Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia

9 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   06:37 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demokrasi Indonesia (sumber: barakata.id)

Jika membahas mengenai sejarah demokrasi di Indonesia, tentunya adalah jalan panjang mengenai sistem pemerintahan yang akan dibahasnya. Yakni tatkala pemahaman demokrasi terbangun dan berkembang melalui para intelektual Indonesia. Dimulai pada masa pergerakan nasional bergulir bersamaan dengan lahirnya ideologi-ideologi yang pernah berkembang dahulu kala.

Walau konsep tersebut baru dapat terealisasi ketika bangsa Indonesia telah merdeka, dengan ragam polemik argumentatif diantara para tokoh bangsa dalam menentukan konsep bernegara. Polemik adu pendapat memang telah terjadi sejak perumusan Pancasila, tetapi pemberlakuan sistem pemerintahan dan konsepsi pembentukan kabinet dapat dikatakan masih meraba-raba.

Medio 1945 hingga 1950 adalah masa revolusi fisik yang rawan dengan berbagai reaksi dari pemerintah Belanda. Seolah ada campur tangan Belanda dalam menentukan sistem pemerintahan yang kala itu masih belia. Maka, pembentukan mode parlementer kala itu dirasa belum cukup memadai, karena masih menimbulkan berbagai reaksi.

Kiranya, pada tahun 1950, Indonesia berhasil membuat rancangan Kabinetnya. Berikut adalah ragam sistem pemerintahan yang pernah ada di Indonesia;

1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Dapat dikatakan, pada masa ini sistem multipartai sudah mulai dikembangkan Pemerintah melalui Maklumat 3 November 1945. Sistem demokrasi yang sedianya menonjolkan peran partai-partai politik yang tergabung di dalam Parlemen. Jadi, Parlemen punya peranan penting dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah.

Sistem Parlementer ini memungkinkan Perdana Menteri untuk memimpin suatu pemerintahan, sedangkan Presiden hanya menjabat sebagai Kepala Negara saja. Selain itu, Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk melantik dan memberhentikan Menteri. Nah, disini dapat kita lihat porsi Perdana Menteri sebagai penentu arah pemerintahan adalah sah adanya.

Apalagi jika pertentangan terjadi atas dasar perbedaan ideologi tertentu. Hal inilah yang kiranya kerap terjadi, hingga menimbulkan berbagai pergolakan kedaerahan dan pemberontakan. Kiranya, baru pada tahun 1950, Pemerintah berhasil menyusun Kabinet sesuai dengan kebutuhan dan fungsi pemerintahannya.

Tetapi, ada semacam kekurangan dalam sistem demokrasi ini. Ialah, partai yang mayoritas ada di Parlemen tentu dapat menguasai Kabinet yang terbentuk. Maka wajar, jika pada masa ini sering terjadi gonta-ganti Kabinet, lantaran Kabinet yang terbentuk dapat dijatuhkan oleh Parlemen, melalui sebuah mosi. Terlebih ketika gelaran Pemilu pertama pada tahun 1955 dapat dilaksanakan.

Berikut adalah susunan Kabinet yang pernah dibentuk pada masa Demokrasi Parlementer:

  •  Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951), dengan Moh. Natsir sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 23 Februari 1952), dengan Sukiman Wirjosandjojo sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953), dengan Wilopo sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus 1953 - 24 Juli 1955), dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956), dengan Burhanuddin Harahap sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 - 14 Maret 1957), dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri.
  • Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959), dengan Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri.

2. Masa Demokrasi Terpimpin

Sehubungan dengan kondisi Kabinet yang labil, karena kerap gonta-ganti, Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebuah dekrit yang mengakhiri sistem pemerintahan Parlementer. Berangkat dari ragam polemik politik antar golongan, (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang memang mendominasi pemerintahan kala itu. Posisi Perdana Menteri pun ditiadakan.

Dimana pada masa ini sistem pemerintahan langsung dipegang secara utuh oleh Presiden. Bahkan kebijakan-kebijakan yang biasa dirumuskan melalui sidang Kabinet langsung diambil alih oleh Presiden selaku pemegang kebijakan tertinggi. Hal ini serupa dengan sistem pemerintahan otokrasi, yang terpusat kepada satu orang pemangku kebijakan dan politik.

Apalagi, Wakil Presiden kala itu (Moh. Hatta) telah mengundurkan diri dari pemerintahan. Lantaran mulai tidak cocok lagi dengan sistem pemerintahan yang kerap menimbulkan konflik politik. Terlebih pada masa ini, berbagai kritik yang terhadap sistem Parlementer kerap dilontarkan olehnya, lantaran dianggap tidak sesuai dengan tujuan demokrasi.

Secara sistemik, aturan mengenai Pemilu pun diserahkan sepenuhnya kepada Presiden. Tidak lain karena pertimbangan stabilitas politik yang kala itu dianggap belum stabil. Maka keluarlah Nasakom sebagai upaya persatuan antar golongan melalui gagasan Presiden Soekarno. Walau kita ketahui, upaya tersebut tidak berjalan dengan baik dalam pelaksanaannya.

Siapa yang dekat dengan Presiden, maka akan dianggap sebagai penguasa Kabinet. Jadi, konflik terbuka yang kerap terjadi pada masa sebelumnya, justru mulai mengakar menjadi konflik tertutup. Dimana diantara kelompok kerap berseteru, hingga menimbulkan kekacauan di berbagai daerah. Nah, kiranya inilah yang kemudian melatarbelakangi terjadinya tragedi di tahun 1965.

3. Masa Demokrasi Pancasila

Sejak pergantian Presiden antara Soekarno dengan Soeharto di tahun 1968, maka secara resmi sistem pemerintahan Parlementer dihapuskan. Penerapan ideologi Pancasila menjadi orientasi Pemerintah, khususnya dalam upaya penerapan tiap silanya pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mekanisme kedaulatan ada di tangan rakyat, mulai dijalankan secara bertahap, yakni melalui pengadaan Pemilu 5 tahunan. Selain itu, pengupayaan musyawarah mufakat sebagai alternatif penyelesaian konflik pun diterapkan secara konstitusi. Jadi, Pemerintah pada masa itu tidak menghendaki adanya oposisi dalam pemerintahan.

Kebijakan-kebijakan yang dicanangkan pun berangkat dari realisasi setiap sila pada Pancasila, diantaranya melalui Repelita. Konsep rencana pembangunan lima tahunan pun digagas dan dilaksanakan. Dengan pertanggungjawaban kepada MPR, dalam hal ini DPR hanya bertindak sebagai pengawal. Melalui hak angket, interpelasi, ataupun membuat petisi.

Sedangkan, fungsi utama dari MPR adalah mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanat Pemilu. Walaupun konsep demokrasi tanpa oposisi dianggap sebagai bentuk sistem totalitarianisme sebuah negara. Sebagai informasi, pada masa ini hanya ada tiga partai yang diizinkan berdiri, yakni Golkar, PPP, dan PDI.

Hingga memasuki era Reformasi, yang lebih memperkenalkan demokrasi secara menyeluruh. Khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sarat dengan kritik membangun (oposisi). Baik dalam kebebasan berpendapat, berkumpul, ataupun berpolitik, dengan tujuan demokratisasi yang lebih baik.

...

Kiranya demikian sajian ringkas mengenasi sejarah demokrasi di Indonesia. Khususnya pada masa Demokrasi Parlementer hingga Pancasila, yang sedianya dapat menjadi abstraksi bersama bagi semua. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya masing-masing pada setiap masa. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun