Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Pembangkangan Sipil Samin Surosentiko

16 Maret 2023   08:30 Diperbarui: 16 Maret 2023   08:44 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Samin Surosentiko (sumber: indonesiaimaji.com)

Siapa yang tidak kenal dengan tokoh ikonik masyarakat Blora yang satu ini? Melalui gerakannya, para pengikutnya kini dikenal sebagai masyarakat Samin atau Sedulur Sikep. Mungkin generasi saat ini tidak banyak yang mengetahui kisah perjuangannya. Lantaran berani menentang Belanda tanpa sekalipun dengan angkat senjata.

Sekilas, ajaran Mahatma Gandhi yang melawan kolonialisme Inggris tanpa kekerasan kiranya bukanlah hal yang fenomenal dibanding dengan kisah dari masyarakat Samin. Yap, Samin Surosentiko, adalah tokoh kharismatik yang berasal dari desa Ploso Kediren, Blora, Jawa Tengah. Awalnya diketahui beliau bernama Raden Kohar, dan memiliki garis darah dengan bangsawan Ponorogo.

Raden Kohar tercatat lahir pada tahun 1859, ketika beliau menetap di Blora, namanya dirubah menjadi Samin Surosentiko. Maka wajar, jika masyarakat pun mengenalnya dengan sebutan Mbah Suro. Ajarannya mengenai falsafah kehidupan di Blora pada masanya sempat membuat Pemerintah Belanda kewalahan mengatasinya.

Lantaran sikap penolakannya terhadap praktik kolonialisme sudah semakin meluas. Khususnya terhadap bumi yang dipijak, sebagai bekal untuk kehidupan masing-masing orang. Penganut ajaran Samin membatasi diri dalam kegiatan pendidikan, karena umumnya mereka adalah petani penggarap, yang memiliki sikap positif dalam hubungan antar manusia dengan alamnya.

Orang Samin atau Sedulur Sikep sangat menjaga etika dan norma dalam bersikap. Apalagi dalam bertutur kata, karena prinsip tidak mengganggu kehidupan orang lain dijaga sedemikian rupa. Apalagi dengan ajarannya yang melarang untuk mengambil hak orang lain. Nah, inilah kiranya yang kelak menjadi dasar perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Blora.

Hal ini berawal dari kebijakan penarikan pajak yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda terhadap semua masyarakat kala itu. Baik pajak hasil bumi ataupun pajak pribadi. Selain itu, adalah kegiatan-kegiatan eksploitasi lingkungan yang marak terjadi demi kepentingan ekonomi Belanda. Maka secara lambat laun, perlawanan masyarakat Samin pun terbentuk.

Samin Surosentiko adalah tokoh dibalik semua aksi perlawanan tersebut. Berbekal kesadaran dan prinsip anti kekerasan, mereka melancarkan protesnya terhadap para penarik pajak. Dilansir dari catatan sejarah yang ditulis pada tahun 1983, Paulus Widiyanto melalui jurnal Prisma mengkisahkannya, bahwa "Wong Sikep tidak kenal yang namanya pajak".

Ajaran Sikep pun mulai dikenal secara luas sejak tahun 1890. Tercatat jumlah pengikutnya konon mencapai 5.000 orang, pada tahun 1907. Sebuah data yang diambil dari petugas penarik pajak Belanda, yang selalu gagal menarik pajak terhadap para pengikut Samin. Walau kerap diintimidasi dan diancam, serta sikap teguhnya dalam memegang prinsip, seketika membuat Belanda kalang kabut.

Ini adalah cikal bakal pembangkangan massal yang dilakukan oleh penduduk sipil terhadap penguasa. Mereka yang menolak bayar pajak pun kerap mendapatkan aksi kekerasan hingga perampasan hasil bumi. Tetapi uniknya, tidak ada satupun dari para pengikut Sikep melakukan perlawanan terhadap polisi Belanda. Bahkan mereka secara inisiatif atau individu melakukan penolakan pajak.

Sedulur Sikep tidak ada upaya melakukan perlawanan dengan kekerasan. Lantaran kekerasan dianggap tidak sesuai dengan ajaran welas asih yang dipahaminya.

Ajaran Sikep ini pun menyebar dengan pesat di kawasan Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan, artinya meliputi dua wilayah, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka, untuk menghindari meluasnya ajaran Samin, Belanda akhirnya bersikap tegas dengan menangkapi para pengikutnya.

Pada tanggal 19 Desember 1907, akhirnya Samin Surosentiko ditetapkan sebagai tersangka utama gerakan pembangkangan sipil kepada Belanda. Beliau pun diadili dengan hukuman pembuangan ke tanah seberang, yakni Padang, Sumatera Barat. Walau sebelumnya beliau sempat dipenjara oleh Belanda di Nusakambangan.

Gerakan ini pun berhasil menyita perhatian publik kala itu, khususnya bagi kalangan intelektual Indonesia. Aksi perlawanan Sedulur Sikep ini pun dianggap sebagai cikal bakal perlawanan tanpa kekerasan yang diadopsi oleh organisasi-organisasi nasional yang bersikap kooperatif kala itu. Khususnya Budi Utomo yang lahir pada tahun 1908.

Uniknya, sikap Samin Surosentiko yang membuang jati dirinya sebagai bangsawan ini konon diikuti oleh pendiri Taman Siswa. Raden Mas Soerjadi Soeryaningrat pun merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara, agar strata sosial tidak menjadi sekat diantara rakyat Indonesia.

Ada kisah yang menarik tatkala bertemu dengan tokoh Sedulur Sikep beberapa waktu lalu. "Wong Sikep sampai saat ini konsisten, melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, jika hal itu dapat merusak alam", Gunretno. Salam damai, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun