Â
Embun pagi menyelimuti hamparan sawah di kaki Gunung Merapi. Udara sejuk menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja tersiram hujan. Di tengah hamparan hijau itu, berdiri kokoh sebuah rumah joglo tua, saksi bisu perjalanan waktu yang panjang. Di teras rumah, duduk seorang nenek tua bernama Mbah Karto, dengan kerutan halus di wajahnya yang menceritakan kisah hidup yang panjang.
Â
Mbah Karto mengenakan kebaya warna cokelat muda, dihiasi motif batik khas daerahnya. Rambutnya yang memutih diikat rapi dengan ceplok, sebuah aksesoris tradisional yang melambangkan kebijaksanaan dan pengalaman. Matanya, meskipun sudah berkabut usia, masih memancarkan cahaya kehangatan dan kecerdasan.
Â
Di tangannya, Mbah Karto memegang sebuah keranjang anyaman bambu, berisi hasil panen pagi itu. Beras merah, kacang tanah, dan cabai merah terhampar rapi di dalamnya. Itulah hasil jerih payah Mbah Karto dan para petani di sekitarnya. Mereka menanam dengan penuh kasih sayang, merawat dengan penuh kesabaran, dan memanen dengan penuh syukur.
Â
"Embun pagi ini, cucu," ujar Mbah Karto, suaranya serak tapi penuh makna, "menyerupai rezeki yang datang dari Tuhan. Kita harus menjaganya, merawatnya, dan memanfaatkannya dengan bijak."
Â
Mbah Karto kemudian menceritakan legenda tentang embun pagi. Konon, embun pagi adalah air suci yang turun dari langit, membawa berkah dan kesuburan bagi bumi. Itulah mengapa para petani di daerah itu selalu menghormati embun pagi, menganggapnya sebagai anugerah yang harus dijaga.
Â
"Embun pagi juga mengajarkan kita tentang kesabaran," lanjut Mbah Karto. "Sama seperti embun yang menetes perlahan, kita harus sabar dalam menjalani hidup. Jangan terburu-buru, karena kesabaran akan membawa kita pada hasil yang baik."
Â
Matahari mulai menyapa cakrawala, menandakan waktu untuk memulai aktivitas. Mbah Karto menunduk, mencium tanah dengan penuh hormat. "Terima kasih, Embun Pagi, atas rezeki yang kau berikan," bisiknya.
Â
Mbah Karto kemudian beranjak, meninggalkan teras rumah, menuju sawah untuk menanam padi. Langkahnya meskipun sudah renta, tetap tegap, penuh semangat, dan dipenuhi dengan kebijaksanaan. Mbah Karto, dengan segala kearifan lokalnya, menjadi teladan bagi generasi muda untuk menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang.
Â
Embun pagi di kaki Gunung Merapi, tak hanya menandakan awal hari, tapi juga menjadi simbol kearifan lokal yang terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H