Selasa, 27 Mei 2014.
Hari ini saya dan teman-teman berencana untuk piknik di pantai. Walaupun ini hari Selasa, tapi hari ini adalah hari libur Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW; hari peringatan bagi umat beragama Islam di Indonesia. Kami semua masing-masing bekerja di berbagai tempat; ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pegawai di instansi swasta, dosen, guru, dan juga ibu rumah tangga.
Beruntung sekali kami tinggal di Manokwari, kota kecil di Papua Barat yang punya banyak pilihan pantai untuk kami kunjungi. Kali ini kami memilih piknik di Pulau Lemon, pulau di seberang kota Manokwari, yang jarak tempuhnya hanya 5 menit menggunakan perahu motor. Seminggu sekali setiap hari Sabtu siang kami selalu pergi ke pulau ini. Kami pergi ke pulau ini untuk mengajar anak-anak di pulau ini membaca, menulis, dan berhitung. Nah, hari ini kami memilih ke pulau ini khusus untuk makan, bermain, dan berenang bersama anak-anak di pulau. Setelah puas bermain di pantai, anak-anak ini satu persatu menceburkan dirinya ke laut dan berenang. “Ayo, biasa Sabtu Kaka yang ajar kam orang toh, sekarang Kaka minta kam orang ajar Kaka berenang e (Ayo, biasanya kalau hari Sabtu kakak yang ajar kalian kan, sekarang kakak minta kalian yang ajar kaka berenang ya)”, pinta saya kepada anak-anak pulau.
Saya sebenarnya hanya bercanda, karena nyali saya tidak cukup besar untuk berenang di lautan seperti itu, tambah lagi saya memang benar-benar tidak bisa berenang. Tapi candaan saya malah ditanggapi serius oleh anak-anak. Salah satu anak bernama Abner malahan bersikeras mengajak saya berenang ke tempat yang lebih dalam. Saya hanya tertawa sambil melihat bagaimana caranya Abner dan teman-temannya berenang.
“Kaka begini e, Kaka bikin kaki dan tangan bergerak saja di air” (Kak, begini caranya. Kaki dan tangan digerak-gerakkan saja di air)”, kata Abner sambil menggerak-gerakkan kaki dan tangannya di air.
“Tra bisa tenggelam ka? (Tidak bisa tenggelam ya?)”, tanya saya dengan nada ragu.
“Ah, tra bisa Kaka, asal kaki dan tangan terus bergerak saja. Kalau Kaka kam bikin kaki dan tangan diam, baru kam tenggelam. Kaka, kam liat e. (Tidak bisa, Kak. Asalkan kaki dan tangan terus bergerak tidak akan bisa tenggelam. Kalau Kakak diamkan kakidan tangan barulah kakak bisa tenggelam. Coba kakak lihat contohnya begini),” kata Abner sambil memberi contoh kedua kaki dan tangannya yang tidak digerakkan di dalam di air. Perlahan-lahan badannya mulai tenggelam namun sesaat kemudian dia menggerak-gerakkan kaki dan tangannya untuk muncul kembali ke permukaan air. Ternyata teori berenang sangat sederhana.
Saya berkata kepada Abner dan kawan-kawan, “Yo sudah, Kaka coba e. Tapi kalau Kaka tenggelam, kam tolong Kaka e. (Baiklah, Kakak coba berenang ya. Tapi kalau kakak tenggelam, kalian tolong kakak ya)”.
“Iya, Kaka. Ayo Kaka, berenang, berenang. (Iya, kak. Ayo kak, berenang, berenang)”, anak-anak bersorak sambil menyemangati saya untuk berenang. Wajah mereka ceria sekali, sangat antusias untuk mengajari saya berenang. Abner sudah siap berenang di samping saya, tanda bahwa dia benar-benar siap menolong saya.
Akhirnya dengan sedikit keberanian dan bantuan dari Abner dan kawan-kawan, yeayyyyy saya bisa berenang!! Anak-anak senang sekali berhasil mengajari saya berenang, saya juga sangat senang untuk pertama kalinya tahu bahwa saya bisa berenang, hehe. Saking senangnya saya mengajak anak-anak berenang menyeberangi pulau.
Lagi-lagi saya berkata sambil bercanda, “Horeeeee, Kaka su tau renang, ayo tong pigi seberang pulau (Hore, Kakak sudah bisa berenang. Ayo kita berenang menyebrangi pulau)”, kata saya sambil menunjuk daratan di seberang pulau.