Bahasan Industri hiburan Korea Selatan memang tidak ada habisnya. Mulai dari K-Pop, K-Drama, bahkan baru-baru ini muncul istilah baru K-Zombie untuk menyebut film dan drama Korea Selatan tentang dunia per-zombie-an.Â
Dunia hiburan Korea Selatan dapat dikatakan cukup berhasil menggaet penggemar luar negeri. Tak heran, agensi hiburan negeri ginseng itu mulai menargetkan mancanegara sebagai pasar baru.Â
Hebatnya mereka mampu meningkatkan konsep beriringan dengan teknologi. Salah satu contohnya yaitu Aespa, girlgroup dengan konsep avatar. Apalagi metaverse sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, jadi banyak perusahaan industri hiburan yang juga turut serta meramaikan dunia digital.Â
Satu hal utama yang patut dikagumi dari hiburan Korea Selatan yaitu cara mereka memasarkan diri, konten, hingga karya. Saya rasa personal branding juga sangat berlaku di dunia hiburan Korea.Â
Saya ingat di salah satu kolom komentar sosial media, sebagai K-popers banyak netizen yang menganggap bahwa image Idol di layar kaca merupakan bagian dari branding alias bentukan agensi semata.Â
Ada yang kelihatan cool, human vitamin, lemah lembut, dan karakter baik lainnya. Idol harus menjaga citranya sebaik mungkin di depan penggemar. Salah-salah, kena cancel culture deh.Â
Salutnya lagi, mereka mampu membangkitkan industri lain yang secara otomatis tidak dianggap sebelah mata, yaitu dunia tari.Â
Beberapa bulan lalu ramai survival show Street Woman Fighter (SWF). Seakan tak ingin menyiakan euforianya, rentetan acara dengan peserta yang sama (SWF) dibuat oleh stasiun TV. Sebut saja SDGF*, We don't Bite : SWF, dan konser SWF.Â
Konsep acara mereka tidak jauh berbeda, yaitu untuk menjual kepribadian. Asumsi saya, bedanya branding peserta SWF dengan calon Idol yaitu mereka lebih bebas menjadi diri sendiri. Saya rasa hal itu yang saat ini lebih disukai penggemar.Â
Hasilnya, dunia tari  khususnya di industri hiburan Korea Selatan mulai dikenal sebagai kumpulan orang berbakat, kreatif, dan tentu saja memiliki kepribadian menarik.Â
Lalu, bisakah Indonesia meniru mereka?Â
Sayangnya, anak muda kita masih gemar dengan produk hiburan luar negeri. Saya juga tak menampik bahwa saya gemar mendengar musik maupun film berbahasa asing.Â
Alasannya ya satu, lebih menarik. Terlebih, akses untuk menonton dan mendengar juga mudah. Tinggal klik, swipe, klik lagi...
Ditambah, Industri hiburan kreatif kita masih didominasi dengan hal-hal berbau skandal dan sensasi.
Misal : Cekcok artis A dengan B
Ataukah mungkin cancel culture harus lebih digiatkan lagi di Indonesia. Saya rasa tidak bisa, apalagi karakter orang Indonesia itu pemaaf. Belum lagi narasi mematikan rejeki orang.Â
Akhir kata, dari K-wave kita belajar bahwa untuk mencapai suatu tujuan dibutuhkan dukungan berbagai pihak. Media hiburan Korea Selatan yang mendukung dengan berbagai acara, pemerintah dengan menjadikan dunia hiburan sebagai promosi pariwisata, dan masyarakatnya yang mencintai produk dalam negeri. Sampai terkadang orang baru non-Korea di dunia hiburan sana sulit untuk diterima di industri.Â
*Catatan
SDGF : Street Dance Girl Fighter
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI