Mohon tunggu...
RIKA NOVITA ROSTIKAWATI
RIKA NOVITA ROSTIKAWATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pangan IPB

Kuliner adalah konten paling menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Perkembangan Regulasi Pangan di Berbagai Negara Terkait Teknologi Nano

19 Mei 2022   10:27 Diperbarui: 19 Mei 2022   10:29 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Istilah teknologi nano pertama kali digunakan pada tahun 1974 oleh seorang ahli fisika dari Tokyo Science University, yaitu Profesor Norio Taniguchi, dalam makalaj yang berjudul "On the basic concept of 'nano-technology'" (Taniguchi 1974). Sedangkan ide dan konsep Ilmu serta teknologi nano sebetulnya diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Richard Feynman, pada 29 Desember 1959, yang memenangkan hadiah nobel ahli fisika pada tahun 1965. Ide dan konsep tersebut disampaikan pada suatu pertemuan ilmiah yang diorganisir American Physical Society di California Institute of Technology (Caltech). Dalam pidatonya yang berjudul "There's plenty of room at the bottom", Feynman menggambarkan suatu proses di mana ilmuwan akan dapat memanipulasi dan mengontrol individu atom dan molekul (Ariningsih 2016).

Selanjutnya, dalam beberapa dekade ini pemanfaatan teknologi nano mengalami perkembangan yang pesat, termasuk aplikasinya pada produk makanan, pertanian, dan pakan ternak. Pemanfaatan teknologi nano di industri makanan, termasuk pengembangan kemasan produk makanan, diketahui dapat memberikan manfaat antara lain:

  • Daya hambat material plastik terhadap udara dan kelembaban akan meningkat dengan menggabungkan bahan nano (Nanomaterials) dan komponen aktif, dan meningkatkan atribut fungsional jauh melebiihi  kemasan tipe konvensional.
  • Membantu produk yang dikemas memiliki umur simpan yang lebih panjang dengan melepaskan bahan pengawet (preservatives).
  • Mendeteksi adanya bakteri dalam kemasan sehingga konsumen menjadi waspada dan mengetahui apakah produk dalam kemasan terkontaminasi ataupun rusak.

Teknologi ini sangat menjanjikan dan memberikan banyak keuntungan pada rantai pasok pangan, namun pemanfaatannya yang beragam dan terus berkembang perlu didukung oleh penelitian dan pengembangan yang mumpuni, dan regulasi yang tepat, independen dan ketat, dan hubungannya dengan komponen sistem dan kemitraan antara pihak akademisi, industri dan pemerintah (Allan et al. 2020).

Merujuk pada laman Health Canada (www.canada.ca), yang dimaksud dengan teknologi nano adalah aplikasi dari pengetahuan ilmiah dalam memanipulasi dan mengendalikan materi dalam skala nano sehingga sifat dan fenomena ketergantungan ukuran dan struktur yang berbeda dengan materi yang terasosiasi dengan individu atom atau molekul atau dengan bulk material dapat dimanfaatkan. Sedangkan istilah skala nano (nanoscale) ditetapkan sebagai 1 sampai dengan 100 nanometer (nm) atau sepersejuta meter. Dengan ukuran yang begitu kecil dan permukaan yang lebih luas memungkinkan material nano tersebut mempunyai sifat kimia, fisika dan biologi yang berbeda dari material sejenis yang lebih besar. Sebetulnya material yang berukuran nano bukanlah hal yang baru karena makanan yang selama ini dikonsumsi terdiri dari gula, asam amino, peptide dan protein yang berukuran nano dan membentuk struktur nano yang terorganisir dan fungsional. Contohnya susu adalah emulsi dari droplet lemak berskala nano.

Setiap negara terus mengembangkan perangkat regulasi terkait penerapan teknologi nano dan memberikan panduan untuk industri sepanjang rantai pasok pangan sehingga produk atau yang dihasilkan terjamin mutunya, aman untuk dikonsumsi dan berkontribusi pada program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal, SDG). Berikut adalah perkembangan regulasi terkait penerapan teknologi nano di beberapa negara yang disampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Terkait Ilmu Regulasi - Perspektif Mengenai Nanotechnology dan Nanoplastic yang diselenggarakan oleh Global Coalition for Regulatory Science Research (GCRSR) dan pada tahun 2019 dipandu oleh Uni Eropa membahas nanotechnology dan nanoplastic. Hasil pertemuan tersebut dituangkan dalam Laporan Teknis Join Research Center (Join Research Center) -- Perspektif Mengenai Nanotechnology dan Nanoplastic.

Global Coalition for Regulatory Science Research (GCRSR) adalah koalisi international yang dibentuk pada 2013 dan manjalin kerjasama dengan organisasi atau badan pemerintah negara berikut: Argentina (ANMAT), Australia / New Zealand (TGA/FSANZ), Brazil (ANVISA), Kanada (HC), Tiongkok (CFDA), Uni Eropa (EFSA, EMA & JOIN RESEARCH CENTER), Jepang (MHLW & FSCJ), Korea Selatan (MFDS), Singapura (AVA), dan Amerika Serikat (FDA). Tujuan pembentukan organisasi ini adalah menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan, pelatihan ilmu pengetahuan dan pertukaran ilmu pengetahuan terkait ilmu regulasi yang berdampak kepada kesehatan masyarakat.

Amerika Serikat 

  • FDA dan lembaga pemerintah di Amerika Serikat lainnya telah menyiapkan kerangka kerja secara umum terkait cara memasarkan dan menggunakan produk dan turunannya yang menggunakan teknologi nano pada industri makanan dan pertanian. Beberapa lembaga pemerintah tersebut, termasuk Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), FDA, Administrasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OSHA), dan Komisaris Keamanan Produk Konsumen (CPSC) telah ambil bagian dari pendekatan desentralisasi menuju regulasi teknologi nano dalam membuat regulasi dan bertanggung jawab pengawasan dalam menerapkan regulasi tersebut (Hansen dan Baun, 2012).

Pada KTT tahun 2019 tersebut, Amerika Serikat melalui perwakilannya dari FDA menyampaikan pendekatan terhadap regulasi produksi teknologi nano yaitu dengan menerima kenyataan bahwa risiko dan ketidakpastian menyertai semua teknologi baru. Oleh karena itu, FDA mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan peraturan baru untuk bahan nano dan memutuskan bahwa kerangka kerja yang ada cukup untuk mengatur bahan nano dan produk yang mengandung bahan nano.

FDA bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintah AS lainnya melalui National Nanotechnology Initiative (NNI) dan mengharuskan industri untuk berdiskusi dengan FDA di awal fase pengembangan produk. Lembaga ini juga bekerja dengan negara-negara lain secara bilateral terkait topik teknologi nano termasuk peningkatan kapasitas dan berkolaborasi di tingkat global terkait peraturan, dimana salah satu prioritasnya adalah mengenai bagaimana mengkarakterisasi secara konsisten bahan nano.termasuk berpartisipasi dalam penetapan ISO/TC 2296, ASTM E567 dan kelompok serupa untuk mengembangkan standar yang cocok untuk digunakan pada industri (Allan et al. 2020).

Uni Eropa

Dibandingkan dengan Amerika Serikat, Uni Eropa jauh lebih ketat dalam hal persyaratan pelabelan wajib dan penilaian keamanan prapasar. Pada awal tahun 2006, Uni Eropa meluncurkan bagian penting dari undang-undang Eropa yang disebut Pendaftaran, Evaluasi, dan Otorisasi Bahan Kimia (REACH) dan kemudian dimodifikasi pada tahun 2009 dan 2011, dan versi terbaru, yang dikenal sebagai "Aplikasi Teknologi nano di bidang pertanian, pakan dan sektor makanan" (Ruud Peters et al., 2014),

Arahan dari REACH mengharuskan manufaktur untuk berbagi informasi dengan regulator sehingga memungkinkan untuk penerapan pembatasan atau larangan lengkap terhadap bahan kimia tertentu yang dinyatakan tidak aman (European Commission, 2013). Selain itu, penilaian keamanan untuk kandungan bahan kimia harus dilakukan untuk mengonfirmasi apakah kriteria telah dipenuhi untuk klasifikasi berbahaya termasuk bioakumulatif dan toksik; atau sangat persisten dan sangat bioakumulatif (vPvB) untuk produksi lebih dari 10 ton per tahun. Jika produk termasuk dalam kategori seperti itu, produsen perlu mengembangkan skenario paparan dan melakukan karakterisasi risiko (Hansen dan Baun, 2012).

  • Pada KTT tahun 2019 mengenai teknologi nano dan nanoplastic, Uni Eropa diwakili oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), sebuah badan independen dari Komite Eropa, memberikan pendapatan terkait penilaian risiko pemanfaatan teknologi nano terkait keamanan makanan dan pakan; nutrisi (termasuk aditif); kesehatan dan kesejahteraan hewan; dan perlindungan tanaman (termasuk pestisida) dan kesehatan tanaman. EFSA berperan dalam memberikan saran ilmiah yang sesuai untuk tujuan untuk menginformasikan kebijakan dan peraturan dan implementasinya untuk kesehatan manusia dan makanan/tanaman. Selain itu, EFSA mempertimbangkan penilaian risiko lingkungan untuk mengeksplorasi kemungkinan dampak rantai makanan terhadap keanekaragaman hayati habitat tanaman dan hewan.
  • Otoritas ini pun bekerja sama erat dengan otoritas nasional negara anggota dan para pemangku kepentingan dengan tujuan untuk menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang masalah keamanan pangan dan untuk meningkatkan kesadaran dan menjelaskan implikasi dari hasil ilmiah. EFSA bergerak melalui Komite Ilmiah dan Panel yang terdiri dari para ahli ilmiah independen yang melakukan penilaian ilmiah dan mengembangkan metodologi penilaian terkait. Panel-panel tersebut mencakup kontaminan dalam rantai makanan; bahan kontak makanan, enzim dan alat bantu pemrosesan; dan zat aditif untuk makanan dan perasa (Allan et al. 2020).

Kanada

Seperti halnya Amerika Serikat, beberapa lembaga dan badan pemerintah bekerja sama untuk memastikan penggunaan teknologi yang aman. Lembaga atau badan pemerintah tersebut termasuk Health Canada (HC), Healthy Environments and Consumer Safety Branch (HECSB), Environment and Climate Change Canada (ECCC), Agriculture and Agri-Food Canada (AAFC), dan Canadian Food Inspection Agency (CFIA). Kanada mengadopsi peraturan untuk mengurangi risiko, membangun inventaris produk bahan nano di pasar, menentukan bagaimana produk bahan nano digunakan atau dikonsumsi, mempertimbangkan siklus hidup dan paparan dan menilai efek biologis dari Bahan nano tertentu. Health Canada dan ECCC juga menerapkan Rencana Manajemen Kimia Pemerintah Kanada (CMP) dengan menetapkan tindakan yang diperlukan untuk zat baru dan zat yang sudah ada yang berpotensi berbahaya, termasuk bahan nano.

Perbandingan terhadap pendekatan penerapan regulasi terkait teknologi nano antara Kanada dan AS mencakup kesamaan definisi kedua negara tersebut mengenai bahan nano dan kegiatan kerjasama dalam hal regulasi melalui Dewan Kerjasama Regulasi Kanada-Amerika Serikat (RCC) dan menetapkan rencana kerja terkait teknologi nano. Rencana kerja tersebut menekankan pentingnya mengembangkan pendekatan umum untuk melakukan penilaian risiko bahan nano dan pengumpulan data yang berguna untuk lebih memahami paparan bahan nano. Kanada dan Amerika Serikat juga bekerja sama dalam pengembangan skema klasifikasi untuk bahan nano berdasarkan komposisi kimia dan sifat unik mereka. Skema ini akan memungkinkan identifikasi bahan nano yang berperilaku berbeda dari bentuk non-nano untuk membantu memprioritaskan penilaian risiko. RCC juga sedang mengerjakan pembuatan  matriks penggunaan bahan nano untuk mengidentifikasi bahan nano komersial yang sedang digunakan (Allan et al. 2020).

Jepang dan Tiongkok

Di Jepang, beberapa lembaga pemerintah terlibat dalam penyediaan perangkat regulasi untuk teknologi nano termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi (MEXT); Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI); Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (MHLW); dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), membuat regulasi keputusan secara kooperatif (Chau et al., 2007). Namun, peraturan tentang masalah keamanan bahan nano atau teknologi nano sebagian besar masih belum jelas. Pada Januari 2016, MHLW mengeluarkan standar keamanan baru untuk pertanian dan pangan dalam laporan Konferensi ke 190 untuk Promosi Fasilitas Impor Pangan. Namun demikian, laporan tersebut tidak menyertakan spesifikasi apa pun tentang Teknologi nano atau material nano (MHLW, 2016).

Sedangkan pemerintah Tiongkok pada 2013 mendirikan National Center for Nanoscience and Technology (NCNST). Lembaga ini bertanggung jawab untuk menetapkan standar teknologi nano nasional. Protokol untuk karakterisasi Bahan nano dan persyaratan keselamatan untuk manufaktur kemudian mulai berkembang. Pada tahun 2005, Komisi Standarisasi Teknologi Nano, yang berafiliasi dengan NCNST, didirikan dan mulai mengatur rekayasa material nano dan penilaian produksi dan keselamatan (Bai, 2005). Namun, pada panduan yang digunakan saat ini masih didasarkan pada Standar Nasional Tiongkok pada waktu itu, dan tidak ada undang-undang yang jelas mengenai bahan nano tertentu atau Teknologi nano apa pun yang terkait dengan sektor pangan dan pertanian.

Selandia Baru dan Australia

Saat ini, aplikasi untuk zat makanan baru yang diproduksi dengan bahan nano atau menggunakan Teknologi nano dievaluasi berdasarkan undang-undang dan standar Australia dan Selandia Baru yang ada (Fletcher dan Bartolomaeus, 2011). Berbagai pendekatan telah diadopsi oleh FSANZ untuk menilai dan mengelola risiko berbahaya yang terkait dengan penggunaan bahan nano yang digunakan pada makanan atau bahan kemas. Bekerja Pada tahun 2008 FSANZ memasukkan informasi aplikasi kedalam panduan praktis yang ada terkait persetujuan dan penggunaan teknologi nano dalam produk makanan dan mempertimbangkan penilain resiko secara menyeluruh (FSANZ, 2016). Dengan adanya legislasi tersebut, maka industri pangan yang menerapkan teknologi nano harus memastikan kesesuaian terhadap legislasi tersebut, dan memastikan kesehatan dan keselamatan masyarakat dalam menggunakan produk yang didalamnya terdapat bahan nano dan memastukan kegiatan produksi yang bertanggung jawab.

Selanjutnya, FSANZ mendirikan Kelompok Penasihat Teknologi Nano Ilmiah (SNAG) bersama para ahli dari bidang Teknologi Nano, Nanotoxicology, dan keamanan nano untuk memberikan saran atau panduan aplikasi makanan yang aman dengan menggunakan bahan nano.

Indonesia

Di Indonesia penerapan teknologi nano dan material nano tidak sepesat di negara lain dan terfokus di bidang selain pertanian dan pengolahan pangan. Selain itu, penerapan teknologi nano menghadapi hambatan antara lain: (1) fasilitas (sarana dan prasarana) teknologi nano yang kurang memadai dan tersebar di sejumlah institusi; (2) kurangnya sinergisme antarlembaga riset teknologi nano; (3) sumber daya manusia (SDM) yang kurang mendukung; dan (4) anggaran yang kurang memadai (Ariningsih 2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun