalkan solat Ashar dan Magrib bahkan Isya. Momen bedug magrib menjadi ajang untuk menggibah saudara kita yang lain yang diluar cricle. Selain itu, berbuka puasa menjadi ajang balas dendam karena seharian kelaparan. Sehingga meninggalkan makanan sisa yang kemudia dibuang sia-sia sebagai sampah.

 Bukankah jika melakukan demikian kita mencemari esensi dari ibadah puasa, antara lain Pertama, meninggalkan solat yaitu amalan yang tingkatnya lebih tinggi bila berdasarkan rukun Islam. Kedua gagal mengendalikan diri dari berbuat buruk yaitu menggunjing saudar yang lain. Kemudia ketidakmampuan menakar makanan yang muat ke dalam perut kita. Ketiga, membiarkan kemubaziran/ pemborosan terhadap makanan.

Ramadhan tahun lalu benar-benar kita dilarang untuk berbuka bahkan bertarawih bersama karena harus physical distancing. Setidaknya dari itu kita belajar bahwa esensi ramadhan adalah beribadah, bukan kumpul-kumpul. Mengendalikan diri dari rasa lapar, haus, dan perbuatan buruk bukan sekedar pemuasan nafsu makan dan menggunjung teman.

3. Terisolasi Menjadikan Kita Menghargai Alam dan Mendekatkan Diri pada Allah

Sebelum ada pandemi manusia disibukkan dengan rutinitas pada urusan yang menurutnya dapat member manfaat baginya. Manusia melakukan bekerja, belajar, bertamasya, dan sebagainya sesuai dengan keyakinannya dalam rangka mencapai kebahagiaan. Namun semua itu sirna jika harus dibentrokkan dengan pilihan untuk bertahan hidup. Orang-orang harus bersedia untuk mengisolasi diri jika masih ingin hidup lebih lama lagi.

Maka sejak itu, langit Jakarta jernih tampak awan bukan asap knalpot kendaraan dan  pembuangan sampah berkurang drastis. Sekalinya kita keluar dari rumah lalu bertamasya kealam terbuka, merupakan syukur yang luar biasa. Ternyata berkurangnya mobilitas berdampak signifikan bagi keberlangsungan alam yang dapat dinikmati juga oleh manusia.

Dengan mencintai alam membawa kita pada syukur atas ciptaan Allah. Dari sini pula kita kembali menemukan Allah. Tidak hanya dari ibadah ritual atau kesunyian, melainkan dari keindahan alam yang merupakan ciptaanNya.Tentu kita tidak ingin kehilangan keindahan ini karena kecerobohan kita dengan melakukan kerusakan, kan?   

4. Mulai Mempertimbangkan Gaya Hidup Minimalis dan Sederhana

Pandemi bagi kita mungkin mencengangkan karena kita adalah makhluk kemarin sore. Tapi tidak bagi bumi, yang dalam sejarah manusia setiap 100 tahun selalu terjadi pandemi. Bagi bumi, pandemic hanyalah masa detoksifikasi agar alam kembali seimbang. Sama halnya dengan puasa yang kita jalani adalah bantuk detoksifikasi selama 11 buat pencernaan kita harus terus bekerja, kemudian diistirahatkan dengan puasa.

Hikmah yang perlu kita pahami dari peristiwa ini adalah hidup harmonis dengan bumi. Dalam arti tidak melawannya dengan melakukan kerusakan alam yang akhirnya menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim ini tentu saja merugikan manusia seperti naiknya permukaan air laut, angin tornado, banjir besar, tidak terkecuali pandemi.

Mengapa tidak kita hidup minimalis dan sederhana untuk  berharmonisasi dengan bumi ? Bukankah yang terpenting bertahan hidup lebih lama dan bahagia sewajarnya? Tanpa menunggu nanti atau lusa namun hari ini. Bahagia dari hati bukan dari luar diri. Mari pandai-pandailah kita menyikapi hati di masa pandemi.

Breathe in, breathe out.

Say : Alhamdulillah.       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun