Lalu saya menjawab, “Saya tidak apa-apa kalau lama, Pak. Sebulan atau setahun tidak masalah. Asalkan panjenengan mau membaca, saya akan tunggu,” balas saya. Walhasil, naskah saya diterima Pak Suparto.
Tapi yang terjadi selanjutnya justru membuat saya kaget. Beliau berhasil merampungkan bacaan hanya seminggu. Padahal naskah saya jumlahnya 560 halaman. Sementara, sebelumnya beliau bilang tidak bisa membaca cepat.
“Kok cepat, Pak?” tanya saya.
“Iya mas, apik. Saya malah penasaran untuk baca terus,” jawabnya.
[caption id="attachment_314659" align="alignnone" width="526" caption="Saya dan Suparto Brata, Sastrawan Indonesia."]
Syukurlah, Pak Suparto memberi respon positif. Tak lama, beliau mengirimi tulisan yang cukup panjang. Di akhir tulisan beliau menulis begini: Tulisan ini saya buat sejujur-jujurnya dari perasaan saya setelah membaca buku tersebut. Jika Mas Novi tidak berkenan, silahkan dihapus.
Saya membaca memang banyak saran dan masukan, tetapi banyak juga kritik. Beliau mengatakan, selama memberi komentar ke penulis-penulis buku, dia paling suka mencari kesalahan dari penulis.
Sayangnya, kata Pak Suparto, rata-rata penulis tidak suka dikritik. Beberapa komentar Pak Suparto ke penulis sering dihapus. Maklum, biar laku.
Salah satu komentarnya soal buku saya kutip: apakah penumpang keretapi dari Blora turunnya di Wonokromo, saya muat di sini. Hanya itu.
Yah, benar sekali. Ada satu tulisan saya di mana tokohnya naik keretaapi dari Blora dan turun ke stasiun Wonokromo. Itu jelas salah. Semua penumpang keretaapi jalur Pantura yang benar turunnya di stasiun Pasar Turi.
Tapi kritikan Pak Suparto justru bagi saya menarik. Karena dengan begini saya dan pembaca bisa belajar dari kesalahan. Justru kritikan beliau memberi banyak masukan. Karuan saya bilang ke beliau, “Saya masukan semua komentar panjenengan di Sekapur Sirih. Tidak ada yang ditambahi dan dikurangi. Komentar Pak Supartolah yang selama ini saya butuhkan. Terima kasih, Pak!”