Mohon tunggu...
Novi Trihadi
Novi Trihadi Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Ketik

Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Universitas Siber Asia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Figur Kearifan Lokal sebagai Social Capital

28 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 29 Juli 2021   00:16 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Kajian tentang Papua biasanya selalu dikaitkan dengan tiga isu utama yang saling berkelindan yaitu konflik, politik, dan sumber daya alam. Konflik antara Papua dengan Jakarta, konflik antar suku bangsa,  dinamika politik relasi Papua dengan  pemerintah  pusat  (Jakarta),  dan pemanfaatan  sumber  daya  alam  yang dinilai tidak memberi banyak keuntungan untuk orang asli Papua (OAP). Pada perkembangannya dari sejak integrasi Papua (1963) ke Republik Indonesia hingga saat ini (2019) terjadi relasi dialektik antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua. Padahal bila kita mau lebih dalam memahami dan memaknai Papua sebenarnya memiliki kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Kekayaan yang memberikan nilai budaya kepada tatanan hidup dan relasi sosial. Kearifan lokal yang menjadi modal sosial (social capital) untuk membangun dan mengembangkan perdamaian di Tanah Papua.

Jika diteropong dari perspektif historis, dinamika sosial politik masyarakat Papua memiliki riwayat panjang. Faktanya Papua memang memiliki pengalaman historis yang berbeda dengan daerah lain di Nusantara. Perbedaan ini ditandai oleh masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya mengapa perkembangan nasionalisme Indonesia di Papua   memiliki corak berbeda. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada 1925 dan nasionalisme Indonesia pada 1945 di Papua. Menurut Richard Chauvel (2005) bahwa salah satu faktor penyebab munculnya nasionalisme Papua terletak pada perjalanan historis Papua yang menyangkut perbedaan dan persaingan antara orang Papua dan orang Indonesia (seperti, Ambon,   Kei, Manado, dan Sangir), baik sebelum Perang Pasifik 1942 maupun selama periode 1944-1962. Nasionalisme Papua lahir dari benih yang ditanamkan Belanda. Sementara benih nasionalisme Indonesia ditanamkan oleh orang Indonesia khususnya dari bagian timur. Oleh karena itu, orang Papua kemudian memiliki nasionalisme ganda (dual nationalism): Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia (Meteray: 19-27).

Namun,   faktanya   Pemerintah   Kolonial  Hindia   Belanda   (selanjutnya PKHB) saat itu mengesankan lebih memahami kultur orang Papua daripada posisi pemerintah Indonesia. Hal ini nampak pada pendekatan yang dilakukan PKHB kepada orang Papua. Dampaknya, orang Papua merasa "berbeda" dengan orang Indonesia. PKHB menempatkan beberapa orang Papua dalam posisi strategis birokrasi. Sementara pasca Papua menjadi bagian dari Indonesia, pemerintah menempatkan posisi orang Papua jauh di bawahnya. Beberapa jabatan starategis di masa PKHB di Papua diberikan kepada orang Papua. Sebaliknya, ketika Papua menjadi bagian dari Indonesia, beberapa jabatan pemerintahan di Papua tidak diberikan kepada orang Papua. Posisi-posisi tersebut diberikan kepada orang luar Papua  yang  dikirim  ke  Papua.  Problem  atau  isu  ini  dapat  menjadi  potret bagaimana  "posisi"  Papua  sebenarnya.  Pada  satu  sisi,  Papua  tidak  dapat dilepaskan dari nasionalisme Indonesia. Namun, di sisi lain, Papua belum merasakan detak  nasionalisme Indonesia dalam kehidupan kesehariannya. Orang Papua belum sepenuhnya merasakan manfaat menjadi bagian dari Indonesia (Afwan, 2015: 4). Hal inilah yang melatarbelakangi pasang surut relasi dialektis antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua.

Masalah klasik ini, akibatnya, tidak pernah lepas dari persoalan politik. Masing-masing pihak, antara pemerintah pusat (Jakarta) dan Papua, memiliki perbedaan   perspektif   yang tajam mengenai hal itu.   Indonesia berusaha mendesakkan isu nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Sementara orang Papua ingin dihargai sebagai pemilik tanah Papua. Dua perspektif ini melahirkan konflik panjang sejak era 1960-an hingga saat ini, meskipun banyak pihak berusaha mencari solusi kondisi ini. Menurut Muridan S. Widjojo (2009) kompleksitas persoalan Papua di tingkat nasional dan lokal dan dalam konteks konflik di Papua, fokus  pada  empat  isu  utama.     Pertama,   masalah   marjinalisasi   dan  efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal (transmigrasi) ke Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.   Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dalam konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan     untuk     Aceh           (Perdamaian     Helsinki     2005).     Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum.

Fokus kajian ini adalah potensi kearifan lokal di Papua untuk membangun dan mengembangkan perdamaian. Kekayaan kearifan lokal di Papua yang memberikan modal bagi mekanisme budaya dalam penyelesaian persoalan atau konflik di Papua. Sehingga akan terjadi relasi dinamis dan sinergis antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua.

METODE

Desain penelitian  fenomenologi sebagai asumsi-asumsi  dan  tindakan-tindakan  yang digunakan  peneliti  ketika  bergerak dari paradigma atau desain (srategi) penelitian menuju tahap pengumpulan data empiris di lapangan. Dengan desain fenomenologi peneliti berusaha memahami makna dari berbagai fenomena (fokus kepada fenomena),  peristiwa dan interaksi manusia dalam situasi yang khusus. Tekanannya diarahkan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku individu-individu (Creswell, 2014: 20; Jailani, 2013: 42; Rachman, 2015: 167). Dengan cara ini akan dapat dipahami makna dari berbagai peristiwa dalam kehidupan. Melalui strategi fenomenologi perhatian diarahkan pada interaksi sosial di antara warga masyarakat Papua   baik secara vertikal maupun horisontal. Pendekatan penelitian fenomenologi   merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman manusia  dan bagaimana manusia menginterpretasikan pengalamannya. Ditinjau dari hakekat pengalaman manusia dipahami bahwa setiap orang akan melihat realita yang berbeda pada situasi yang berbeda dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, metode dalam fenomenologis   ini   menekankan   kepada   bagaimana   seseorang   memaknai pengalamannya (Hardiansyah, 2013: 228; Hasbiansyah, 2008: 163; Jailani, 2013: 41; Novianti & Tripambudi, 2014: 119; Sudarman, 2014: 103). Menarik untuk dikaji bagaimana kearifan lokal Papua dalam mendukung perdamaian di Papua dan  dalam  memaknai  relasi  Ke-Papuaan  dan  Ke-Indonesiaan  dalam  dinamika relasi antara Pemerintah Pusat (Jakarta) dengan Papua (Jayapura).

Penelitian ini juga didukung metode sejarah untuk proses pengumpulan data hingga pelaporan hasilnya. Dalam metode sejarah dikenal tahap-tahap penelitian, yaitu: penelusuran sumber sejarah (historiografi), kritik sumber (verifikasi), interpretasi dan eksplanasi, dan penulisan sejarah (historiografi) (Garraghan, 1957: 33; Gottcshalk, 1986: 13; Renier, 1997: 113-118; Suhartono, 2010: 29-56). Heuristik merupakan langkah awal dari penelitian ini yang berisikan kegiatan penelusuran sumber sejarah. Konsekuensi logis di dalam metode sejarah, setelah penulis berhasil mengumpulkan data yang diperlukan adalah melakukan kritik sumber, baik secara eksternal maupun internal. Kritik eksternal digunakan untuk menilai otentisitas sumber, sedangkan kritik internal digunakan untuk menilai  kredibilitas  sumber.  Fakta  sejarah  yang  dihasilkan  dari  proses  kritik sumber sejarah bersifat tunggal. Untuk mengaitkan antar sumber dilakukan proses penafsiran atau interpretasi dan penjelasan hubungan antar fakta (ekplanasi). Interpretasi meliputi interpretasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Penulisan sebagai tahap akhir dari penelitian memperhatikan aspek kronologis, dan penyajiannya berdasarkan tema- tema penting dari setiap perkembangan obyek penelitian. Aspek-aspek non individu menjadi narasi penting dalam kajian ini dalam bingkai waktu sehingga digunakan  analisis  prosesual  dan  struktural  (Kartodirdjo,  1992;  Kuntowijoyo, 2003; Wasino, 2016: 64).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebhinekaan Suku Bangsa dan Kesadaran Identitas Papua

Papua  memiliki keragaman suku bangsa yang mencapai ratusan meskipun jika dirumpunkan dapat dikelompokkan hanya dalam beberapa suku bangsa. Di Papua ragam ras juga menonjol, perbedaan mendasar mengenai suku bangsa ini adalah ras Melanesia dan Austronesia. Melanesia adalah ras asli orang Papua, sementara  Austronesia  adalah  ras  pendatang,  yang  berasal  dari  Aceh,  Batak, Bugis,  Buton,  Gorontalo,  Jawa,  Madura,    Makassar,  Manado,  Nias,  Padang, Toraja dan lainnya. Konstruksi tentang ras asal ini seringkali mempengaruhi jalinan sosial (termasuk transaksi ekonomi). Namun, dalam rentang waktu yang lama, konstruksi ini perlahan bukan menjadi masalah serius. Problemnya bukan lagi tentang ras asal, melainkan tentang bagaimana memperoleh akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (Asia Report No 154 -- 16 June 2008: 13). Agenda utamanya sekarang adalah bagaimana orang Papua dapat mempertahankan lima aset utama mereka: aset alam, aset manusia, aset sosial, aset budaya, dan asset ekonomi. Menurut Rizzo (Afwan, 2015: 53) bahwa Kristen tidak memiliki peran besar dalam pembentukan identitas Ke-Papuaan. Warga Papua sendirilah yang berhasil membangun identitasnya. Sebelum kontak dengan orang luar, sebenarnya mereka sudah kuat identitasnya. Rizzo lebih jauh memaparkan bahwa Kristen tidak memiliki konstribusi dalam terbentuknya nasionalisme orang Papua. Menurutnya, orang Papua memiliki identitas suku bangsa yang berbeda sebelum bangsa Eropa masuk ke wilayah ini. Identitas orang Papua Barat dibentuk oleh proses adaptasi terhadap lingkungan sekitar dan hubungan dengan pihak luar: Maluku-Papua-Ceramese. Jadi, identitas orang Papua, sebelum kedatangan identitas etnis dari penjajah, telah terbentuk. Pembentukannya melalui dan berbentuk sekumpulan mitos dan cerita. Hal ini menjadi daya dorong utama dalam membentuk  hubungan  yang  dinamis  dengan  bangsa  Eropa  dan  Kristen.  Jadi Kristen  tidak  membentuk  orang Papua  dan  nasionalisme  Papua. Tetapi  orang Papua sendiri sebenarnya sudah mengetahui tentang identitas diri mereka.

Identitas Ke-Papuaan tersebut makin menguat seiring dengan sejarah pergolakan kekuasaan yang terjadi di Tanah Papua. Salah satu momen penting dalam pentas kekuasaan terhadap Tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu, terjadi Perang Dunia II yang berimplikasi pada proses penyerahan kedaulatan Belanda  atas  Indonesia  termasuk di  dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)  Juli--Agustus  1969   yang  menyatakan  Papua  menjadi  bagian  dari Republik Indonesia. Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan hingga saat ini (2019).

Konteks perjuangan identitas tersebut memiliki latar sejarah yang susah diuraikan utamanya karena adanya kehidupan suku bangsa yang sangat beragam di Papua (Afwan, 2015: 54). Identitas Ke-Papuaan, selama ini, lebih dilihat secara politik dan ras: bahwa mereka selama ini dijajah oleh Indonesia sehingga mereka berjuang untuk merdeka, dan orang Papua bukanlah ras Austronesia, melainkan Melanesia yang dari sisi warna kulit  dan  potongan  rambut  berbeda  dengan ras Austronesia. Kesadaran ras tersebut terbentuk hampir di seluruh suku bangsa di Papua. Hal ini dapat dipahami karena kesadaran tentang ras dianggap sebagai cara terbaik mengenal dan mempertahankan identitas ke-Papua-an mereka.

Berkaitan dengan identitas, penelitian Harple (Afwan, 2015: 54) tentang suku bangsa Mimika (Kamoro) di barat daya Papua dengan menggunakan analisis etno-sejarah. Harple melakukan pelacakan sosial dan budaya yang membentuk kesadaran  sejarah  tentang  identitas  orang  Papua.  Mereka  merasa  "berbeda" dengan yang lain. Persepsi dan aktivitas suku bangsa Mimika (Kamoro) di masa lampau mempengaruhi warganya dalam memaknai masa kini. Kamoro memiliki konsep tentang amoko kwere (cerita mengenai leluhur) yang akhirnya membentuk kesadaran dalam hubungan sosial dengan pihak luar (pendatang). Cerita leluhur yang menggugah identitas ras orang Papua. Melalui amoko kwere, yang selalu ditransmisikan dari generasi ke generasi, menumbuhkan ikatan dan kekuatan identitas kultural suku bangsa Mimika (Kamoro). Dengan istilah yang berbeda, transmisi  kesadaran  ini  terjadi  di  hampir  semua  suku  bangsa  di  Papua.  Oleh karena itu, "identitas" sebagai bangsa demikian kuat di Papua: Orang Papua.

Kesadaran tentang identitas tersebut memang tidak selamanya mampu menyatukan dalam satu identitas bersama (Afwan, 2015: 54-55). Hal ini karena setiap suku bangsa di  Papua juga melakukan pembentukan kesadaran tentang identitas suku bangsa. Pergulatan internal tentang identitas kesukuan memberikan kekuatan yang lain. Anggota suku bangsa memiliki identitas ganda: identitas suku bangsa dan identitas orang Papua. Identitas kedua lebih lemah ketimbang identitas pertama. Kesadaran identitas yang mereka pahami berujung pada kesadaran berikutnya, yakni  ada  pihak  lain yang  berbeda dengan dirinya, berbeda dengan suku bangsanya. Bahwa identitas anggota suku bangsa tertentu hampir dapat dipastikan akan berbeda dengan identitas anggota suku bangsa lain. Pemahaman bahwa ternyata ada pihak lain yang berbeda dengan dirinya. Bahwa fakta ada seseorang yang memiliki identitas yang berbeda dengan identitas dirinya. Pemahaman inilah yang pada jalinan waktu selanjutnya justru menjadi benih munculnya konflik antarsuku bangsa. Anggota suku bangsa sudah terbentuk oleh sistem kebudayaan suku bangsanya. Oleh karena itu perbedaan identitas, gesekan atau konflik jarang dapat dihindari. Apalagi kemudian ditemukan justifikasi pada sejarah masa lampau suku bangsanya melalui cerita mengenai leluhur.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya bukan tanpa dinamika. Bagi mereka, akhirnya,  konflik  adalah  hal yang biasa,  sebagai  akibat  perbedaan pandangan tentang sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran identitas kesukuan. Dalam catatan Schulman (Afwan, 2015: 54-55) tentang pengalaman perjalanan dan pendakiannya di salah satu puncak tertinggi di dunia yang berada di Papua. Di sekitar lembah Baliem: suku bangsa Dani. Suku bangsa ini memiliki 30 klan. Konflik sering terjadi di antara mereka. Biasanya masalah berawal dari kepemilikan babi atau kecemburuan terhadap wanita. Sering juga menyangkut tanah  dan  urusan materi.  Dinamika  yang sama  juga  terjadi  di  beberapa  suku bangsa yang lain, termasuk juga antarsuku bangsa seperti perang suku bangsa.

Konflik sosial yang terjadi di Papua tidak lepas dari persoalan keragaman suku bangsa (Afwan, 2015: 56). Konflik sosial yang dipicu karena perbedaan suku bangsa, budaya, dan golongan atau kelompok. Konflik terjadi lebih karena permasalahan yang dianggap merugikan dan mengganggu bahkan melanggar norma dan aturan yang berlaku pada suku-suku bangsa yang ada. Sebagai contoh, masalah perselingkuhan (perzinahan), pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam. Beberapa hal tersebut merupakan penyebab perang antarsuku bangsa di daerah pedalaman Papua. Di samping itu, konflik internal antarsuku  bangsa  yang  terjadi  di  masa  lalu  juga  menjadi  penyebab  perang antarsuku bangsa dan kelompok. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem. Penyebutan ini disebabkan peristiwa perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku bangsa asli Papua yang mendiami daerah tersebut, yakni suku bangsa Dani, suku bangsa Nduga, suku bangsa Dem, suku bangsa Damal (Amungme), suku bangsa Moni, suku bangsa Wolani, suku bangsa Ekari (Me), dan suku-suku bangsa lainnya. Suku-suku bangsa tersebut dikenal sebagai suku yang mempunyai tradisi perang sangat kuat.

Dari konstruksi narasi di atas bahwa keragaman suku bangsa di Papua tidak absen dari dinamika. Oleh karena sebagian suku bangsa memiliki sistem pengetahuan dan sistem kebudayan yang berbeda, maka tentu saja itu mempengaruhi   pandangan   dunia   masing-masing   terhadap   lingkungannya. Sehingga sistem sosial yang dibangunnya pun berbeda-beda. Di samping perbedaan tersebut, terdapat kesamaan budaya di antara mereka. Misalnya, sebagaimana diketahui, keragaman suku bangsa di Papua sangat kaya. Kekayaan nilainya bukan hanya tentang bagaimana menjalani hidup secara sosial dan ekonomi, melainkan juga bagaimana kepemimpinan itu dapat terlaksana secara bijak. Bahkan, kekayaan kultural tersebut juga sudah dianggap sebagai agama mereka. Sistem religi, tradisi, kehidupan kultural yang meliputi mereka sudah diakui  oleh  mereka  sebagai  bagian  dari keyakinan  hidup  dan  agama  mereka. Kekayaan ini tentu saja sulit diadopsi oleh karena eksplorasi pengetahuan tentang mereka tidak sampai pada keinginan lebih dalam menggali nilai-nilainya. Oleh karena itu,  belum ada  jembatan  yang  membawa kekayaan  nilai  kultural  suku bangsa  ini  ke dalam ranah hidup sosial modern di  Papua.  Akibatnya,  seakan kekayaan itu tetap dianggap sebagai "the other" oleh nilai pembangunan yang dicoba paksakan untuk dilaksanakan oleh orang Papua. Sementara, kekayaan suku bangsa beserta sistem kebudayaannya merupakan modal sosial   terbesar dalam membangun Tanah Papua.

Arti Persaudaraan Di Papua

Perdamaian di Papua terbangun melalui jaringan internal suku bangsa maupun  dengan  luar  suku  bangsa.  Konflik  antarsuku  bangsa  memang  masih sering  terjadi  sebagai  upaya  peneguhan  identitas  kesukuannya.  Akan  tetapi, konflik suku bangsa tersebut sebenarnya dapat teratasi dengan mekanisme yang mereka bangun sendiri dalam beragam bentuk pertemuan antarsuku bangsa. Pertemuan tersebut dapat mengakhiri konflik dan sekaligus membangun perdamaian dan solidaritas di antara mereka, sehingga perdamaian bukanlah hal baru di Papua (Afwan, 2015: 61-62). Kearifan lokal adalah kekayaan Papua dalam mengelola perbedaan dengan mekanisme memperoleh jalan keluar dari konflik dengan   cara   damai.   Ada   beberapa   contoh   mekanisme   kultural   dalam menyelesaikan  konflik,  termasuk  mengelola  dinamika  perbedaan.  Beberapa contoh  berikut  ingin  menunjukkan  bahwa  Papua  memiliki  modal  sosial  yang sudah  lebih  dari  cukup  untuk  mempertahankan  perdamaian  di  Tanah  Papua. Modal sosial perdamaian ini memberikan gambaran tentang nilai perdamaian dari keragaman adat di Papua. Lebih dalam dari itu, sebenarnya ada satu kesamaan nilai di antara suku bangsa di Papua, yakni nilai persaudaraan. Meskipun konflik suku bangsa acapkali terjadi, tetapi selalu saja ada mekanisme kultural di antara mereka untuk segera dapat menyelesaikan konflik tersebut. Penyelesaiannya juga dengan cara damai. Hal ini terjadi sebenarnya adalah karena  rasa empati bagi orang Papua sangat penting, kalau bukan malah utama. Kehadiran seseorang yang berinteraksi dan berkomunikasi bukan dilihat dari isi atau pesannya, melainkan pada bagaimana rasa empati itu dirasakan. Rasa empati ini melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan terhadap seseorang inilah yang mempengaruhi seluruh proses komunikasi. Misalnya, proses informasi akan berjalan lebih baik jika disampaikan oleh orang yang dianggap kredibel dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, seringkali orang yang dipercaya tersebut adalah yang masih memiliki hubungan kerabat dekat dari keluarga besar mereka.

Hal ini merefleksikan suatu kenyataan bahwa konsep persaudaraan sangat kuat di Papua. Jika kehadiran seseorang berhasil memunculkan rasa empati maka berimplikasi pada pengakuan orang Papua kepadanya sebagai "saudara", maka bangunan kepercayaan akan terbangun kuat. Jika sudah demikian, interaksi dan komunikasi akan cair didasari oleh rasa saling percaya dan saling jujur. Hal ini tidak dapat ditafsirkan bahwa orang Papua adalah tertutup. Orang Papua sebenarnya  memiliki  sifat  sangat  terbuka  dengan  orang  lain.  Contohnya,  jika orang Papua menyebut orang lain (misalnya, tamu) dengan sebutan "bapak" atau "tuan", itu artinya mereka belum "sepenuhnya menerima". Sebaliknya, jika memanggil dengan sebutan "anak", misalnya, itu artinya ada "penerimaan sepenuhnya". Dengan begitu berarti mereka telah menerimanya sepenuh hati. Jika sudah demikian, siapa pun tamunya itu akan dianggap sebagai saudara, sebagai bagian  dari  keluarga.  Artinya,  nilai  persaudaraan  sangat  terbuka  dan  sangat penting di Papua. Konsep persaudaraan ini merupakan modal sosial yang kuat dalam membangun perdamaian di Papua. Ada sikap kehati-hatian dalam masyarakat Papua ketika berkomunikasi dengan orang lain. Agaknya, ini dipengaruhi oleh kondisi politik di Papua yang selama ini menempatkan orang Papua sebagai korban, bukan subyek. Bahwa orang Papua adalah obyek. Kemanusiaan, dalam tradisi lokal Papua, sangat dihargai. Prinsipnya mereka tidak ingin mengganggu orang lain. Namun jika diganggu kepentingan, hak, dan harga dirinya,  maka  mereka akan melawan.  Perlawanan ini  sering berujung perang. Meskipun demikian, perang selalu berakhir dengan perundingan. Adat di Papua menyediakan media kultural untuk mencari penyelesaian masalah, konflik, atau perang di antara mereka.

Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial Kedamaian di Papua

Modal Sosial

Menurut Bourdieu definisi modal sangat luas mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolis dan memiliki signifikansi secara kultural (Bahar,  2013:  249;  Bourdieu,  2016:  xix;  Harker.,  Mahar.,  &  Wilkes  (Ed.), 2009:16). Modal merupakan sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Modal juga dapat dipahami sebagai relasi sosial yang terdapat dalam sistem pertukaran, yaitu pertukaran dalam bentuk material maupun simbol.

Modal sosial terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antarindividu. Modal sosial ini dapat berwujud dalam bentuk praktis atau terlembagakan. Keduanya diproduksi dan direproduksi melalui pertukaran. Bentuk praktis modal sosial ini lebih terbuka dan longgar, misal hubungan pertemanan. Berbeda ketika modal sosial ini terlembagakan lebih ketat dan terikat, misal hubungan suku, keluarga, maupun keanggotaan dalam partai politik.  Bourdieu  (Afwan, 2015: 9) menekankan pentingnya  jaringan sosial melalui peluang dan keuntungan  yang tersedia bagi anggota suatu kelompok. Bourdieu mengindentifikasi tiga unsur modal sosial: (a) hubungan sosial yang memungkinkan aktor mendapatkan akses ke sumber daya; (b) jumlah sumber daya yang dihasilkan oleh totalitas hubungan antara aktor; dan (c) kualitas sumber daya tersebut.

Modal sosial dalam konteks ini adalah modal yang dimiliki individu atau masyarakat   untuk   berhubungan   sosial   dan   bekerjasama   membangun   suatu jaringan  yang dibangun diatas kepercayaan serta ditopang oleh nilai-nilai dan norma-norma sosial positif guna mencapai tujuan bersama.  Modal sosial dalam hal ini adalah kearifan lokal Papua dalam bentuk Para-Para Adat dan Tikar Adat serta Bakar Batu dan Bayar Kepala.

Kearifan Lokal

Di Tanah Papua istilah kearifan lokal sangat popular di masyarakat, dan sering digunakan sebagai jargon politik untuk kepentingan politik tertentu. Kearifan lokal karenanya juga sering diidentikkan dengan "politik identitas". Menurut Ahmad Syafii Maarif, (2012: 3-5) di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing- masing. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari  politik  identitas  itu.  Isu-isu  tentang  keadilan  dan  pembangunan  daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak  dipengaruhi  oleh  ambisi  para elit lokal untuk tampil sebagai  pemimpin,  merupakan  masalah  yang  tidak  selalu  mudah  dijelaskan. Secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua   menjadi   sangat   relevan.   Bentuk   ekstrem   politik   identitas   adalah mencuatnya sampai batas-batas tertentu gagasan tentang separatisme. Dalam kaitannya dengan gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa pasca Perang Dunia II, termasuk Indonesia, politik identitas haruslah dinilai sebagai sesuatu yang positif dan bahkan sebagai keharusan sejarah, sebagaimana yang dikukuhkan dalam Pembukaan  UUD  1945  tentang  kemerdekaan  bangsa-bangsa,  yang  berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan  dan perikeadilan" (Alenia Pertama Pembukaan UUD 1945). Kearifan lokal yang dipahami ini adalah konsep yang menekankan pentingnya "dinamika" (Afwan, 2015: i). Sebagai konsep, kearifan lokal selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan tantangan dan peluang serta terus beradaptasi dengan ragam konteks dalam lintasan sejarah dan bertransformasi. Kearifan lokal adalah tentang perubahan sekaligus keberlanjutan.  Kearifan lokal adalah tentang masa lalu, sekaligus tentang masa sekarang, dan bahkan tentang masa   depan.   Kearifan   lokal   identik   dengan   dinamika,   transformasi,   dan reproduksi.

Kajian ini melihat dinamika konflik akibat keberagaman dan resolusinya melalui tradisi-tradisi lokal, kearifan lokal untuk perdamaian sangat mungkin dikonsepkan dan dikembangkan. Dalam literatur tentang Papua,  diskursus konflik sangat dominan. Demikian dominannya, Papua seakan sudah identik dengan konflik.  Menurut  Afwan  (2015:  viii)    konflik  memang  ada  dan  menyejarah (sesuatu yang sebenarnya tidak unik di Papua saja), tetapi resolusinya juga selalu ada, empiris, dan menyejarah melalui tradisi-tradisi lokal. Sayangnya, diskursus resolusi konflik melalui tradisi lokal ini cukup marginal dan terpendam padahal potensinya besar. Konseptualisasi kearifan lokal untuk perdamaian dari tradisi- tradisi Papua cukup menjanjikan. Secara teoritis,  yang menjanjikan efektifitas kearifan  lokal  sebagai  pendekatan  adalah: (1)  merupakan  bagian  dari  sejarah hidup masyarakat. Masyarakat sudah mengenalnya baik sebagai konsep maupun sebagai praktik; (2) inheren dalam konsep kearifan lokal adalah pemosisian masyarakat sebagai "subyek", bukan obyek. Mereka berposisi sebagai orang yang mengetahui sebab dan akibat masalah (konflik misalnya), dan karenanya diasumsikan dapat merumuskan resolusi atau pemecahannya.

Keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya sangat kaya. Pada satu sisi, keragaman tersebut seringkali melahirkan konflik. Penyebab konflik ini lebih karena persoalan ringan. Konflik menjadi besar karena dibumbui dengan identitas kesukuan dan atau identitas keagamaan. Di sisi lain, sebagaimana banyak riset akademik menyebutkan, keragaman ini berhasil membentuk kepribadian dan sistem moral masyarakat Papua. Menyadari besarnya potensi konflik oleh karena banyaknya suku bangsa, hampir setiap suku bangsa dan adat di  Papua  memiliki  mekanisme  kultural  yang  dibangun  untuk  menyelesaikan konflik dengan damai. Mereka membangun mekanisme untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kultural agar para pihak yang berkonflik melupakan segala persoalan, tidak mengulangi konflik, dan membangun toleransi serta perdamaian ke depan. Sayangnya, kekayaan itu tidak mengemuka. Ia tenggelam oleh ramainya diskursus politik, sumber daya alam, dan konflik kepentingan di Papua.  Menururt  Afwan  (2015:  ix-x)  dalam  konteks  inilah  pengungkapan kekayaan nilai budaya dari tradisi lokal suku bangsa di Papua sangat penting. Kekayaan budaya Papua akan banyak memberi kontribusi positif dalam membangun perilaku maupun pengambilan kebijakan. Selain itu, kekayaan Papua bukanlah melulu pada sumber daya alamnya. Papua juga kaya budaya. Kekayaan kultural ini layak menjadi modal untuk membangun masa depan, bahkan memperkuat perdamaian dan toleransi di Papua.

Tikar Adat dan Para-Para Adat

Masyarakat  adat  Papua  memiliki  mekanisme  penyelesaian  masalah, konflik, atau perang di antara mereka dengan para-para adat (Afwan, 2015: 63-64).  Para-para adat adalah rumah atau bangunan yang menjadi media kultural untuk acara-acara sakral dan  memecahkan masalah antarsuku bangsa. Tempat ini sengaja dibuat secara khusus karena segala persoalan, keperluan, kepentingan, dan kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Para-para adat ini menjadi hal yang pokok dalam budaya Papua sejak lenyapnya rumah Mau (rumah yang berfungsi sebagai tempat inisiasi anak laki-laki, salah satu bentuk kegiatan ritual pokok yang telah lenyap seiring masuknya agama Kristen Protestan yang melarangnya). Para-para adat dianggap sebagai tempat yang disucikan dalam arti simbolis. Oleh karena  itu,  dalam  hal  perawatan,  perbaikan,  pembongkaran,  serta pembangunannya  diawali  dengan  musyawarah     adat  yang  dipimpin  secara langsung oleh Ondoafi, tetua adat. Dalam  para-para adat ini juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan pertikaian antarsuku bangsa. Para pihak yang bertikai difasilitasi untuk berkumpul dan mencari jalan keluar bersama. Masing-masing mengusulkan kepentingannya. Masing-masing menjelaskan persoalannya. Dalam tradisi ini ditampung segala keinginan, hingga diperoleh kesepakatan bersama, hingga persoalan tersebut dianggap sudah selesai. Tidak perlu lagi diungkit. Setelah itu, masih di forum tersebut, dibangun kesepakatan bersama untuk tidak mengulangi lagi dan menjaga keharmonisan kehidupan antarsuku bangsa.

Selain mekanisme kultural di atas, ada juga mekanisme lain yang disebut tikar   adat   (Afwan,   2015:  64-65).   Sebuah   mekanisme   yang   memfasilitasi persoalan  antaranggota  suku  bangsa  atau  adat.  Kalau  ada  masalah  keluarga, orang-orang tua mengajak warganya untuk menyelesaikan masalah di atas tikar. Seperti halnya dalam para-para adat, seluruhnya mesti disampaikan hingga tidak muncul lagi buntut masalahnya. Kalau sudah di atas tikar adat, masalah yang ada kemudian diselesaikan secara baik. Tikar adat ini tidak melulu menyelesaikan persoalan keseharian. Tikar adat ini, bahkan, menjadi ajang warga adat untuk mengeluarkan aspirasi, baik yang berkaitan dengan persoalan individu maupun kelompok. Tikar adat adalah konsep yang dibangun oleh suku bangsa atau adat. Sejatinya, tikar adat dapat disamakan dengan rapat warga yang ada di beberapa daerah lain. Perbedaannya adalah jika rapat warga mungkin tidak dihadiri oleh semua warga. Sementara, dalam tikar adat, semua anggota adat hadir. Perbedaan lainnya, jika dalam rapat warga hanya berlangsung beberapa jam, maka tikar adat dapat diselenggarakan hingga malam. Sampai persoalan selesai. Jika ingin menghimpun aspirasi, maka tikar adat akan diakhiri apabila sudah sama sekali tidak ada yang menyampaikan pendapat. Dinamakan  tikar adat karena dalam proses pertemuannya menggunakan tikar. Sebagaimana rapat warga, proses tikar adat juga ada yang memandu dan memimpin jalannya rapat. Hingga kini, tikar adat masih sering dilakukan, meskipun sudah agak terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.

Mekanisme  kultural  ini  terpinggirkan  akibat  dari  kebijakan  pemerintah yang membuat sekat-sekat kelompok di Papua. Kelompok Merah-Putih, pro- Merdeka, Otonomi Khusus, dan pemekaran. Maksudnya, jika ada persoalan, orang Papua sudah jarang memanfaatkan mekanisme kultural tersebut, melainkan melimpahkan ke pihak aparat keamanan (negara). Padahal, jika diselesaikan di tikar adat dan para-para adat, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan, karena posisi individu secara sosial akan kembali normal. Oleh karena itu, sebenarnya nilai-nilai adat Papua sudah memiliki potensi besar untuk dihidupkan kembali dalam membangun perdamaian, toleransi, dan solidaritas sosial. Sementara, jika dilimpahkan ke pihak aparat keamanan, yang diperoleh adalah penghakiman. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Ujungnya, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Padahal, dengan mekanisme pelimpahan ini, pihak keamanan (negara)-lah yang akan selalu menang. Sementara orang Papua baik yang dikalahkan dan dimenangkan, disalahkan atau dibenarkan, sama-sama mengalami kekalahan, karena yang memiliki otoritas atas budaya mereka bukan diri mereka sendiri, melainkan pihak di luar dirinya. Model seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun kedamaian di Papua. Dan oleh karena modal itulah Papua menjadi wilayah yang damai. Papua memiliki budaya dan warisan kebudayaan yang dapat memperkuat warganya untuk mempertahankan   kedamaian   dan   harmoni,   tanpa   menghilangkan   identitas kesukuan dan sebagai bangsa Papua. Selain solidaritas kesukuan, orang Papua juga memiliki solidaritas keagamaan, meskipun solidaritas yang terakhir ini tidak serta merta berkonotasi negatif. Selain nilai-nilai adat, mereka juga disatukan oleh nilai kekristenan, walaupun kadang sulit dibedakan antara nilai Kristen dan nilai adat. Hal itu tecermin dengan solidaritas kemanusiaannya yang pada saat yang sama nilai tersebut terkandung dalam nilai adat dan juga agama.

Salam Kipo Mati, Bayar Kepala, Potong Jari dan Bakar Batu

Di  beberapa  daerah,  bakar batu  mengalami  kontekstualisasi.  Wamena, sebuah  daerah  tempat  tinggal  bersama  masyarakat  pemeluk  Kristen,  Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha, misalnya, menjadi contoh bagaimana bakar batu dikontekstualisasikan. Di Wamena, menu bakar batu ada yang diganti dengan ayam dan daging (selain babi). Ini dilakukan untuk mengakomodasi kehadiran penduduk Muslim dalam pesta upacara. Kontekstualisasi ini memberikan makna bahwa ritual bukan melulu sebagai ritual untuk melupakan tragedi. Bakar batu adalah juga sebagai media untuk membangun toleransi dan perdamaian. Demikian halnya dengan tradisi bayar kepala. Ia tidak saja dapat bermakna sebagai media resolusi konflik, tetapi lebih dari itu adalah membangun kesepakatan-kesepakatan kultural  agar  perdamaian  dapat  diwujudkan  di  antara  mereka.  Ritual-ritual tersebut  memiliki  implikasi   kuat   dalam   tata  perilaku  toleransi.   Bangunan kesadaran hidup bersama dengan pihak lain semakin kokoh. Bahwa pihak lain tidak lagi dianggap berbeda dan mengancam identitas kultural dan eksistensi mereka. Pihak lain dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mereka. Sebagai salah satu contoh dari implikasi tersebut adalah, dalam hal jabatan pemerintahan,  penduduk  Islam  memiliki  hak  menjadi  pegawai  pemerintahan, sama seperti penduduk lain yang mayoritas (Kristen).

Pengelolaan solidaritas antarsuku bangsa, sebagai contoh yang paling terkenal, adalah bakar batu dan bayar kepala (Afwan, 2015: 66-67). Mekanisme ini pernah dipakai antara lain pada penyelesaian damai di wilayah Kwamki Lama, Timika, Papua, pada Juli-September 2006, ketika pecah perang antarsuku bangsa Damal,   Amungme,   dan   Dani.   Bakar   batu   dan   bayar   kepala   merupakan representasi pengelolaan solidaritas melalui ritual dan keadilan. Upacara  bakar batu  digelar selama lima  hari.  Pada  hari  yang ditentukan,  para  anggota  suku bangsa yang bersengketa berkumpul, dan membuat perapian berbahan batu-batuan dan ranting-ranting kering. Para wanita memasak sayuran dan ubi-ubian di atas perapian tersebut. Setelah matang, semua anggota suku bangsa yang hadir menyantap  masakan  tersebut.  Upacara  bakar  batu  seolah  berfungsi  sebagai sebuah momen melupakan tragedi dan peperangan yang sudah terjadi di antara mereka. Momen pelupaan seringkali mengandung sebuah ketidakadilan bagi korban.  Untuk  menanggulangi  hal  ini, agar  semua  pihak  merasa  ikhlas dapat menerima segala peristiwa yang telah terjadi, diselenggarakanlah bayar kepala. Bayar kepala dapat dikatakan sebagai "pembayaran" santunan kepada keluarga korban yang meninggal. Pembayaran ini dapat mencapai ratusan juta rupiah perjiwa.  Namun, jumlah tersebut  tidak seberapa  dibandingkan  dengan  nyawa. Mekanisme ini dipercaya sebagai sebuah pemutusan mata rantai dendam dan penghentian konflik di kemudian hari.

Masyarakat Papua memiliki tradisi tersendiri untuk menghantar mereka yang telah berpulang. Kematian salah seorang anggota keluarga merupakan momen berat, bukan saja bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga bagi seluruh warga distrik. Duka satu keluarga adalah duka seluruh distrik. Semua orang akan meninggalkan kegiatan mereka dan duduk bersama di pelataran rumah duka. Mereka menangis bersama selama beberapa hari sebagai tanda perkabungan. Ratap tangis duka tak terbendung lagi. Sementara ratap kian panjang, tetamu yang hadir saling memberi salam "Kipo-Moti" sebagai ungkapan bela sungkawa sekaligus penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.

"Kipo-Moti" merupakan ungkapan salam sapa sehari-hari yang biasa dilakukan orang Papua.Cara berjabat tangan khas Papua ini dilakukan dengan saling menjepit jari telunjuk dan jari tengah yang dilengkungkan layaknya capit kepiting, kemudian saling menarik capitan tersebut. Dari situ akan timbul suara seperti jentikan jari. Konon, semakin keras suara yang ditimbulkan, semakin tuluslah hati sang pemberi salam. Demikianlah orang Papua mengidentifikasikan kebaikan dan kemurnian hati seseorang.

Dalam acara duka, salam "Kipo-Moti" tidak henti dilakukan. Ia merupakan simbol cinta tanpa tepi. Ratap dan salam penghiburan kian menjadi, apabila almarhum meninggal di tempat yang sangat jauh dari distrik mereka tinggal karena mereka tidak dapat melihat serta memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Seorang warga kampung yang meninggal di kota atau distrik lain yang jauh biasanya tidak dibawa kembali ke kampung halaman. Ia akan langsung diupacarai dan dimakamkan di tempat meninggalnya. Sementara keluarganya di kampung/distrik akan mendapat kabar lelayu tersebut 2 atau 3 hari sesudahnya. Hal ini terjadi karena akses informasi dan transportasi menuju distrik masih sulit. Anggota keluarga almarhum biasanya menerima kabar duka tersebut dari seorang kerabat atau kenalan yang menitipkan pesan secara berantai (estafet). Atau dapat juga, pembawa kabar datang langsung ke kampung halaman almarhum dengan menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama.

Sesaat setelah kabar lelayu tersebut sampai ke telinga keluarga dan warga, seluruh distrik tiba-tiba diselimuti awan duka. Jika hal tersebut jatuh pada hari Minggu, ibadah di gereja ditiadakan. Para gembala gereja, pejabat desa, dan penduduk akan berkumpul di rumah duka. Mereka satu per satu akan memberikan kesan-kesannya terhadap almarhum. Tangis, rasa sesal, dan ungkapan cinta yang besar tumpah ruah disana. Setelah beberapa hari, acara duka usai. Kampung kembali hidup. Warga berkatifitas kembali seperti semula. Meski begitu, kenangan-kenangan akan mereka yang berpulang tetap terpatri di kedalaman sanubari. Tiada lagi ratap duka. Bukankah kematian hanyalah penanda untuk waktu yang telah tiada? Bukankah ketiadaan waktu adalah keabadian? Bukankan keabadian hanya dapat disentuh dengan untaian doa? Maka, dengan doa, mereka tahu bahwa almarhum terkasih tidaklah berada jauh.

PENUTUP

Isu atau problem utama tentang Papua biasanya dikaitkan dengan politik, konflik, dan pemanfaatan sumber daya alam yang saling berkelindan.   Namun, jika kita lebih dalam memahami dan memaknai Papua sebenarnya memiliki kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Kekayaan yang memberikan nilai budaya kepada tatanan hidup dan relasi sosial. Modal sosial ini bila dibangun, dirawat, dikembangkan, dan diimplementasikan dapat menjadi wahana peredam dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Keberagaman di Papua baik suku bangsa, ras, agama, budaya, dan lainnya tentunya diharapkan menjadi sisi positif dalam menggerakkan pembangunan untuk mensejahterakan seluruh penduduk yang tinggal di Tanah Papua. Namun demikian pemberdayaan penduduk lokal dalam segala aspek kehidupan adalah hal yang paling urgen.  Sehingga terjalin relasi dinamis dan sinergis antara etnic nasionalisme dengan state nasionalisme dan melahirkan serta menumbuhkembangkan civic nasionalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun