Mohon tunggu...
Novita Nuzwar
Novita Nuzwar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Sudahkah Anda Menjadi Bagian dan Mendapat Keuntungan Sebagai "Cashless Society"?

20 Desember 2018   22:11 Diperbarui: 21 Desember 2018   01:35 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak negara termasuk Indonesia yang mendorong masyarakatnya menjadi Cashless Society. Hal ini bukan sekedar karena pemerintah kita latah hendak mengikuti adopsi tren digital. Namun ada berbagai alasan logis mendasarinya.

Faktor efisiensi biaya pengelolaan uang menjadi alasan yang utama. Akan banyak penghematan yang bisa diraih pemerintah bila masyarakatnya beralih ke transaksi digital. Mulai dari pengadaan dan pencetakan uang, distribusi uang ke masyarakat sampai dengan penggantian serta penarikannya kembali. Semua adalah biaya. Belum lagi biaya untuk upaya pengawasan atas adanya pemalsuan uang,

Untuk kondisi di Indonesia biaya pengelolaan dan pengamanan peredaran uang, bisa jadi sangat besar. Kondisi demografis negara kita yang terdiri dari berbagai pulau dengan dataran yang dikelilingi pegunungan dan sungai tentu menyulitkan logistik pengiriman uang.

Alangkah eloknya bila pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa ditunjang dengan meningkatnya penggunaan transaksi digital. Dengan demikian  biaya yang dialokasikan Bank Sentral Indonesia yang konon bisa mencapai 4 trilyun lebih per tahun untuk pengelolaan uang kartal, sebagiannya bisa disalurkan untuk kepentingan yang lebih produktif.

Menyadari manfaat tersebut, sebagai masyarakat Indonesia apakah kita sudah mulai menjadi bagian dari Cashless Society?

Bagi kaum urban tentu sudah terbiasa dengan penggunaan kartu debet, kredit atau e-money yang dikeluarkan baik pihak Perbankan. Penggunaan kartu berbasis chip untuk transaksi ini, bisa ada terhubung dengan akun Perbankan dan bisa juga tidak. Anak-anak sebenarnya bisa mulai dikenalkan dengan kebiasaan bertransaksi non- cash melalui kartu e-money. Orang tuanya yang melakukan isi ulang. Paling tidak anak-anak dibiasakan menggunakannya untuk jajan di mini market atau naik angkutan umum seperti Transjakarta.

Adapula transaksi digital yang menggunakan akses internet, baik melalui internet banking atau e-wallet yang kini sedang menjadi tren. Beberapa provider layanan ini yang aktif berpromosi ialah : Gopay, OVO, Sakuku dan T-Cash.

Apakah memang menggunakan transaksi digital ini lebih menguntungkan? Saat ini saya dengan yakin menjawab 'Ya'. Saya sangat diuntungkan sekali memanfaatkan berbagai promosi yang dilakukan para provider transaksi digital baik itu berupa discount, cashback atau hadiah gimmick lainnya. Transaksi saya bisa hemat dari 5% bahkan sampai 60%. Silakan pilih-pilih provider yang penawaran promosinya cocok untuk Anda. Pastinya pilih yang provider lokal saja ya.

Lalu apakah para provider e-wallet tersebut tidak rugi ? Saya yakin tidak. Untuk membentuk kebiasaan memang butuh investasi awal. Begitu juga untuk membangun jaringan mitra dan ekosistem pendukung pembayaran digital ini. Lalu apa yang mereka dapat nantinya? Sudah pasti basis pengguna yang besar yang jadi aset yang sangat berharga untuk pengembangan bisnis para provider ini ke depannya. 

Terlebih lagi data transaksi yang mereka kumpulkan merupakan tambang emas era digital. Melalui kemampuan big data analytic mereka bisa mengetahui secara persis profil setiap orang  yang menjadi pengguna, dilihat dari pola konsumsi dan transaksinya. Di dunia Marketing, kemampuan profiling ini merupakan senjata yang sangat mumpuni untuk meraih keberhasilan menggarap pasar.

Selain merasa cerdas dalam bertransaksi, saya juga merasakan mendapat kenyamanan dan efisiensi lebih. Saya tidak perlu direpotkan dengan kembalian uang receh yang memberati dompet. Semua transaksi dilakukan secara pas sesuai nominal. 

Memang jadi perlu langkah tambahan untuk melakukan top-up isi saldo di e-wallet. Namun hal justru membuat saya lebih terkendali dalam mengalokasikan dana untuk kebutuhan belanja dan entertainment. Hebatnya lagi mereka bisa menyajikan data history transaksi, untuk menjadi evalusi pengeluaran kita.

Ada hal lain yang membuat saya nyaman menggunakan e-wallet non Bank untuk bertransaksi digital yang lagi nge-tren ini. Saya jadi bisa mengurangi ketergantungan dengan Perbankan yang berpotensi riba. Saldo e-wallet kita disini tidak ada unsur riba. Untuk melakukan top-up pun bisa langsung dilakukan melalui mitra atau merchant yang semua tentu bebas riba. Bertransaksi dan mengirim uang semua sudah bisa dilakukan provider e-wallet non Bank dengan sangat cepat, aman dan gratis tanpa biaya tambahan.

Dari semua cerita bagus di atas, kita tetap harus waspada. Namanya juga layanan digital yang menggunakan infrastruktur internet, tentu ada potensi risiko keamanan atau security breach. Para hacker tidak kalah pintar untuk mendapat celah untuk memindahkan dan menghabiskan saldo kita. Penipuan melalui layanan Gopay sudah beberapa kali terjadi, termasuk pada keluarga saya. Pengguna lengah memberikan nomor PIN yang seharusnya sangat rahasia, hanya karena iming-iming hadiah. Untuk itu tanggung jawab para provider layanan transaksi digital untuk memberikan peringatan dan perlindungan kepada penggunanya atas semua potensi risiko.

Transaksi yang kecil-kecil bersifat harian memang sangat nyaman menggunakan e-wallet, namun untuk transaksi nominal besar tetap harus mengandalkan layanan Perbankan. Umumnya saldo e-wallet hanya sebesar 1-2 juta, dan bila melalui proses pendaftaran (KYC=know your customer) bisa sampai 5 -10 juta.

Namun bilapun harus menggunakan layanan Perbankan, kita tetap bisa di jalur elektronik. Gunakan selalu ATM, SMS/Chat Banking, Internet/Mobile Banking atau kartu e-money untuk bertransaksi. Selain memberikan kenyamanan keamanan dan kecepatan, semua transaksi bisa disimpan dalam pencatatan elektronik. Hanya para koruptor dan pelaku pungli yang menghindari manfaat ini tentunya.

Saat ini di Indonesia baru masyarakat urban sepertinya yang bisa merasakan gempitanya layanan transaksi digital. Hal ini karena ketersediaan jaringan fixed broadband masih terpusat di kota-kota. Namun dengan selesainya proyek Palapa Ring yang katanya bisa mencakup dan menyediakan layanan internet d seluruh kabupaten di Indonesia, kita semua bisa menjadi cashless society.

So, bila dikatakan 'Cash is King' nantinya apa masih relevan? Bagi saya, para pendukung jargon ini pastinya less smart :).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun