Apalagi dalam beberapa kasus anarki, kerap berawal dari aksi saling ejek antar dua kelompok yang bertikai. Walaupun dengan alasan perang sarung menjadi faktor utamanya. Namun, fenomena ini hanya didapat ketika bulan Ramadhan tiba. Setelah itu, tidak ada lagi terdengar istilah perang sarung, yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai budaya pada waktu tertentu saja.
Pergeseran makna inilah yang secara lambat laun membuat tradisi perang sarung ini memudar dengan sendirinya. Apalagi banyak jenis permainan lain yang menjadi alternatif anak-anak dikala Ramadhan tiba. Terlebih jika pak ustad sudah melarang dan menegur anak-anak, so pasti permainan ini pun urung dilakukan di sekitar area ibadah.
Di beberapa daerah, perang sarung ini juga diidentifikasi sebagai bagian dari budaya lokal yang selalu dilestarikan. Seperti di daerah Sulawesi, dimana Tarung Sarung diidentifikasi sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah. Tradisi yang dikaitkan dengan ritual ini dikatakan kerap memakan korban jiwa dari para pemainnya.
Jika kita melihat unsur sarung, yang dijadikan simbol senjata atau konsep perlawanan. Tentu sangat berkaitan dengan simbol-simbol kaum santri pada masa perjuangan dahulu. Maka, tidak heran jika istilah perang sarung dianggap sebagai simbol dari keberanian. Asal dilakukan dengan pemahaman tradisi yang positif dan edukatif.
Salam damai dalam tebar hikmah Ramadhan, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H