Mohon tunggu...
Novita Mandasari
Novita Mandasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Seorang istri sekaligus pengajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok agar Bangsa Sehat

19 Agustus 2018   21:04 Diperbarui: 19 Agustus 2018   21:24 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Banyak penelitian menunjukkan dampak buruk rokok bagi kehidupan manusia. Dampak negatif dari rokok sudah diketahui masyarakat, namun anehnya namun jumlah perokok di Indonesia terus meningkat.

Lebih memprihatikan, kelompok rentan menjadi penyumbang perokok aktif  terbanyak di Indonesia. Melihat kondisi inilah maka kampanye #RokokHarusMahal digaungkan.

Baru-baru ini Kantor Berita Radio (KBR) melakukan diskusi rutin program radio ruang publik KBR sebagai bagian dari kampanye #rokokharusmahal #rokok50ribu dengan tema "Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok".

Diskusi yang disiarkan di radio ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. Abdillah Ahsan (Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI) dan Dr. Arum Atmawikarta, MPH (Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas).

Satu hal yang cukup menarik terungkap dari diskusi tersebut, konsumsi rokok dalam rumah tangga masyarakat kita ternyata mendapat porsi cukup besar. Menurut Arum Atmawikarta, survey BPS mengatakan pengeluaran masyarakat terhadap beras sebesar 22 % yang kemudian diikuti dengan pengeluaran rokok sebesar 12,7 %.

Banyak keluarga yang lebih memilih membeli rokok dibanding susu, telur, daging, ikan, dan lain-lain yang sebenarnya lebih berguna bagi kesehatan tubuh. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena masyarakat kelompok rentan menjadi semakin miskin akibat kecanduan mengkonsumsi rokok. Adapun yang termasuk di dalam kelompok rentan yaitu bayi, balita, ibu hamil, anak-anak, dan masyarakat miskin yang menurut BPS jumlahnya cukup besar yaitu 9,7%.

Demi kesehatan 

Rokok tidak hanya berbahaya bagi si perokok tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya.  Kelompok rentan seperti bayi, balita, dan ibu hamil merasakan dampak buruk dari asap rokok. Menurut hasil penelitian, daya intelegensi anak dari keluarga perokok lebih rendah dibanding anak dari keluarga yang tidak perokok. Bagi ibu hamil, rokok bisa mengakibatkan janin tidak berkembang dengan baik atau dapat melahirkan anak yang stunting.

Kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi di Indonesia. Banyak anak di bawah usia 15 tahun sudah merokok. Anak-anak di bawah usia 15 tahun dan di bawah usia 18 tahun masuk dalam kelompok rentan.

Kementerian Kesehatan menyebutkan Indonesia menghadapi ancaman serius akibat peningkatan jumlah perokok, terutama kelompok rentan anak-anak dan remaja. Pada tahun 1995 jumlah anak perokok usia di bawah 15 tahun sebanyak 9,6%, di tahun 2001 jumlah ini meningkat menjadi 9,9%. Peningkatan signifikan terjadi di tahun 2010 yaitu sebesar 19,2%, dan hingga saat ini peningkatan jumlah perokok anak terus terjadi.

Hasil Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 juga memperlihatkan angka remaja perokok laki-laki telah mencapai 54,8%. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, mengingat anak di bawah usia 15 tahun seharusnya masih di bawah pengawasan orangtua. Sebagai generasi penerus bangsa, kondisi ini tentu menjadi "warning' bagi pemerintah.

Kebiasaan orangtua yang merokok menjadi faktor utama yang menyebabkan anak merokok. Di dalam kehidupan sehari-hari terlihat seorang bapak atau ibu yang perokok sering sekali menyuruh anaknya untuk membelikan rokok di warung.

Kebiasaan itu kemudian ingin dicoba anak dan selanjutnya anak menjadi ketagihan. Oleh sebab itu bila orangtua tidak bisa berhenti merokok, ada baiknya jangan merokok di dalam rumah atau dihadapan anak.

Selanjutnya, harga rokok yang relatif murah dan mudah di dapat membuat anak-anak kelompok rentan ini menjadi perokok. Rokok bebas dijual dimana saja bahkan di lingkungan sekitar sekolah. Anak sangat mudah mendapatkan rokok, ditambah lagi rokok bisa dijual dalam bentuk ketengan. Satu batang rokok dijual Rp. 1000 bahkan ada di bawahnya. Dengan uang saku Rp 5000-10.000/hari anak dapat membeli beberapa batang rokok.

Inilah yang mengakibatkan daya ingat, dan keinginan anak untuk belajar menjadi rendah. Selain itu anak-anak yang perokok juga cenderung malas ke sekolah. Anak-anak yang sudah merokok jadi lebih senang nongkrong di warung-warung sekitar lingkungan sekolah.

Menarik apa yang disampaikan Abdillah Ahsan , "membeli rokok itu membeli penyakit dan ini sungguh tidak masuk akal". Sebungkus rokok Rp.15.000/hari, itu sama dengan Rp. 450.000 sebulan, dan dalam setahun bisa menjadi 7 juta.

Sebanyak 7 juta uang dibakar, padahal yang didapat hanya penyakit. Padahal bila uang tersebut dibelikan susu, telur, daging, ikan, dan kebutuhan pokok lainnya keluarga Indonesia bisa menjadi keluarga yang sehat.  

merdeka.com
merdeka.com
Selain murah dan mudah didapat, faktor lainya yang menyebabkan jumlah perokok terus bertambah adalah maraknya iklan rokok. Pemahaman pemerintah tentang bahaya rokok kalah dibanding dengan iklan rokok di TV atau baliho-baliho di jalan.

Isi iklan yang menggambarkan orang merokok itu hebat, keren, memiliki energi yang kuat, sukses, dan juga dituliskan harga rokok yang murah serta dijual ketengan. Iklan rokok seperti ini tidak mungkin memberikan efek jera bagi perokok malah sebaliknya semakin membuat jumlah perokok semakin bertambah.

Peningkatan perokok di kelompok rentan anak-anak dan remaja menurut survei Global Youth Tobacco tahun 2009-2014 dan Badan Litbangkes disebabkan dua faktor yaitu iklan sebesar 46,3% dan sponsor rokok di berbagai event sebesar 41,5%.

Padahal, konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah selaku pengemban konstitusi agar mengendalikan konsumsi rokok. Regulasinya cukup lengkap mulai dari Undang-undang Bea Cukai tentang tarif cukai rokok, Undang-undang kesehatan tentang zat adaptif yang terdapat pada rokok, dan hak mendapatkan udara yang bersih adalah bagian dari Hak Azasi Manusia.

Peringatan tentang bahaya merokok juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau.

Di dalam aturan tersebut ada lima gambar yang dipakai dalam tiap bungkus rokok yaitu kanker mulut, kanker paru-paru dan bronkitis akut, kanker tenggorokan, merokok membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Ini semua bertujuan memberikan efek jera sehingga perokok sadar akan bahaya rokok bagi kesehatan.

Dari diskusi "Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok" mengatakan ada beberapa hal yang harus dilakukan agar jumlah perokok dapat dikendalikan.

Pertama, pemerintah harus menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya sehingga harga rokok menjadi lebih mahal. Minimal harga rokok Rp. 50.000 -- 100.000. Pemerintah tidak perlu khawatir bila pendapatan negara menjadi berkurang. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh diserahkan kepada industri rokok. Masyarakat yang tidak merokok justru diharapkan bisa lebih produktif.

Bila masyarakatnya sehat, maka akan produktif bekerja dan tentu saja ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Aspek pengendalian harus lebih kuat dibanding penerimaan negara" jelas Abdillah Ahsan.  

Kedua, membatasi atau menghapus iklan rokok. Hasil survei Yayasan Lentera Anak tahun 2015 di lima kota menunjukkan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Iklan rokok menyebabkan anak-anak ingin mencoba rokok dan akhirnya tidak dapat berhenti hingga dewasa.

Ketiga, membatasi tempat atau akses penjualan rokok. Rokok tidak boleh dijual bebas dimana saja. Pemerintah harus bertindak tegas dengan tidak memperbolehkan rokok dijual di lingkungan sekitar sekolah.

Selain perlu membuat aturan bahwa pedagang tidak boleh menjual rokok kepada anak-anak dan anak remaja. Setiap pedagang perlu bertanya umur pembeli rokok, bila si pembeli masih anak-anak atau anak remaja maka rokok tidak boleh dijual. Sepertihalnya aturan bagi pembeli minuman keras. Tindakan seperti ini sudah dilakukan di negara-negara lain dan membuktikan jumlah perokok menjadi berkurang.

Keempat, keteladanan dari orangtua. Keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah bangsa. Keluarga berperan dalam pembentukan masa depan anak. Oleh sebab itu orangtua haruslah memberikan teladan yang baik kepada seluruh anggota keluarga, salah satunya adalah tidak menghisap rokok. Hasil penelitian di lapangan membuktikan orangtua yang perokok menyebabkan anaknya juga perokok. Untuk itu seluruh orangtua di Indonesia harus ikut bersama-sama mengaungkan kampanye #RokokHarusMahal.

Mengurangi dan mengendalikan jumlah perokok tidak hanya tugas pemerintah saja namun tugas seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu seluruh masyarakat Indonesia harus ikut menggaungkan kampanye #RokokHarusMahal.

Masyarakat yang sehat akan mengurangi beban pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan tentu saja ini akan membantu pemerintah memperhatikan sektor lainnya. Tubuh yang sehat akan membuat kita produktif bekerja. #RokokHarusMahal mari selamatkan generasi bangsa dari rokok (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun