Mohon tunggu...
Novi Trihadi
Novi Trihadi Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Ketik

Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Universitas Siber Asia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Figur Kearifan Lokal sebagai Social Capital

28 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 29 Juli 2021   00:16 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua  memiliki keragaman suku bangsa yang mencapai ratusan meskipun jika dirumpunkan dapat dikelompokkan hanya dalam beberapa suku bangsa. Di Papua ragam ras juga menonjol, perbedaan mendasar mengenai suku bangsa ini adalah ras Melanesia dan Austronesia. Melanesia adalah ras asli orang Papua, sementara  Austronesia  adalah  ras  pendatang,  yang  berasal  dari  Aceh,  Batak, Bugis,  Buton,  Gorontalo,  Jawa,  Madura,    Makassar,  Manado,  Nias,  Padang, Toraja dan lainnya. Konstruksi tentang ras asal ini seringkali mempengaruhi jalinan sosial (termasuk transaksi ekonomi). Namun, dalam rentang waktu yang lama, konstruksi ini perlahan bukan menjadi masalah serius. Problemnya bukan lagi tentang ras asal, melainkan tentang bagaimana memperoleh akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (Asia Report No 154 -- 16 June 2008: 13). Agenda utamanya sekarang adalah bagaimana orang Papua dapat mempertahankan lima aset utama mereka: aset alam, aset manusia, aset sosial, aset budaya, dan asset ekonomi. Menurut Rizzo (Afwan, 2015: 53) bahwa Kristen tidak memiliki peran besar dalam pembentukan identitas Ke-Papuaan. Warga Papua sendirilah yang berhasil membangun identitasnya. Sebelum kontak dengan orang luar, sebenarnya mereka sudah kuat identitasnya. Rizzo lebih jauh memaparkan bahwa Kristen tidak memiliki konstribusi dalam terbentuknya nasionalisme orang Papua. Menurutnya, orang Papua memiliki identitas suku bangsa yang berbeda sebelum bangsa Eropa masuk ke wilayah ini. Identitas orang Papua Barat dibentuk oleh proses adaptasi terhadap lingkungan sekitar dan hubungan dengan pihak luar: Maluku-Papua-Ceramese. Jadi, identitas orang Papua, sebelum kedatangan identitas etnis dari penjajah, telah terbentuk. Pembentukannya melalui dan berbentuk sekumpulan mitos dan cerita. Hal ini menjadi daya dorong utama dalam membentuk  hubungan  yang  dinamis  dengan  bangsa  Eropa  dan  Kristen.  Jadi Kristen  tidak  membentuk  orang Papua  dan  nasionalisme  Papua. Tetapi  orang Papua sendiri sebenarnya sudah mengetahui tentang identitas diri mereka.

Identitas Ke-Papuaan tersebut makin menguat seiring dengan sejarah pergolakan kekuasaan yang terjadi di Tanah Papua. Salah satu momen penting dalam pentas kekuasaan terhadap Tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu, terjadi Perang Dunia II yang berimplikasi pada proses penyerahan kedaulatan Belanda  atas  Indonesia  termasuk di  dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)  Juli--Agustus  1969   yang  menyatakan  Papua  menjadi  bagian  dari Republik Indonesia. Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan hingga saat ini (2019).

Konteks perjuangan identitas tersebut memiliki latar sejarah yang susah diuraikan utamanya karena adanya kehidupan suku bangsa yang sangat beragam di Papua (Afwan, 2015: 54). Identitas Ke-Papuaan, selama ini, lebih dilihat secara politik dan ras: bahwa mereka selama ini dijajah oleh Indonesia sehingga mereka berjuang untuk merdeka, dan orang Papua bukanlah ras Austronesia, melainkan Melanesia yang dari sisi warna kulit  dan  potongan  rambut  berbeda  dengan ras Austronesia. Kesadaran ras tersebut terbentuk hampir di seluruh suku bangsa di Papua. Hal ini dapat dipahami karena kesadaran tentang ras dianggap sebagai cara terbaik mengenal dan mempertahankan identitas ke-Papua-an mereka.

Berkaitan dengan identitas, penelitian Harple (Afwan, 2015: 54) tentang suku bangsa Mimika (Kamoro) di barat daya Papua dengan menggunakan analisis etno-sejarah. Harple melakukan pelacakan sosial dan budaya yang membentuk kesadaran  sejarah  tentang  identitas  orang  Papua.  Mereka  merasa  "berbeda" dengan yang lain. Persepsi dan aktivitas suku bangsa Mimika (Kamoro) di masa lampau mempengaruhi warganya dalam memaknai masa kini. Kamoro memiliki konsep tentang amoko kwere (cerita mengenai leluhur) yang akhirnya membentuk kesadaran dalam hubungan sosial dengan pihak luar (pendatang). Cerita leluhur yang menggugah identitas ras orang Papua. Melalui amoko kwere, yang selalu ditransmisikan dari generasi ke generasi, menumbuhkan ikatan dan kekuatan identitas kultural suku bangsa Mimika (Kamoro). Dengan istilah yang berbeda, transmisi  kesadaran  ini  terjadi  di  hampir  semua  suku  bangsa  di  Papua.  Oleh karena itu, "identitas" sebagai bangsa demikian kuat di Papua: Orang Papua.

Kesadaran tentang identitas tersebut memang tidak selamanya mampu menyatukan dalam satu identitas bersama (Afwan, 2015: 54-55). Hal ini karena setiap suku bangsa di  Papua juga melakukan pembentukan kesadaran tentang identitas suku bangsa. Pergulatan internal tentang identitas kesukuan memberikan kekuatan yang lain. Anggota suku bangsa memiliki identitas ganda: identitas suku bangsa dan identitas orang Papua. Identitas kedua lebih lemah ketimbang identitas pertama. Kesadaran identitas yang mereka pahami berujung pada kesadaran berikutnya, yakni  ada  pihak  lain yang  berbeda dengan dirinya, berbeda dengan suku bangsanya. Bahwa identitas anggota suku bangsa tertentu hampir dapat dipastikan akan berbeda dengan identitas anggota suku bangsa lain. Pemahaman bahwa ternyata ada pihak lain yang berbeda dengan dirinya. Bahwa fakta ada seseorang yang memiliki identitas yang berbeda dengan identitas dirinya. Pemahaman inilah yang pada jalinan waktu selanjutnya justru menjadi benih munculnya konflik antarsuku bangsa. Anggota suku bangsa sudah terbentuk oleh sistem kebudayaan suku bangsanya. Oleh karena itu perbedaan identitas, gesekan atau konflik jarang dapat dihindari. Apalagi kemudian ditemukan justifikasi pada sejarah masa lampau suku bangsanya melalui cerita mengenai leluhur.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya bukan tanpa dinamika. Bagi mereka, akhirnya,  konflik  adalah  hal yang biasa,  sebagai  akibat  perbedaan pandangan tentang sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran identitas kesukuan. Dalam catatan Schulman (Afwan, 2015: 54-55) tentang pengalaman perjalanan dan pendakiannya di salah satu puncak tertinggi di dunia yang berada di Papua. Di sekitar lembah Baliem: suku bangsa Dani. Suku bangsa ini memiliki 30 klan. Konflik sering terjadi di antara mereka. Biasanya masalah berawal dari kepemilikan babi atau kecemburuan terhadap wanita. Sering juga menyangkut tanah  dan  urusan materi.  Dinamika  yang sama  juga  terjadi  di  beberapa  suku bangsa yang lain, termasuk juga antarsuku bangsa seperti perang suku bangsa.

Konflik sosial yang terjadi di Papua tidak lepas dari persoalan keragaman suku bangsa (Afwan, 2015: 56). Konflik sosial yang dipicu karena perbedaan suku bangsa, budaya, dan golongan atau kelompok. Konflik terjadi lebih karena permasalahan yang dianggap merugikan dan mengganggu bahkan melanggar norma dan aturan yang berlaku pada suku-suku bangsa yang ada. Sebagai contoh, masalah perselingkuhan (perzinahan), pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam. Beberapa hal tersebut merupakan penyebab perang antarsuku bangsa di daerah pedalaman Papua. Di samping itu, konflik internal antarsuku  bangsa  yang  terjadi  di  masa  lalu  juga  menjadi  penyebab  perang antarsuku bangsa dan kelompok. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem. Penyebutan ini disebabkan peristiwa perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku bangsa asli Papua yang mendiami daerah tersebut, yakni suku bangsa Dani, suku bangsa Nduga, suku bangsa Dem, suku bangsa Damal (Amungme), suku bangsa Moni, suku bangsa Wolani, suku bangsa Ekari (Me), dan suku-suku bangsa lainnya. Suku-suku bangsa tersebut dikenal sebagai suku yang mempunyai tradisi perang sangat kuat.

Dari konstruksi narasi di atas bahwa keragaman suku bangsa di Papua tidak absen dari dinamika. Oleh karena sebagian suku bangsa memiliki sistem pengetahuan dan sistem kebudayan yang berbeda, maka tentu saja itu mempengaruhi   pandangan   dunia   masing-masing   terhadap   lingkungannya. Sehingga sistem sosial yang dibangunnya pun berbeda-beda. Di samping perbedaan tersebut, terdapat kesamaan budaya di antara mereka. Misalnya, sebagaimana diketahui, keragaman suku bangsa di Papua sangat kaya. Kekayaan nilainya bukan hanya tentang bagaimana menjalani hidup secara sosial dan ekonomi, melainkan juga bagaimana kepemimpinan itu dapat terlaksana secara bijak. Bahkan, kekayaan kultural tersebut juga sudah dianggap sebagai agama mereka. Sistem religi, tradisi, kehidupan kultural yang meliputi mereka sudah diakui  oleh  mereka  sebagai  bagian  dari keyakinan  hidup  dan  agama  mereka. Kekayaan ini tentu saja sulit diadopsi oleh karena eksplorasi pengetahuan tentang mereka tidak sampai pada keinginan lebih dalam menggali nilai-nilainya. Oleh karena itu,  belum ada  jembatan  yang  membawa kekayaan  nilai  kultural  suku bangsa  ini  ke dalam ranah hidup sosial modern di  Papua.  Akibatnya,  seakan kekayaan itu tetap dianggap sebagai "the other" oleh nilai pembangunan yang dicoba paksakan untuk dilaksanakan oleh orang Papua. Sementara, kekayaan suku bangsa beserta sistem kebudayaannya merupakan modal sosial   terbesar dalam membangun Tanah Papua.

Arti Persaudaraan Di Papua

Perdamaian di Papua terbangun melalui jaringan internal suku bangsa maupun  dengan  luar  suku  bangsa.  Konflik  antarsuku  bangsa  memang  masih sering  terjadi  sebagai  upaya  peneguhan  identitas  kesukuannya.  Akan  tetapi, konflik suku bangsa tersebut sebenarnya dapat teratasi dengan mekanisme yang mereka bangun sendiri dalam beragam bentuk pertemuan antarsuku bangsa. Pertemuan tersebut dapat mengakhiri konflik dan sekaligus membangun perdamaian dan solidaritas di antara mereka, sehingga perdamaian bukanlah hal baru di Papua (Afwan, 2015: 61-62). Kearifan lokal adalah kekayaan Papua dalam mengelola perbedaan dengan mekanisme memperoleh jalan keluar dari konflik dengan   cara   damai.   Ada   beberapa   contoh   mekanisme   kultural   dalam menyelesaikan  konflik,  termasuk  mengelola  dinamika  perbedaan.  Beberapa contoh  berikut  ingin  menunjukkan  bahwa  Papua  memiliki  modal  sosial  yang sudah  lebih  dari  cukup  untuk  mempertahankan  perdamaian  di  Tanah  Papua. Modal sosial perdamaian ini memberikan gambaran tentang nilai perdamaian dari keragaman adat di Papua. Lebih dalam dari itu, sebenarnya ada satu kesamaan nilai di antara suku bangsa di Papua, yakni nilai persaudaraan. Meskipun konflik suku bangsa acapkali terjadi, tetapi selalu saja ada mekanisme kultural di antara mereka untuk segera dapat menyelesaikan konflik tersebut. Penyelesaiannya juga dengan cara damai. Hal ini terjadi sebenarnya adalah karena  rasa empati bagi orang Papua sangat penting, kalau bukan malah utama. Kehadiran seseorang yang berinteraksi dan berkomunikasi bukan dilihat dari isi atau pesannya, melainkan pada bagaimana rasa empati itu dirasakan. Rasa empati ini melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan terhadap seseorang inilah yang mempengaruhi seluruh proses komunikasi. Misalnya, proses informasi akan berjalan lebih baik jika disampaikan oleh orang yang dianggap kredibel dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, seringkali orang yang dipercaya tersebut adalah yang masih memiliki hubungan kerabat dekat dari keluarga besar mereka.

Hal ini merefleksikan suatu kenyataan bahwa konsep persaudaraan sangat kuat di Papua. Jika kehadiran seseorang berhasil memunculkan rasa empati maka berimplikasi pada pengakuan orang Papua kepadanya sebagai "saudara", maka bangunan kepercayaan akan terbangun kuat. Jika sudah demikian, interaksi dan komunikasi akan cair didasari oleh rasa saling percaya dan saling jujur. Hal ini tidak dapat ditafsirkan bahwa orang Papua adalah tertutup. Orang Papua sebenarnya  memiliki  sifat  sangat  terbuka  dengan  orang  lain.  Contohnya,  jika orang Papua menyebut orang lain (misalnya, tamu) dengan sebutan "bapak" atau "tuan", itu artinya mereka belum "sepenuhnya menerima". Sebaliknya, jika memanggil dengan sebutan "anak", misalnya, itu artinya ada "penerimaan sepenuhnya". Dengan begitu berarti mereka telah menerimanya sepenuh hati. Jika sudah demikian, siapa pun tamunya itu akan dianggap sebagai saudara, sebagai bagian  dari  keluarga.  Artinya,  nilai  persaudaraan  sangat  terbuka  dan  sangat penting di Papua. Konsep persaudaraan ini merupakan modal sosial yang kuat dalam membangun perdamaian di Papua. Ada sikap kehati-hatian dalam masyarakat Papua ketika berkomunikasi dengan orang lain. Agaknya, ini dipengaruhi oleh kondisi politik di Papua yang selama ini menempatkan orang Papua sebagai korban, bukan subyek. Bahwa orang Papua adalah obyek. Kemanusiaan, dalam tradisi lokal Papua, sangat dihargai. Prinsipnya mereka tidak ingin mengganggu orang lain. Namun jika diganggu kepentingan, hak, dan harga dirinya,  maka  mereka akan melawan.  Perlawanan ini  sering berujung perang. Meskipun demikian, perang selalu berakhir dengan perundingan. Adat di Papua menyediakan media kultural untuk mencari penyelesaian masalah, konflik, atau perang di antara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun