Selain mekanisme kultural di atas, ada juga mekanisme lain yang disebut tikar  adat  (Afwan,  2015:  64-65).  Sebuah  mekanisme  yang  memfasilitasi persoalan  antaranggota  suku  bangsa  atau  adat.  Kalau  ada  masalah  keluarga, orang-orang tua mengajak warganya untuk menyelesaikan masalah di atas tikar. Seperti halnya dalam para-para adat, seluruhnya mesti disampaikan hingga tidak muncul lagi buntut masalahnya. Kalau sudah di atas tikar adat, masalah yang ada kemudian diselesaikan secara baik. Tikar adat ini tidak melulu menyelesaikan persoalan keseharian. Tikar adat ini, bahkan, menjadi ajang warga adat untuk mengeluarkan aspirasi, baik yang berkaitan dengan persoalan individu maupun kelompok. Tikar adat adalah konsep yang dibangun oleh suku bangsa atau adat. Sejatinya, tikar adat dapat disamakan dengan rapat warga yang ada di beberapa daerah lain. Perbedaannya adalah jika rapat warga mungkin tidak dihadiri oleh semua warga. Sementara, dalam tikar adat, semua anggota adat hadir. Perbedaan lainnya, jika dalam rapat warga hanya berlangsung beberapa jam, maka tikar adat dapat diselenggarakan hingga malam. Sampai persoalan selesai. Jika ingin menghimpun aspirasi, maka tikar adat akan diakhiri apabila sudah sama sekali tidak ada yang menyampaikan pendapat. Dinamakan  tikar adat karena dalam proses pertemuannya menggunakan tikar. Sebagaimana rapat warga, proses tikar adat juga ada yang memandu dan memimpin jalannya rapat. Hingga kini, tikar adat masih sering dilakukan, meskipun sudah agak terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.
Mekanisme  kultural  ini  terpinggirkan  akibat  dari  kebijakan  pemerintah yang membuat sekat-sekat kelompok di Papua. Kelompok Merah-Putih, pro- Merdeka, Otonomi Khusus, dan pemekaran. Maksudnya, jika ada persoalan, orang Papua sudah jarang memanfaatkan mekanisme kultural tersebut, melainkan melimpahkan ke pihak aparat keamanan (negara). Padahal, jika diselesaikan di tikar adat dan para-para adat, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan, karena posisi individu secara sosial akan kembali normal. Oleh karena itu, sebenarnya nilai-nilai adat Papua sudah memiliki potensi besar untuk dihidupkan kembali dalam membangun perdamaian, toleransi, dan solidaritas sosial. Sementara, jika dilimpahkan ke pihak aparat keamanan, yang diperoleh adalah penghakiman. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Ujungnya, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Padahal, dengan mekanisme pelimpahan ini, pihak keamanan (negara)-lah yang akan selalu menang. Sementara orang Papua baik yang dikalahkan dan dimenangkan, disalahkan atau dibenarkan, sama-sama mengalami kekalahan, karena yang memiliki otoritas atas budaya mereka bukan diri mereka sendiri, melainkan pihak di luar dirinya. Model seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun kedamaian di Papua. Dan oleh karena modal itulah Papua menjadi wilayah yang damai. Papua memiliki budaya dan warisan kebudayaan yang dapat memperkuat warganya untuk mempertahankan  kedamaian  dan  harmoni,  tanpa  menghilangkan  identitas kesukuan dan sebagai bangsa Papua. Selain solidaritas kesukuan, orang Papua juga memiliki solidaritas keagamaan, meskipun solidaritas yang terakhir ini tidak serta merta berkonotasi negatif. Selain nilai-nilai adat, mereka juga disatukan oleh nilai kekristenan, walaupun kadang sulit dibedakan antara nilai Kristen dan nilai adat. Hal itu tecermin dengan solidaritas kemanusiaannya yang pada saat yang sama nilai tersebut terkandung dalam nilai adat dan juga agama.
Salam Kipo Mati, Bayar Kepala, Potong Jari dan Bakar Batu
Di  beberapa  daerah,  bakar batu  mengalami  kontekstualisasi.  Wamena, sebuah  daerah  tempat  tinggal  bersama  masyarakat  pemeluk  Kristen,  Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha, misalnya, menjadi contoh bagaimana bakar batu dikontekstualisasikan. Di Wamena, menu bakar batu ada yang diganti dengan ayam dan daging (selain babi). Ini dilakukan untuk mengakomodasi kehadiran penduduk Muslim dalam pesta upacara. Kontekstualisasi ini memberikan makna bahwa ritual bukan melulu sebagai ritual untuk melupakan tragedi. Bakar batu adalah juga sebagai media untuk membangun toleransi dan perdamaian. Demikian halnya dengan tradisi bayar kepala. Ia tidak saja dapat bermakna sebagai media resolusi konflik, tetapi lebih dari itu adalah membangun kesepakatan-kesepakatan kultural  agar  perdamaian  dapat  diwujudkan  di  antara  mereka.  Ritual-ritual tersebut  memiliki  implikasi  kuat  dalam  tata  perilaku  toleransi.  Bangunan kesadaran hidup bersama dengan pihak lain semakin kokoh. Bahwa pihak lain tidak lagi dianggap berbeda dan mengancam identitas kultural dan eksistensi mereka. Pihak lain dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mereka. Sebagai salah satu contoh dari implikasi tersebut adalah, dalam hal jabatan pemerintahan,  penduduk  Islam  memiliki  hak  menjadi  pegawai  pemerintahan, sama seperti penduduk lain yang mayoritas (Kristen).
Pengelolaan solidaritas antarsuku bangsa, sebagai contoh yang paling terkenal, adalah bakar batu dan bayar kepala (Afwan, 2015: 66-67). Mekanisme ini pernah dipakai antara lain pada penyelesaian damai di wilayah Kwamki Lama, Timika, Papua, pada Juli-September 2006, ketika pecah perang antarsuku bangsa Damal,  Amungme,  dan  Dani.  Bakar  batu  dan  bayar  kepala  merupakan representasi pengelolaan solidaritas melalui ritual dan keadilan. Upacara  bakar batu  digelar selama lima  hari.  Pada  hari  yang ditentukan,  para  anggota  suku bangsa yang bersengketa berkumpul, dan membuat perapian berbahan batu-batuan dan ranting-ranting kering. Para wanita memasak sayuran dan ubi-ubian di atas perapian tersebut. Setelah matang, semua anggota suku bangsa yang hadir menyantap  masakan  tersebut.  Upacara  bakar  batu  seolah  berfungsi  sebagai sebuah momen melupakan tragedi dan peperangan yang sudah terjadi di antara mereka. Momen pelupaan seringkali mengandung sebuah ketidakadilan bagi korban.  Untuk  menanggulangi  hal  ini, agar  semua  pihak  merasa  ikhlas dapat menerima segala peristiwa yang telah terjadi, diselenggarakanlah bayar kepala. Bayar kepala dapat dikatakan sebagai "pembayaran" santunan kepada keluarga korban yang meninggal. Pembayaran ini dapat mencapai ratusan juta rupiah perjiwa.  Namun, jumlah tersebut  tidak seberapa  dibandingkan  dengan  nyawa. Mekanisme ini dipercaya sebagai sebuah pemutusan mata rantai dendam dan penghentian konflik di kemudian hari.
Masyarakat Papua memiliki tradisi tersendiri untuk menghantar mereka yang telah berpulang. Kematian salah seorang anggota keluarga merupakan momen berat, bukan saja bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga bagi seluruh warga distrik. Duka satu keluarga adalah duka seluruh distrik. Semua orang akan meninggalkan kegiatan mereka dan duduk bersama di pelataran rumah duka. Mereka menangis bersama selama beberapa hari sebagai tanda perkabungan. Ratap tangis duka tak terbendung lagi. Sementara ratap kian panjang, tetamu yang hadir saling memberi salam "Kipo-Moti" sebagai ungkapan bela sungkawa sekaligus penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
"Kipo-Moti" merupakan ungkapan salam sapa sehari-hari yang biasa dilakukan orang Papua.Cara berjabat tangan khas Papua ini dilakukan dengan saling menjepit jari telunjuk dan jari tengah yang dilengkungkan layaknya capit kepiting, kemudian saling menarik capitan tersebut. Dari situ akan timbul suara seperti jentikan jari. Konon, semakin keras suara yang ditimbulkan, semakin tuluslah hati sang pemberi salam. Demikianlah orang Papua mengidentifikasikan kebaikan dan kemurnian hati seseorang.
Dalam acara duka, salam "Kipo-Moti" tidak henti dilakukan. Ia merupakan simbol cinta tanpa tepi. Ratap dan salam penghiburan kian menjadi, apabila almarhum meninggal di tempat yang sangat jauh dari distrik mereka tinggal karena mereka tidak dapat melihat serta memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Seorang warga kampung yang meninggal di kota atau distrik lain yang jauh biasanya tidak dibawa kembali ke kampung halaman. Ia akan langsung diupacarai dan dimakamkan di tempat meninggalnya. Sementara keluarganya di kampung/distrik akan mendapat kabar lelayu tersebut 2 atau 3 hari sesudahnya. Hal ini terjadi karena akses informasi dan transportasi menuju distrik masih sulit. Anggota keluarga almarhum biasanya menerima kabar duka tersebut dari seorang kerabat atau kenalan yang menitipkan pesan secara berantai (estafet). Atau dapat juga, pembawa kabar datang langsung ke kampung halaman almarhum dengan menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama.
Sesaat setelah kabar lelayu tersebut sampai ke telinga keluarga dan warga, seluruh distrik tiba-tiba diselimuti awan duka. Jika hal tersebut jatuh pada hari Minggu, ibadah di gereja ditiadakan. Para gembala gereja, pejabat desa, dan penduduk akan berkumpul di rumah duka. Mereka satu per satu akan memberikan kesan-kesannya terhadap almarhum. Tangis, rasa sesal, dan ungkapan cinta yang besar tumpah ruah disana. Setelah beberapa hari, acara duka usai. Kampung kembali hidup. Warga berkatifitas kembali seperti semula. Meski begitu, kenangan-kenangan akan mereka yang berpulang tetap terpatri di kedalaman sanubari. Tiada lagi ratap duka. Bukankah kematian hanyalah penanda untuk waktu yang telah tiada? Bukankah ketiadaan waktu adalah keabadian? Bukankan keabadian hanya dapat disentuh dengan untaian doa? Maka, dengan doa, mereka tahu bahwa almarhum terkasih tidaklah berada jauh.
PENUTUP
Isu atau problem utama tentang Papua biasanya dikaitkan dengan politik, konflik, dan pemanfaatan sumber daya alam yang saling berkelindan. Â Namun, jika kita lebih dalam memahami dan memaknai Papua sebenarnya memiliki kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Kekayaan yang memberikan nilai budaya kepada tatanan hidup dan relasi sosial. Modal sosial ini bila dibangun, dirawat, dikembangkan, dan diimplementasikan dapat menjadi wahana peredam dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Keberagaman di Papua baik suku bangsa, ras, agama, budaya, dan lainnya tentunya diharapkan menjadi sisi positif dalam menggerakkan pembangunan untuk mensejahterakan seluruh penduduk yang tinggal di Tanah Papua. Namun demikian pemberdayaan penduduk lokal dalam segala aspek kehidupan adalah hal yang paling urgen. Â Sehingga terjalin relasi dinamis dan sinergis antara etnic nasionalisme dengan state nasionalisme dan melahirkan serta menumbuhkembangkan civic nasionalisme.