2. Masa Demokrasi Terpimpin
Sehubungan dengan kondisi Kabinet yang labil, karena kerap gonta-ganti, Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebuah dekrit yang mengakhiri sistem pemerintahan Parlementer. Berangkat dari ragam polemik politik antar golongan, (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang memang mendominasi pemerintahan kala itu. Posisi Perdana Menteri pun ditiadakan.
Dimana pada masa ini sistem pemerintahan langsung dipegang secara utuh oleh Presiden. Bahkan kebijakan-kebijakan yang biasa dirumuskan melalui sidang Kabinet langsung diambil alih oleh Presiden selaku pemegang kebijakan tertinggi. Hal ini serupa dengan sistem pemerintahan otokrasi, yang terpusat kepada satu orang pemangku kebijakan dan politik.
Apalagi, Wakil Presiden kala itu (Moh. Hatta) telah mengundurkan diri dari pemerintahan. Lantaran mulai tidak cocok lagi dengan sistem pemerintahan yang kerap menimbulkan konflik politik. Terlebih pada masa ini, berbagai kritik yang terhadap sistem Parlementer kerap dilontarkan olehnya, lantaran dianggap tidak sesuai dengan tujuan demokrasi.
Secara sistemik, aturan mengenai Pemilu pun diserahkan sepenuhnya kepada Presiden. Tidak lain karena pertimbangan stabilitas politik yang kala itu dianggap belum stabil. Maka keluarlah Nasakom sebagai upaya persatuan antar golongan melalui gagasan Presiden Soekarno. Walau kita ketahui, upaya tersebut tidak berjalan dengan baik dalam pelaksanaannya.
Siapa yang dekat dengan Presiden, maka akan dianggap sebagai penguasa Kabinet. Jadi, konflik terbuka yang kerap terjadi pada masa sebelumnya, justru mulai mengakar menjadi konflik tertutup. Dimana diantara kelompok kerap berseteru, hingga menimbulkan kekacauan di berbagai daerah. Nah, kiranya inilah yang kemudian melatarbelakangi terjadinya tragedi di tahun 1965.
3. Masa Demokrasi Pancasila
Sejak pergantian Presiden antara Soekarno dengan Soeharto di tahun 1968, maka secara resmi sistem pemerintahan Parlementer dihapuskan. Penerapan ideologi Pancasila menjadi orientasi Pemerintah, khususnya dalam upaya penerapan tiap silanya pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mekanisme kedaulatan ada di tangan rakyat, mulai dijalankan secara bertahap, yakni melalui pengadaan Pemilu 5 tahunan. Selain itu, pengupayaan musyawarah mufakat sebagai alternatif penyelesaian konflik pun diterapkan secara konstitusi. Jadi, Pemerintah pada masa itu tidak menghendaki adanya oposisi dalam pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan yang dicanangkan pun berangkat dari realisasi setiap sila pada Pancasila, diantaranya melalui Repelita. Konsep rencana pembangunan lima tahunan pun digagas dan dilaksanakan. Dengan pertanggungjawaban kepada MPR, dalam hal ini DPR hanya bertindak sebagai pengawal. Melalui hak angket, interpelasi, ataupun membuat petisi.
Sedangkan, fungsi utama dari MPR adalah mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanat Pemilu. Walaupun konsep demokrasi tanpa oposisi dianggap sebagai bentuk sistem totalitarianisme sebuah negara. Sebagai informasi, pada masa ini hanya ada tiga partai yang diizinkan berdiri, yakni Golkar, PPP, dan PDI.