Mohon tunggu...
Novi Trihadi
Novi Trihadi Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Ketik

Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Universitas Siber Asia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Figur Kearifan Lokal sebagai Social Capital

28 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 29 Juli 2021   00:16 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

Kajian tentang Papua biasanya selalu dikaitkan dengan tiga isu utama yang saling berkelindan yaitu konflik, politik, dan sumber daya alam. Konflik antara Papua dengan Jakarta, konflik antar suku bangsa,  dinamika politik relasi Papua dengan  pemerintah  pusat  (Jakarta),  dan pemanfaatan  sumber  daya  alam  yang dinilai tidak memberi banyak keuntungan untuk orang asli Papua (OAP). Pada perkembangannya dari sejak integrasi Papua (1963) ke Republik Indonesia hingga saat ini (2019) terjadi relasi dialektik antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua. Padahal bila kita mau lebih dalam memahami dan memaknai Papua sebenarnya memiliki kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Kekayaan yang memberikan nilai budaya kepada tatanan hidup dan relasi sosial. Kearifan lokal yang menjadi modal sosial (social capital) untuk membangun dan mengembangkan perdamaian di Tanah Papua.

Jika diteropong dari perspektif historis, dinamika sosial politik masyarakat Papua memiliki riwayat panjang. Faktanya Papua memang memiliki pengalaman historis yang berbeda dengan daerah lain di Nusantara. Perbedaan ini ditandai oleh masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya mengapa perkembangan nasionalisme Indonesia di Papua   memiliki corak berbeda. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada 1925 dan nasionalisme Indonesia pada 1945 di Papua. Menurut Richard Chauvel (2005) bahwa salah satu faktor penyebab munculnya nasionalisme Papua terletak pada perjalanan historis Papua yang menyangkut perbedaan dan persaingan antara orang Papua dan orang Indonesia (seperti, Ambon,   Kei, Manado, dan Sangir), baik sebelum Perang Pasifik 1942 maupun selama periode 1944-1962. Nasionalisme Papua lahir dari benih yang ditanamkan Belanda. Sementara benih nasionalisme Indonesia ditanamkan oleh orang Indonesia khususnya dari bagian timur. Oleh karena itu, orang Papua kemudian memiliki nasionalisme ganda (dual nationalism): Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia (Meteray: 19-27).

Namun,   faktanya   Pemerintah   Kolonial  Hindia   Belanda   (selanjutnya PKHB) saat itu mengesankan lebih memahami kultur orang Papua daripada posisi pemerintah Indonesia. Hal ini nampak pada pendekatan yang dilakukan PKHB kepada orang Papua. Dampaknya, orang Papua merasa "berbeda" dengan orang Indonesia. PKHB menempatkan beberapa orang Papua dalam posisi strategis birokrasi. Sementara pasca Papua menjadi bagian dari Indonesia, pemerintah menempatkan posisi orang Papua jauh di bawahnya. Beberapa jabatan starategis di masa PKHB di Papua diberikan kepada orang Papua. Sebaliknya, ketika Papua menjadi bagian dari Indonesia, beberapa jabatan pemerintahan di Papua tidak diberikan kepada orang Papua. Posisi-posisi tersebut diberikan kepada orang luar Papua  yang  dikirim  ke  Papua.  Problem  atau  isu  ini  dapat  menjadi  potret bagaimana  "posisi"  Papua  sebenarnya.  Pada  satu  sisi,  Papua  tidak  dapat dilepaskan dari nasionalisme Indonesia. Namun, di sisi lain, Papua belum merasakan detak  nasionalisme Indonesia dalam kehidupan kesehariannya. Orang Papua belum sepenuhnya merasakan manfaat menjadi bagian dari Indonesia (Afwan, 2015: 4). Hal inilah yang melatarbelakangi pasang surut relasi dialektis antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua.

Masalah klasik ini, akibatnya, tidak pernah lepas dari persoalan politik. Masing-masing pihak, antara pemerintah pusat (Jakarta) dan Papua, memiliki perbedaan   perspektif   yang tajam mengenai hal itu.   Indonesia berusaha mendesakkan isu nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Sementara orang Papua ingin dihargai sebagai pemilik tanah Papua. Dua perspektif ini melahirkan konflik panjang sejak era 1960-an hingga saat ini, meskipun banyak pihak berusaha mencari solusi kondisi ini. Menurut Muridan S. Widjojo (2009) kompleksitas persoalan Papua di tingkat nasional dan lokal dan dalam konteks konflik di Papua, fokus  pada  empat  isu  utama.     Pertama,   masalah   marjinalisasi   dan  efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal (transmigrasi) ke Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.   Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dalam konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan     untuk     Aceh           (Perdamaian     Helsinki     2005).     Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum.

Fokus kajian ini adalah potensi kearifan lokal di Papua untuk membangun dan mengembangkan perdamaian. Kekayaan kearifan lokal di Papua yang memberikan modal bagi mekanisme budaya dalam penyelesaian persoalan atau konflik di Papua. Sehingga akan terjadi relasi dinamis dan sinergis antara etnic nasionalisme, civic nasionalisme dan state nasionalisme di Papua.

METODE

Desain penelitian  fenomenologi sebagai asumsi-asumsi  dan  tindakan-tindakan  yang digunakan  peneliti  ketika  bergerak dari paradigma atau desain (srategi) penelitian menuju tahap pengumpulan data empiris di lapangan. Dengan desain fenomenologi peneliti berusaha memahami makna dari berbagai fenomena (fokus kepada fenomena),  peristiwa dan interaksi manusia dalam situasi yang khusus. Tekanannya diarahkan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku individu-individu (Creswell, 2014: 20; Jailani, 2013: 42; Rachman, 2015: 167). Dengan cara ini akan dapat dipahami makna dari berbagai peristiwa dalam kehidupan. Melalui strategi fenomenologi perhatian diarahkan pada interaksi sosial di antara warga masyarakat Papua   baik secara vertikal maupun horisontal. Pendekatan penelitian fenomenologi   merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman manusia  dan bagaimana manusia menginterpretasikan pengalamannya. Ditinjau dari hakekat pengalaman manusia dipahami bahwa setiap orang akan melihat realita yang berbeda pada situasi yang berbeda dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, metode dalam fenomenologis   ini   menekankan   kepada   bagaimana   seseorang   memaknai pengalamannya (Hardiansyah, 2013: 228; Hasbiansyah, 2008: 163; Jailani, 2013: 41; Novianti & Tripambudi, 2014: 119; Sudarman, 2014: 103). Menarik untuk dikaji bagaimana kearifan lokal Papua dalam mendukung perdamaian di Papua dan  dalam  memaknai  relasi  Ke-Papuaan  dan  Ke-Indonesiaan  dalam  dinamika relasi antara Pemerintah Pusat (Jakarta) dengan Papua (Jayapura).

Penelitian ini juga didukung metode sejarah untuk proses pengumpulan data hingga pelaporan hasilnya. Dalam metode sejarah dikenal tahap-tahap penelitian, yaitu: penelusuran sumber sejarah (historiografi), kritik sumber (verifikasi), interpretasi dan eksplanasi, dan penulisan sejarah (historiografi) (Garraghan, 1957: 33; Gottcshalk, 1986: 13; Renier, 1997: 113-118; Suhartono, 2010: 29-56). Heuristik merupakan langkah awal dari penelitian ini yang berisikan kegiatan penelusuran sumber sejarah. Konsekuensi logis di dalam metode sejarah, setelah penulis berhasil mengumpulkan data yang diperlukan adalah melakukan kritik sumber, baik secara eksternal maupun internal. Kritik eksternal digunakan untuk menilai otentisitas sumber, sedangkan kritik internal digunakan untuk menilai  kredibilitas  sumber.  Fakta  sejarah  yang  dihasilkan  dari  proses  kritik sumber sejarah bersifat tunggal. Untuk mengaitkan antar sumber dilakukan proses penafsiran atau interpretasi dan penjelasan hubungan antar fakta (ekplanasi). Interpretasi meliputi interpretasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Penulisan sebagai tahap akhir dari penelitian memperhatikan aspek kronologis, dan penyajiannya berdasarkan tema- tema penting dari setiap perkembangan obyek penelitian. Aspek-aspek non individu menjadi narasi penting dalam kajian ini dalam bingkai waktu sehingga digunakan  analisis  prosesual  dan  struktural  (Kartodirdjo,  1992;  Kuntowijoyo, 2003; Wasino, 2016: 64).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebhinekaan Suku Bangsa dan Kesadaran Identitas Papua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun