Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial Kedamaian di Papua
Modal Sosial
Menurut Bourdieu definisi modal sangat luas mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolis dan memiliki signifikansi secara kultural (Bahar,  2013:  249;  Bourdieu,  2016:  xix;  Harker.,  Mahar.,  &  Wilkes  (Ed.), 2009:16). Modal merupakan sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Modal juga dapat dipahami sebagai relasi sosial yang terdapat dalam sistem pertukaran, yaitu pertukaran dalam bentuk material maupun simbol.
Modal sosial terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antarindividu. Modal sosial ini dapat berwujud dalam bentuk praktis atau terlembagakan. Keduanya diproduksi dan direproduksi melalui pertukaran. Bentuk praktis modal sosial ini lebih terbuka dan longgar, misal hubungan pertemanan. Berbeda ketika modal sosial ini terlembagakan lebih ketat dan terikat, misal hubungan suku, keluarga, maupun keanggotaan dalam partai politik.  Bourdieu  (Afwan, 2015: 9) menekankan pentingnya  jaringan sosial melalui peluang dan keuntungan  yang tersedia bagi anggota suatu kelompok. Bourdieu mengindentifikasi tiga unsur modal sosial: (a) hubungan sosial yang memungkinkan aktor mendapatkan akses ke sumber daya; (b) jumlah sumber daya yang dihasilkan oleh totalitas hubungan antara aktor; dan (c) kualitas sumber daya tersebut.
Modal sosial dalam konteks ini adalah modal yang dimiliki individu atau masyarakat  untuk  berhubungan  sosial  dan  bekerjasama  membangun  suatu jaringan  yang dibangun diatas kepercayaan serta ditopang oleh nilai-nilai dan norma-norma sosial positif guna mencapai tujuan bersama.  Modal sosial dalam hal ini adalah kearifan lokal Papua dalam bentuk Para-Para Adat dan Tikar Adat serta Bakar Batu dan Bayar Kepala.
Kearifan Lokal
Di Tanah Papua istilah kearifan lokal sangat popular di masyarakat, dan sering digunakan sebagai jargon politik untuk kepentingan politik tertentu. Kearifan lokal karenanya juga sering diidentikkan dengan "politik identitas". Menurut Ahmad Syafii Maarif, (2012: 3-5) di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing- masing. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari  politik  identitas  itu.  Isu-isu  tentang  keadilan  dan  pembangunan  daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak  dipengaruhi  oleh  ambisi  para elit lokal untuk tampil sebagai  pemimpin,  merupakan  masalah  yang  tidak  selalu  mudah  dijelaskan. Secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua  menjadi  sangat  relevan.  Bentuk  ekstrem  politik  identitas  adalah mencuatnya sampai batas-batas tertentu gagasan tentang separatisme. Dalam kaitannya dengan gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa pasca Perang Dunia II, termasuk Indonesia, politik identitas haruslah dinilai sebagai sesuatu yang positif dan bahkan sebagai keharusan sejarah, sebagaimana yang dikukuhkan dalam Pembukaan  UUD  1945  tentang  kemerdekaan  bangsa-bangsa,  yang  berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan  dan perikeadilan" (Alenia Pertama Pembukaan UUD 1945). Kearifan lokal yang dipahami ini adalah konsep yang menekankan pentingnya "dinamika" (Afwan, 2015: i). Sebagai konsep, kearifan lokal selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan tantangan dan peluang serta terus beradaptasi dengan ragam konteks dalam lintasan sejarah dan bertransformasi. Kearifan lokal adalah tentang perubahan sekaligus keberlanjutan.  Kearifan lokal adalah tentang masa lalu, sekaligus tentang masa sekarang, dan bahkan tentang masa  depan.  Kearifan  lokal  identik  dengan  dinamika,  transformasi,  dan reproduksi.
Kajian ini melihat dinamika konflik akibat keberagaman dan resolusinya melalui tradisi-tradisi lokal, kearifan lokal untuk perdamaian sangat mungkin dikonsepkan dan dikembangkan. Dalam literatur tentang Papua,  diskursus konflik sangat dominan. Demikian dominannya, Papua seakan sudah identik dengan konflik.  Menurut  Afwan  (2015:  viii)   konflik  memang  ada  dan  menyejarah (sesuatu yang sebenarnya tidak unik di Papua saja), tetapi resolusinya juga selalu ada, empiris, dan menyejarah melalui tradisi-tradisi lokal. Sayangnya, diskursus resolusi konflik melalui tradisi lokal ini cukup marginal dan terpendam padahal potensinya besar. Konseptualisasi kearifan lokal untuk perdamaian dari tradisi- tradisi Papua cukup menjanjikan. Secara teoritis,  yang menjanjikan efektifitas kearifan  lokal  sebagai  pendekatan  adalah: (1)  merupakan  bagian  dari  sejarah hidup masyarakat. Masyarakat sudah mengenalnya baik sebagai konsep maupun sebagai praktik; (2) inheren dalam konsep kearifan lokal adalah pemosisian masyarakat sebagai "subyek", bukan obyek. Mereka berposisi sebagai orang yang mengetahui sebab dan akibat masalah (konflik misalnya), dan karenanya diasumsikan dapat merumuskan resolusi atau pemecahannya.
Keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya sangat kaya. Pada satu sisi, keragaman tersebut seringkali melahirkan konflik. Penyebab konflik ini lebih karena persoalan ringan. Konflik menjadi besar karena dibumbui dengan identitas kesukuan dan atau identitas keagamaan. Di sisi lain, sebagaimana banyak riset akademik menyebutkan, keragaman ini berhasil membentuk kepribadian dan sistem moral masyarakat Papua. Menyadari besarnya potensi konflik oleh karena banyaknya suku bangsa, hampir setiap suku bangsa dan adat di  Papua  memiliki  mekanisme  kultural  yang  dibangun  untuk  menyelesaikan konflik dengan damai. Mereka membangun mekanisme untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kultural agar para pihak yang berkonflik melupakan segala persoalan, tidak mengulangi konflik, dan membangun toleransi serta perdamaian ke depan. Sayangnya, kekayaan itu tidak mengemuka. Ia tenggelam oleh ramainya diskursus politik, sumber daya alam, dan konflik kepentingan di Papua.  Menururt  Afwan  (2015:  ix-x)  dalam  konteks  inilah  pengungkapan kekayaan nilai budaya dari tradisi lokal suku bangsa di Papua sangat penting. Kekayaan budaya Papua akan banyak memberi kontribusi positif dalam membangun perilaku maupun pengambilan kebijakan. Selain itu, kekayaan Papua bukanlah melulu pada sumber daya alamnya. Papua juga kaya budaya. Kekayaan kultural ini layak menjadi modal untuk membangun masa depan, bahkan memperkuat perdamaian dan toleransi di Papua.
Tikar Adat dan Para-Para Adat
Masyarakat  adat  Papua  memiliki  mekanisme  penyelesaian  masalah, konflik, atau perang di antara mereka dengan para-para adat (Afwan, 2015: 63-64).  Para-para adat adalah rumah atau bangunan yang menjadi media kultural untuk acara-acara sakral dan  memecahkan masalah antarsuku bangsa. Tempat ini sengaja dibuat secara khusus karena segala persoalan, keperluan, kepentingan, dan kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Para-para adat ini menjadi hal yang pokok dalam budaya Papua sejak lenyapnya rumah Mau (rumah yang berfungsi sebagai tempat inisiasi anak laki-laki, salah satu bentuk kegiatan ritual pokok yang telah lenyap seiring masuknya agama Kristen Protestan yang melarangnya). Para-para adat dianggap sebagai tempat yang disucikan dalam arti simbolis. Oleh karena  itu,  dalam  hal  perawatan,  perbaikan,  pembongkaran,  serta pembangunannya  diawali  dengan  musyawarah   adat  yang  dipimpin  secara langsung oleh Ondoafi, tetua adat. Dalam  para-para adat ini juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan pertikaian antarsuku bangsa. Para pihak yang bertikai difasilitasi untuk berkumpul dan mencari jalan keluar bersama. Masing-masing mengusulkan kepentingannya. Masing-masing menjelaskan persoalannya. Dalam tradisi ini ditampung segala keinginan, hingga diperoleh kesepakatan bersama, hingga persoalan tersebut dianggap sudah selesai. Tidak perlu lagi diungkit. Setelah itu, masih di forum tersebut, dibangun kesepakatan bersama untuk tidak mengulangi lagi dan menjaga keharmonisan kehidupan antarsuku bangsa.