Mohon tunggu...
noviyanto aji
noviyanto aji Mohon Tunggu... karyawan swasta -

biasa ajalah...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan

2 Maret 2014   01:39 Diperbarui: 9 September 2015   19:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhamdulillah, akhirnya novel saya yang berjudul Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan terbit. Novel ini saya tulis sejak tahun 2008. Namun baru 2014 naskahnya bisa terbit. Butuh waktu lama untuk membuat naskah ini. Selama 6 banyak perjalanan yang saya lalui dalam pembuatannya.

Awalnya saya menulis di Surabaya untuk beberapa bulan. Tapi kemudian terbentur pekerjaan, akhirnya saya merapat ke Jakarta. Tahun 2009, saya melanjutkan kontak dengan narasumber. Sayangnya, tak lama setelah itu kita putus komunikasi.

Di Jakarta tahun 2010, saya tetap meneruskan menulis. Sampai kembali lagi ke Surabaya, tetapi sayangnya naskah ini belum selesai juga.

Akhir 2010, saya sempat frustasi karena naskah belum juga selesai. Waktu itu saya memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi. Semula saya berpikir, biarlah naskah ini tidak jadi. Lebih baik saya buang ke laut.

Frustasi, karena saya kehabisan ide dan semangat.

Frustasi, karena orang yang menginspirasi saya menghilang.

Puncaknya pada awal bulan ketiga 2011, anak pertama saya lahir. Namanya Nagari Kanta Rafabli Indonesia. Di sini semangat saya muncul lagi untuk merampungkan naskah tersebut. Selama beberapa minggu saya berkeliling ke daerah-daerah, termasuk di Jogjakarta. Dan di Jogja ini ending buku saya buat.

Sayangnya, sepanjang tahun 2012 naskah ini mangkrak lagi karena saya terbentur kerja di media. Bahkan saya sempat mengupload sebagian naskah di kompasiana hingga 5 episode. Tapi kemudian saya tidak melanjutkan karena pekerjaan sebagai wartawan kembali menghabiskan waktu saya.

Memasuki tahun 2013, naskah pelan-pelan saya digarap dengan bantuan teman-teman layout dan grafis.

Tentang pelukis cover buku

Neneng, mungkin bagi teman-teman Kompasiana namanya masih asing. Bagi saya, awalnya juga asing. Sebelumnya saya tidak mengenal dia. Wajahnya pun baru. Sepintas dia tampak normal. Tapi sebenarnya dia anak tunagrahita, anak dengan kebutuhan khusus, anak dengan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga sebagai retardasi mental, itu istilah saat saya searching di Google. Tapi, bagi saya, dia biasa saja. Dia seperti kebanyakan anak-anak lain. Bahkan saat pertama kali melihat lukisannya berjudul Pose-yang dipajang di Balai Pemuda, saya seperti sudah mengenalnya cukup lama.

[caption id="attachment_314658" align="alignnone" width="640" caption="Neneng (tengah) diapit Kak Seto dan Kadinsos Surabaya Supomo."]

13936738531771054669
13936738531771054669
[/caption]

Namanya Neneng. Cuma itu, tidak ada nama kepanjangan. Mungkin juga, itu nama baru. Simpel saja. Dinas Sosial Surabaya yang menemukan Neneng pada 2009 saat ngamen di pinggir jalan, mungkin tidak tahu nama aslinya. Bisa jadi, mereka asal mereka-reka dan memberi nama 'Neneng' supaya mudah disapa dan dikenali. Asalnya tidak diketahui. Orangtuanya juga tidak jelas.

Oleh Dinsos, Neneng kemudian dititipkan ke Pondok Sosial Kalijudan. Bersama anak-anak terlantar, anak-anak jalanan, dan anak-anak tunagrahita lain, Neneng membaur. Dia diajari banyak hal. Neneng tidak pernah belajar di bangku sekolah. Dia, hanya diajari ilmu non akademisi. Seperti, melukis, memasak, membuat kue, menari, dan menyanyi.

Meski begitu, Neneng layak menjadi contoh bagi anak-anak seusianya. Dia berhasil menunjukkan bakatnya pada dunia. Lukisannya yang acak kadul (orang awam melihatnya), tak pelak banyak orang menaruh 'hormat' pada anak berkebutuhan khusus berusia 14 tahun tersebut. Salah satunya: saya.

Saya mengenal lebih dulu karyanya dibanding orangnya (Neneng). Ceritanya, saat itu saya sedang bingung mencari cover untuk buku ini. Semua isi sudah dilayout, tapi untuk cover tak kunjung selesai. Malahan saya sempat minta dibuatin teman-teman grafis di Jakarta untuk cover, ya itu, kok masih belum pas antara cover dengan isi. Sampai-sampai saya frustasi untuk tidak melanjutkan penggarapan buku ini. Sempat sih berpikiran untuk menggunakan lukisan untuk cover buku, tapi siapa yang mau melukis buat saya. Memang, saya mengenal beberapa pelukis, namun sewaktu melihat karya mereka, semuanya perfect, terlalu sempurna, terlalu apik. Sementara, saya tidak butuh kesempurnaan.

Nah, secara kebetulan saya mampir di Balai Pemuda. Di situ ada pameran lukisan anak tunagrahita. Saya melihat-lihat. Saya potret satu persatu. Hingga sampailah pada lukisan terakhir yang sebenarnya sudah saya lewati. Yaitu lukisan milik Neneng. Saya perhatikan dengan seksama lukisan tersebut. Saya renungi. Saya pandangi tanpa berkedip. Lukisan itu seperti bergerak, punya ruh. Seperti berbicara pada saya. Tak tahu kenapa, tiba-tiba sesuatu menjalar di tubuh. Merinding saya dibuatnya. Hati seperti teriris-iris. Jujur, saya menangis. Lukisan itu seperti mewakili naskah yang selama ini saya tulis, Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan.

Pelukisnya seperti hendak menunjukkan kerinduan yang mendalam terhadap seseorang. Siapa? Ibu, ayah, entahlah. Semua lukisan Neneng serupa. Tapi yang istimewa bagi saya, ya lukisan berjudul Pose yang kini saya jadikan cover buku.

Dari sekedar melihat karyanya, saya langsung tahu kalau Neneng memang anak istimewa. Dia mempunyai bakat unik dan alami. Dia melukis bukan dengan pikiran tetapi dengan hati. Jiwanya putih bersih. Ketika saya tanya, 'Neneng sukanya melukis apa?', dia menjawab, 'manusia'. Kenapa manusia? Dia menjawab dengan termenung kemudian dibalas cengengesan. Itulah sekilas tentang Neneng. Maaf, jika tak banyak yang bisa saya gambarkan soal pribadi Neneng. Cuma, saya mengagumi karya-karyanya yang luar biasa. Wajar jika Tempo menjulukinya Pablo Picass-nya Indonesia. Karena itu, melalui buku ini dan melalui karya Neneng, kami persembahan karya kami dari Surabaya untuk Indonesia.

Begawan Jawa

Saat itu, tinggal satu langkah: saya butuh endrosmen. Saat itu naskah dan cover selesai dilayout, tinggal komentar. Kebingungan kembali menghadang. Secara tidak sengaja, saya melihat tayangan JTV dalam program 'Di Balik Sebuah Nama'. Sosok Suparto Brata muncul. Beliau dikenal Begawan Jawa sekaligus Sastrawan Indonesia yang masih aktif menulis. Padahal usianya sudah lanjut, 82 tahun. (Banyak karya-karyanya bertumpuk di kamar. Kalau tidak percaya teman-teman Kompasiana bisa datang ke sana).

Langsung saja saya kontak produsernya yang juga teman saya Yoga. Saya minta alamat beliau. Dikasih. Saya pun meluncur ke rumah Pak Suparto. Awalnya beliau menolak saat saya beri naskah. Alasan beliau, usianya sudah tua dan tidak bisa membaca cepat. “Saya tidak bisa baca cepat, usia sudah tua. Mata juga rabun. Kalau saya baca, saya cuma bisa baca di pagi hari saat matahari muncul,” kata Pak Suparto.

Lalu saya menjawab, “Saya tidak apa-apa kalau lama, Pak. Sebulan atau setahun tidak masalah. Asalkan panjenengan mau membaca, saya akan tunggu,” balas saya. Walhasil, naskah saya diterima Pak Suparto.

Tapi yang terjadi selanjutnya justru membuat saya kaget. Beliau berhasil merampungkan bacaan hanya seminggu. Padahal naskah saya jumlahnya 560 halaman. Sementara, sebelumnya beliau bilang tidak bisa membaca cepat.

“Kok cepat, Pak?” tanya saya.

“Iya mas, apik. Saya malah penasaran untuk baca terus,” jawabnya.

[caption id="attachment_314659" align="alignnone" width="526" caption="Saya dan Suparto Brata, Sastrawan Indonesia."]

13936739371917542595
13936739371917542595
[/caption]

Syukurlah, Pak Suparto memberi respon positif. Tak lama, beliau mengirimi tulisan yang cukup panjang. Di akhir tulisan beliau menulis begini: Tulisan ini saya buat sejujur-jujurnya dari perasaan saya setelah membaca buku tersebut. Jika Mas Novi tidak berkenan, silahkan dihapus.

Saya membaca memang banyak saran dan masukan, tetapi banyak juga kritik. Beliau mengatakan, selama memberi komentar ke penulis-penulis buku, dia paling suka mencari kesalahan dari penulis.

Sayangnya, kata Pak Suparto, rata-rata penulis tidak suka dikritik. Beberapa komentar Pak Suparto ke penulis sering dihapus. Maklum, biar laku.

Salah satu komentarnya soal buku saya kutip: apakah penumpang keretapi dari Blora turunnya di Wonokromo, saya muat di sini. Hanya itu.

Yah, benar sekali. Ada satu tulisan saya di mana tokohnya naik keretaapi dari Blora dan turun ke stasiun Wonokromo. Itu jelas salah. Semua penumpang keretaapi jalur Pantura yang benar turunnya di stasiun Pasar Turi.

Tapi kritikan Pak Suparto justru bagi saya menarik. Karena dengan begini saya dan pembaca bisa belajar dari kesalahan. Justru kritikan beliau memberi banyak masukan. Karuan saya bilang ke beliau, “Saya masukan semua komentar panjenengan di Sekapur Sirih. Tidak ada yang ditambahi dan dikurangi. Komentar Pak Supartolah yang selama ini saya butuhkan. Terima kasih, Pak!”

Demikian soal pembuatan buku berjudul Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan. Semoga ini ada hikmahnya bagi pembaca Kompasiana.

Sinopsis

Suatu ketika Allea menemukan selembar surat di rumahnya Blora. Surat itu begitu misterius. Ditulis tangan oleh seseorang berinisial “D”. Dalam surat disebutkan nama ibunya yang telah menghilang selama 20 tahun. Wajar Allea menanyakan keberadaan ibunya. Sebab sejak umur 4 tahun, ibunya mencari kehidupan mengembara di luar Blora. Telah dewasa si gadis tanya pada neneknya, ibunya siapa, di mana, bagaimana riwayatnya. Ia ingin tahu dan ingin ketemu. Nenek tidak tahu banyak, sebab tinggal selamanya mengasuh si cucu di Blora yang sunyi, kehidupan si ibu di dunia hiruk-pikuk luar sana. “Ibumu itu perempuan aneh. Misterius. Nenek hanya menemukan tulisan ibumu, berhubungan dengan lelaki berinisial D”. Satu babak telah dilalui. Berbekal kenekatan dan selembar kertas ia menyisir kota satu ke kota lain. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah diari milik ibunya. Allea meyakini kedua orangtuanya masih hidup. Kitab Tertutup nama diari tersebut, menggiring Allea menelusuri jejak-jejak orang di masa lampau. Namun yang tidak disangka, ia selalu mendapati kisah-kisah yang sulit diterima nalar. Tak jarang Allea dikira kembaran Dewi yang telah bereinkarnasi.

Endrosmen

Membaca dari awal, tengah, sampai akhir, pembaca digelitik dengan umpan kemisteriusan makna kata, kalimat, ungkapan, peristiwa yang janggal atau tidak masuk akal atau menyalahi fakta. Terperangah karena salah tebak, umpan pancingan tak terduga, bahkan mengejutkan, tapi justru menantang pembaca merampungkan bacaannya, tidak putus asa untuk mencapai kepuasan hati; karena akhirnya toh pengarang memberikan solusi tebakan yang tepat. Yaitu akhir cerita! Tamatnya buku. Maka pembacaan buku ini diteruskan sampai tamat dengan semangat dulce et utile, seperti kata Horace. Salah satu kata kunci (keyword) cerita buku ini: Blora, bumi kelahiran banyak sasterawan terkenal dan legendaris. Apa ada titisan wahyu pada pengarang buku ini? Suparto Brata, Sastrawan Indonesia

Penulis: Noviyanto Aji
Cover: Neneng (anak Tunagrahita)
Halaman: 560
Penerbit: Booknesia
Jenis: Fiksi

Kontak person: 081553844425, 083879120255

 

Pin BB: 27FF5A1A

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun