Mungkin tidak banyak yang mengetahui, bahwa pada masa pendudukan Jepang berbagai macam cara dilakukan oleh para tokoh Indonesia guna mencari peluang untuk meraih kemerdekaan. Atau dapat dikatakan sebagai kolaborator, demi mempengaruhi segala kebijakan Jepang ketika menguasai Indonesia. Sekiranya demikian narasi kolaborator yang kerap dipandang bermacam persepsi.
Sejak Jepang berkuasa di Indonesia, praktis segala kegiatan politik dihentikan. Jepang pun memberi wadah berupa organisasi-organisasi yang dibentuk demi kepentingannya. Sejak Pusat Tenaga Rakyat (Putera) didirikan, dengan para tokoh Indonesia seperti Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur maka praktis orientasi politik menjadi lebih tertutup.
Hal ini karena Jepang memiliki tujuan utamanya, yakni Perang Asia Timur Raya. Dimana para tokoh Indonesia diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran dan dukungannya terhadap militer Jepang. Baik dalam keputusan masa perang, atau kebijakan yang diterapkan kepada masyarakat Indonesia, seperti Romusha.
Pada dasarnya, tugas Putera adalah melakukan propaganda militer yang dianggap menguntungkan bagi Jepang. Kampanye positif mengenai bala tentara dengan kemenangan gemilang dalam menghadapi Sekutu kerap dijadikan modal utamanya. Ya, tentu hal ini dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, karena sudah terlampau lama dijajah oleh Belanda.
Maka wajar, jika pertama kali datang, pasukan Jepang dianggap sebagai pembebas. Seperti ramalan Jayabaya, mengenai masa depan bangsa Indonesia yang kala itu dipercayai sebagai wujud pembebas atau Ratu Adil (Jepang). Pun ketika Romusha dibentuk oleh Jepang pada 3 Oktober 1943, dengan pengerahan tenaga kerja paksa guna membangun fasilitas militer atau yang lainnya.
Sedianya itulah tugas Romusha kala itu, tidak jauh dari para pekerja paksa yang diminta secara "sukarela" dari para pemuda Indonesia. Pun dengan Soekarno, yang kala itu terlibat dalam propaganda Romusha. Hal ini diakui secara langsung oleh Soekarno ketika seorang wartawan Amerika, Cindy Adam, mewawancarainya.
"Sesungguhnya akulah, Soekarno, yang mengirim mereka kerja paksa. Ya. Akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian", ungkap Soekarno ketika diwawancarai kala itu.
Tetapi apakah sejatinya Soekarno tidak menyadari kerugian dan bahayanya? Tentu saja beliau sadar. Bukan berarti beliau tidak mengetauinya, walau hanya dapat menangisinya dari dalam hati. Tapi mungkin kala itu memang tidak ada pilihan lain.
Kira-kira demikian, Romusha yang dipropagandakan oleh Soekarno. Banyak diantara mereka (Romusha) faktanya dipekerjakan hingga meninggal, sakit, dan dibawah bayang-bayang kelaparan. Banyak sumber mengatakan, bahwa Romusha Indonesia yang dikirim ke Burma, diketahui 98 persennya meninggal dalam kamp-kamp kerja paksa.
Ada ribuan bahkan ratusan ribu pekerja paksa yang konon dipekerjakan Jepang di seluruh wilayah Asia Tenggara. Khususnya ya tentu saja di Indonesia, seperti di Bukittinggi, dalam suatu proyek pembangunan rel kereta api. Ataupun bekerja membuat goa-goa perlindungan Jepang dengan berbagai medan yang ekstrim.
Lantas, mengapa Soekarno mau menjadi figur penggerak Romusha? Seorang tokoh nasional yang memiliki pengaruh besar bagi rakyat Indonesia.
Tentu jawabannya tidak lain karena faktor keterpaksaan. Sekiranya pada medio 1943, Jepang memang masih jaya-jayanya. Ekspansi ke wilayah-wilayah Sekutu tentu saja memerlukan tenaga kerja paksa yang besar. Guna mendukung kebutuhan perang Jepang.
Sedangkan, Jepang memberi tekanan terhadap para tokoh nasionalis dengan berbagai ancaman terhadap kemanusiaan.Â
Rasa keberpihakan tentu saja demi keselamatan rakyat Indonesia, walau ada nuansa ingkar dalam pelaksanaannya. Lagi-lagi dalam hal ini, Soekarno hanya mampu mengikuti kehendak Jepang.
Tentu bukan sepenuhnya Soekarno memberi dukungannya. Berbagai pertimbangan yang kelak dapat "ditagih" kepada Jepang mungkin sudah dipikirkannya. Mungkin karena hal inilah, banyak anggota militer Jepang yang akhirnya bersimpati terhadap rakyat Indonesia.
Termasuk Laksamana Maeda, kala ditagih janji untuk membantu prosesi kemerdekaan Indonesia. Ada semacam agenda besar yang telah dipersiapkan. Baik oleh Soekarno, Hatta, ataupun Syahrir. Semua tokoh Republik tentu mempunyai tugasnya masing-masing.
Demikian kiranya, kisah sejarah ini dapat dituliskan. Semoga dapat menjadi abstraksi bagi kita semua. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H