Pada dasarnya psikologi politik mewakili penggabungan antara dua disiplin ilmu yaitu psikologi dan ilmu politik yang dari ilmu tersebut dapat digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena politik yang ada.
Salah satu tujuan dari psikologi politik yaitu menyusun konsep-konsep umum tentang perilaku sehingga dapat membantu menjelaskan dan memprediksi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam politik.Â
Di Indonesia pada bulan September merupakan bulan yang sangat berat bagi Indonesia dimana banyak terjadi protes politik baik di media maupun turun ke jalan dengan melakukan demonstrasi.
Mengapa orang melakukan protes politik?
Menurut teori klasik  mengatakan bahwa orang berpartisipasi dalam protes politik untuk mengungkapkan keluhan mereka yang berasal dari perampasan, frustasi, atau ketidakadilan yang dirasakan (Berkowitz, 1972; Gurr, 1970; Lind and Tyler, 1988; dalam Van Stekelenburg dan Klandermans, 2013).Â
Perilaku politik seringkali gagal dalam menjelaskan secara akurat beberapa keputusan dan tindakan politik yang telah diambil oleh orang-orang. Â
Sering kita lihat di berbagai acara berita, sosial media, mengenai protes terhadap suatu peristiwa. Seringkali protes tidak terlepas dari kemarahan atau emosi negatif. Sebagai contoh menegenai RUU KPK Â terdapat dua kelompok yang pro terhadap revisi tersebut dan kontra tidak menginginkan adanya revisi.Â
Kemarahan pada dasarnya mempromosikan kemauan untuk terlibat dalam tindakan politik.  Hal ini dapat kita lihat banyak di berbagai media mahasiswa turun ke jalan sebagai salah satu cara mereka menyampaikan protes terhadap adanya revisi UU yang secara tidak langsung memperlihatkan bawa mereka menunjukkan adanya kemauan untuk  terlibat dalam perilaku politik.
Protes politik merupakan cara bagaimana menilai reaksi yang diakibatkan dari  pengambilan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dapat digunakan untuk membantu menilai dan menngukur bagaimana penilaian dan keinginan rakyat.Â
Orang-orang di negara demokratis seperti Indonesia hendaknya dapat beryukur karena kita berhak untuk  menyuarakan pendapat dan tidak hidup dibawah kediktatoran. Bagaimanapun protes politik yang dilakukan jangan samapai hak yang diberikan disalahgunakan. Misalalnya protes politik yang didalam bahasannya mengandung unsur SARA.  Â
Menurut teori penilaian emosi orang terus mengevaluasi atau menilai relevansi lingkungan mereka untuk kesejahteraan mereka (Van Stekelenburg dan Klandermans, 2013). dimensi penilaian yang dievaluasi biasanya tentang "Bagaimana peristiwa tersebut mempengaruhi saya?"Â
"Siapa atau apa yang menyebabkan peristiwa itu?" "apakan peristiwa tersebut sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang yang saya anut atau norma yang ada dimasyarakat?", sehingga hal ini berakibat pada cara orang menilai peristiwa yang sama secara berbeda dan memiliki respons emosional yang berbeda .Â
Orang-orang mengasumsikan secara umum bahwa out-groups menghalangi tujuan-tujuan in-groups dan dengan demikian out-group secara otomatis dikaitkan dengan emosi negatif (Cottam, 2012).Â
Pada protes politik yang dilakukan melalui demonstrasi pada bulan Septermber lalu dapat terlihat bahwa terdapat  dua kelompok yang memiliki saling bertentangan yaitu pemerintah dan rakyat. Dimana para demonstran merasa pemerintah  mengahalangi tujuan rakyat dan begitu sebaliknya pemerintah merasa rakyat menggahalanginya dengan untuk segera mengesahkan RUU tersebut.
DAFTAR RUJUKANÂ
Van Stekelenburg, J., & Klandermans, B. (2013). The social psychology of protest. Current Sociology, 61(5-6), 886-905.
Cottam, M. L (2012). Pengantar Psikologi Politik. Jakarta : Rajawali Perss.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H