Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Hikmah dari Kisah Perpecahan Umat Islam di Sarekat Islam

12 Mei 2023   11:30 Diperbarui: 12 Mei 2023   11:26 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah (sumber: wikipedia/kolase-canva)

Siapa sangka, sejarah telah memberikan kisah inspiratifnya, dalam kisah perpecahan antar umat Islam kala Sarekat Islam tengah berjaya. Perpecahan dimulai ketika dalam tubuh Sarekat Islam telah banyak masuk kader-kader berideologi komunis dari ISDV. Hal ini yang menjadi dasar, mengapa perbedaan paham menjadi latar belakang utama perpecahan itu terjadi.

Sebagai sebuah organisasi yang didominasi oleh tokoh-tokoh Islam, Sarekat Islam memberi angin segar perubahan bagi umat Islam pada awal mula pendiriannya. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial selalu dapat diawasi dan dikritisi melalui wadah organisasi ini. Selain dari tugasnya, yakni membangun rasa persaudaraan antar sesama muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.

Otaknya adalah Semaun dan Darsono, yang merupakan kader komunis dari Henk Snevliet dari ISDV. Sebuah organisasi berpaham komunis dari Belanda, yang memiliki tujuan menyebarkan paham komunis di Indonesia. Dimana kelak dari ISDV inilah, Partai Komunis Indonesia (PKI) lahir dan berkembang. Melalui campur tangan merekalah, Sarekat Islam akhirnya pecah menjadi dua faksi.

Kader-kader ISDV dikenal sebagai para tokoh yang revolusioner, dan anti kompromi terhadap kolonial Belanda. Sedangkan, kader dari Sarekat Islam Putih, mulai melunak perjuangannya. Mereka tidak sekeras ketika awal mula pendiriannya. Faksi Sarekat Islam Putih, masih dibawah komando HOS. Cokroaminoto, sedangkan faksi Sarekat Islam Merah dibawah komando Semaun.

Diantara para kader Sarekat Islam Putih selain Cokroaminoto ada H. Fachruddin, H. Agus Salim, Suryopranoto, Suryopranoto, hingga Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Sedangkan kader Sarekat Islam Merah ada Semaun, Darsono, Alimin, hingga Tan Malaka. SI Putih akhirnya memusatkan markas organisasinya di Jogjakarta, karena SI Merah telah mengambil alih markas organisasi di Semarang.

Perpecahan yang berlanjut hingga ke area politik, antara SI Putih dan SI Merah. Dimana SI Putih yang mendukung semangat Pan Islamisme, mendapatkan pertentangan dari SI Merah, yang anti Islam. SI Merah beranggapan, bahwa agama tidak boleh dicampur dengan urusan politik, sedangkan, dasar perjuangan Sarekat Islam, berangkat dari semangat Islam yang menjadi pedomannya.

Awalnya, Semaun dan Darsono adalah anggota SI yang dipecat melalui mekanisme organisasi. Tetapi, karena mereka memiliki pengikut besar, akhirnya SI Merah pun didirikan oleh mereka, sebagai wujud perlawanan terhadap organisasi pergerakan Islam. Perpecahan yang terus berlangsung hingga masa-masa puncak Kebangkitan Nasional.

Seperti yang dijelaskan oleh Turnan Kahin, dalam "Nationalism dan Revolution in Indonesia", bahwa agenda utama SI Merah, adalah menandingi SI Putih, yang dianggap tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Disini dapat dianalisis, bahwa apa yang dilakukan oleh SI Merah, adalah bentuk propaganda guna mencari dukungan rakyat yang tertindas oleh penjajahan.

Maka wajar, jika kemudian SI Merah yang bertransformasi menjadi PKI, langsung mendapatkan dukungan secara luas dari rakyat Indonesia. SI Merah dianggap organisasi yang memiliki semangat juang tinggi dibanding dengan organisasi lain pada masanya. Namun, kelemahannya, mereka tidak punya bergaining politik dengan organisasi pergerakan lain, yang lebih bersifat moderat.

Disini kiranya perpecahan dalam tubuh SI membuat iklim pergerakan organisasi nasional kala itu menjadi tidak kondusif. Antara organisasi yang berbeda pandangan dan ideologi kerap bersinggungan hingga berakhir pada konflik terbuka. Seperti yang terjadi kala PKI melancarkan perlawanannya terhadap Belanda pada tahun 1926. Tan Malaka akhirnya memilih untuk keluar dari PKI.

Demikian pula dengan Kartosuwiryo, yang memiliki pandangan khusus terhadap perjuangan Islam. Lantaran SI dianggap sudah tidak memperjuangkan kepentingan Islam secara keras melawan Belanda, ia pun ikut mundur dari SI Putih. Seperti kita ketahui, SI Putih kala itu mulai bertransformasi menjadi sebuah partai, bernama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Namun cita-cita perjuangannya justru meluas hingga mempengaruhi organiasi-organisasi yang lahir dan berkembang pada masa itu. Seperti Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah. Dengan banyak diantara para anggota organisasi dakwah tersebut turut aktif dalam SI. Serta bekerjasama dalam membangun masyarakat secara pendidikan maupun aksi sosial, berbasis dakwah Islam.

Secara faktual memang Cokroaminoto sebagai pendiri SI adalah tokoh sekaligus guru para intelektual pada masa itu. Begitupula dengan K.H. Ahmada Dahlan ataupun K.H. Hasyim Asy'ari, yang memiliki kedekatan secara filosofis terkait pendirian organisasi pergerakan yang berorientasi dakwah. Namun tidak mencampuradukkannya dengan urusan politik secara umum.

Inilah yang menjadi dasar, bagaimana Islam kerap dipakai dalam kepentingan politik yang justru merugikan perjuangannya. Selain sebagai sarana dakwah, kiranya tidaklah tepat jika kemudian politisasi agama justru berlaku demi kepentingan sekelompok orang. Begitulah kiranya atas apa yang menjadi fakta SI Merah memecah belah organisasi Islam terbesar pada masanya.

Bahkan Ben Anderson pun menyebutkan bahwa konflik berlatar ideologi ini berlangsung hingga masa revolusi kemerdekaan terjadi. Mereka (antar golongan) kerap mematik konflik yang justru merugikan perjuangan bersenjata. Seperti lahirnya kelompok-kelompok pemberontak DI/TII, seperti ungkap Mc. Ricklefs dalam "Nationalism and Revolution in Indonesia".

Hal ini kiranya dapat menjadi bahan analisis bersama, bagaimana politisasi atas nama agama sangat merugikan dan mencederai perjuangan dakwah yang sesungguhnya. Pola yang sama ketika Snouck Hurgronje memainkan politik pecah belah pada para pejuang Aceh. Padahal sejatinya sesuai dengan Anggaran Dasarnya, Sarekat Islam bukanlah organisasi yang bergerak atas tujuan politik.

Dapat diperhatikan 5 poin Anggaran Dasar Sarekat Islam berikut ini:

1. Mengembangkan jiwa dagang seluruh anggotanya,

2. Membantu anggota-anggota yang kesulitan dalam hal biaya dan usaha,

3. Memajukan pengajaran yang dapat menaikkan derajat rakyat,

4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai Islam (dakwah), dan

5. Hidup menurut perintah agama.

Lima poin diatas kiranya sudah memberi gambaran tegas, bagaimana SI bergerak secara organisasi. Maka, jika memandang SI adalah tonggak dasar kebangkitan gerakan politik Islam kiranya tidak tepat narasinya. Justru Belanda mengakui SI sebagai organisasi sosial karena kiprahnya dalam aspek tersebut. Dimana secara tidak langsung Belanda mengakui SI secara politis.

Mengakui secara politis ini bukan justru menegasikan landasan juang SI dalam agenda gerakan dakwah sosial ekonominya. Tetapi memberi ruang terbuka dalam penyampaian politik terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial secara organisasi. Maka wajar jika SI Merah memandang ini sebagai bentuk kolaborasi SI Putih dengan Belanda.

Tak ayal banyak terjadi konflik yang berakhir dengan berbagai aksi sepihak berujung kekerasan. Tentu berbeda kiranya, ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) maupun PKI yang secara jelas berdiri sebagai partai politik. Orientasi dan tujuannya tentu memiliki arti yang lebih komprehensif secara politik dibandingkan organisasi sosial lainnya kala itu.

Hal inilah yang kiranya dapat dipahami sebagai hikmah atas kisah perpecahan umat Islam pada masa Kebangkitan Nasional. Sikap dan reaksi atas apa yang terjadi sekiranya dapat memantik aksi solidaritas bagi pasukan pejuang kala memasuki masa revolusi. Ada pemahaman yang berangkat dari belajar dari masa lalu adalah hal yang wajib dilakukan.

Apalagi pada masa-masa pemberontakan PKI pada tahun 1948 dan 1965, yang menempatkan umat Islam sebagai musuh politisnya secara terbuka. Inilah benang merah sejarah yang dapat diurai dan diluruskan. Bukan sekedar memaknainya sebagai spirit juang yang berlatar agama, namun lebih luas hingga menyentuh berbagai aspek yang ada.

Tentunya agar masa depan dapat diproyeksikan dengan bijak, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama pada masa silam. Apalagi beberapa waktu kedepan, kita akan memasuki masa politik yang kerap dipakai demi kepentingan kelompok. Isu-isu yang berlatar agama dapat kiranya dapat dipahami sebagai kampanye negatif yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Latar belakang yang dapat diambil kemudian tentu saja berkaitan dari kisah perpecahan pada tubuh SI ini. Berdasarkan fakta sejarah yang terurai secara faktual sebagai proyeksi kemajuan bangsa di masa datang. Agar tidak ada narasi negatif yang menyudutkan atas dasar agama. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun