H. Rosihan Anwar, adalah seorang jurnalis senior dan salah satu saksi kunci dalam peristiwa berdarah pada tangga 1 Oktober 1965. Sebagai seorang jurnalis, berbagai catatannya pada tahun vivere pericoloso pun dirangkumnya pada sebuah buku berjudul "Sukarno, Tentara, PKI; Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965".
Kiranya catatan ini dapat menjadi bukti otentik yang dapat dipersandingkan dengan berbagai sumber lainnya. Khususnya ketika kita hendak mengulas peristiwa September 1965 yang penuh dengan kontroversi. Walaupun banyak perdebatan dalam perspektif ideologis, namun hal itu lumrah terjadi dalam sudut pandangnya masing-masing.
Awalnya adalah berbagai pertentangan politik yang terjadi sejak tahun 1961. Telah ada upaya signifikan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui D.N. Aidit yang menuntut adanya perubahan dan struktur personalia kabinet. Tuntutan yang menyinggung soal bebas politik dan demokrasi, menjadi cara utamanya mengubah suasana politik kala itu.
Menghadapi gelagat mencurigakan dari PKI, kalangan tentara dari Jawa Timur memutuskan bahwa PKI dianggap sebagai partai terlarang. Lantaran setahun sebelumnya, mereka melakukan perayaan Pemberontakan Madiun. Di masa ini, tentu ada sikap mawas dari kalangan TNI untuk mengantisipasi manuver politik PKI.
Belum lagi respon terhadap peristiwa Djengkol yang meletus di Jawa Timur pada 15 November 1961. Aksi sepihak merebut tanah Negara oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Gerwani, telah memakan 6 korban jiwa. Â Hal ini tentu menjadi alasan utama mengapa TNI tetap bersikap waspada terhadap PKI.
Strategi PKI lainnya adalah menerima Pancasila sebagai ideologi partainya. Walau sila pertama tidak dianggap sebagai kewajiban yang semestinya. Hal ini tercatat pada tanggal 21 April 1961, dengan tajuk "manuver PKI melawan TNI". Maka. sudah dapat dipastikan, bahwa PKI telah berada dalam posisi saling berhadapan dengan TNI.
Pada tahun 1962, PKI melancarkan serangan-serangan politiknya terhadap kelompok nasionalis. Lantaran peristiwa PRRI/Permesta dianggap sebagai bentuk kudeta yang nyata terhadap Negara. Lha, pada tahun 1948, PKI apa tidak dianggap sebagai kudeta? Bahkan mulai menekan TNI dalam konflik di Irian Barat dengan Belanda.
Bahkan PKI berani mengkaitkan Sutan Syahrir adalah dalang dibalik berbagai upaya subversif terhadap Pemerintah. Nah, pada tahun inilah beliau (Syahrir) akhirnya ditangkap dengan status tahanan politik. Berikut dengan Moh. Roem (tokoh yang berjasa dalam perjanjian Roem-Royen), juga ditangkap. Mereka ini memang tokoh yang menentang PKI kala itu.
Bung Hatta pun tidak luput dari aksi intimidasi yang dilakukan oleh PKI. Pada 12 April 1962, Rosihan Anwar mengkisahkan; "Sejak tiba dari lawatannya di luar negeri, Bung Hatta disambut demonstran komunis di Kemayoran. Bahkan sampai di rumahnya pun aksi menyerang Bung Hatta mereka lakukan".
Sejak penetapan Ahmad Yani sebagai KASAD pada 23 Juni 192, PKI secara intensif memulai infiltrasinya terhadap kesatuan tentara. Mereka melakukan rekruitmen terhadap tentara-tentara yang dapat menerima ideologi mereka, dengan pembinaan selanjutnya. Dimana pada 19 November 1962, PKI dikabarkan melakukan pengacauan di Surabaya.