Mohon tunggu...
Novita Ekawati
Novita Ekawati Mohon Tunggu... Guru - Pengajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengajar dan aktivis muslimah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mewujudkan Kemandirian Pangan Tanpa Dikendalikan oleh Impor

23 Februari 2023   06:03 Diperbarui: 23 Februari 2023   09:25 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Novita Ekawati

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyiapkan kawasan pengembangan pangan secara terintegrasi atau food estate dengan luas lahan sekitar 10 ribu hektare untuk menyambut ribuan orang yang akan bermukim di sekitar Ibu Kota Nusantara ( IKN). Lahan food estate tersebut tersebar di Kabupaten Paser seluas 1.154 hektare, Kutai Kartanegara seluas 8.028 hektare dan Penajam Paser Utara seluas 1.500 hektare.

Pada tahap awal luas wilayah food estate yang disiapkan sekitar 10 ribu hektare dan akan terus diperluas sampai ambang batas cukup untuk pemenuhan pangan masyarakat Kaltim dan IKN. 

Selain tiga wilayah yakni Penajam Paser Utara, Paser dan Kutai Kartanegara, sejumlah lokasi lainnya di Kaltim masih terbuka lebar untuk pengembangan kawasan food estate seperti Kutai Timur, Kutai Barat dan Berau. Dipersiapkan lahan food estate ini sejak tahun 2019.

Selama ini Kukar telah menjadi lumbung pangan di Kaltim. Hampir sebagian besar komoditas pangan di Kaltim dihasilkan dari sektor pertanian di Kukar. Berdasarkan data BPS Kaltim, Kabupaten Kukar menjadi daerah dengan penopang pangan terbesar di Kaltim. Disusul Kabupaten Penajam dan Penajam Paser Utara. Tiga daerah ini sebagai daerah penghasil padi dan beras terbanyak setiap tahunnya. 

Adapun skema pembiayaan dari program food estate ini adalah akumulasi dari anggaran pusat, daerah, dan anggaran provinsi. Namun program ini diduga terancam gagal dikerenakan ada dugaan ketidakberesan proyek lumbung pangan nasional di Kementerian Pertanian RI.  Ditambah dengan fakta sejumlah keganjilan lainnya. 

Ada potensi dugaan korupsi dari penelusuran laporan perkembangan proyek lumbung pangan, dikarenakan pembangunan food estate yang terkesan dipaksakan hanya menguntungkan pihak kontraktor yang memenangi tender proyek. Kalau dijalankan (food estate) tidak untuk petani, malah menguntungkan kontraktor-kontraktor pembangun proyek ini semata-mata.

Di sisi lain proyek inipun terkesan dipaksakan, sebagaimana kasus yang pernah terjadi pada salah 1 wilayah di Desa Gunung Mulia, Kabupaten Penajam yang juga menjadi wilayah pengembangan food estate. 

Para petani di desa tersebut banyak mengeluhkan sulitnya menjual hasil panen mereka saat panen raya. Dimana lahan pertanian tanaman padi di Desa Gunung Mulia seluas 816 hektare lanjut dia, rata-rata hasil panen petani mencapai tiga ton per hektare, namun hasil panen yang mampu terjual hanya 100 sampai 200 kilogram, dengan nilai jual hanya Rp8.000 /Kg.

Saat itu pemerintah berdalih bahwa kualitas beras lokal dari wilayah Penajam hanya menembus kelas medium, sehingga akhirnya harus memasok beras dari luar Pulau Kalimantan, yaitu Sulawesi dan Jawa. Tentu saja hal ini membuat terpukul para petani, dimana sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk cari solusi agar beras lokal bisa laku terjual dan menjadikan kualitas beras semakin lebih baik lagi.

Gonjang-ganjing di kalangan para petani padi juga merasa makin resah disaat pemerintah pusat mewacanakan melakukan impor beras. Disisi lain beras dari luar daerah Kaltim membanjiri pasaran. Para petani kebingungan menjual hasil sawah karena panen berlebih. Sehingga hasilnya panen para petani menjadi banyak yang terbengkalai.

Kran Impor Terus Terbuka

Harga beras di Indonesia, Bank Dunia menyebutkan selama satu dekade terakhir secara konsisten harga beras Indonesia termahal dibandingkan negara Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya. Harga beras Indonesia 28% lebih mahal dari Filipina, bahkan dua kali lipat dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. (Laporan terbaru Bank Dunia "Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022".

Dalih pemerintah jika saat musim tanam dan tidak ada panen, hal tersebut bisa membuat harga beras tinggi. Begitu pun tempatnya, jika sampel diambil di daerah yang jauh dari sentra beras, pasti harganya menjadi mahal. 

Alasan kenaikan harga pangan pun terdengar sangat klasik, yaitu akibat cuaca dan juga permintaan yang tinggi di akhir tahun. Padahal, jika memang kondisi ini terus berulang seharusnya pemerintah tidak jatuh dalam kubangan yang sama. Pemerintah harus bisa menjaga pasokan kala permintaan naik dan produksi menurun akibat cuaca sehingga tercapai harga yang relatif stabil.

Swasembada yang digembar-gemborkan Pemerintah di era kapitalisme menjadi sekadar jargon tanpa realisasi. Apalagi kedaulatan pangan, sebatas janji politik saja. 

Realitasnya, ketergantungan pada impor terus menguat yang menyebabkan harga pangan tidak stabil. Terlepas dari harga beras di Indonesia yang entah termurah atau termahal dibandingkan dengan negara lain, tetapi sebuah fakta bahwa harga beras Indonesia tidak pernah stabil dan cenderung terus meningkat. 

Bukan hanya beras, melainkan juga pangan pokok lain, seperti telur, minyak, dsb. Belum lagi kebutuhan hidup, seperti pulsa, air, listrik, dan BBM, semua mencekik.

Pada periode 2022, telah disepakati izin impor untuk gula, daging sapi, dan garam. Impor gula kristal rafinasi atau GKR ditetapkan sebanyak 3,48 juta ton dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi sebesar 891,627 ton, sedangkan daging sapi dan kerbau direncanakan importasi sebanyak 266.000 ton. Bahkan, untuk kedelai, 90% lebih kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari impor dan impor tahun ini diperkirakan mencapai 2,5 juta ton. Untuk bawang putih, ketergantungan pada impor bahkan lebih dari 95% dengan rata-rata impor 500 ribu ton/tahun.

Sejumlah komoditas penting lainnya juga masih dipenuhi dari impor, seperti jagung, gandum, susu, kopi, teh, cengkeh, kakao, dan sebagainya hingga 28 jenis komoditas. Tidak ketinggalan, beras yang produksinya surplus pun masih tetap ada yang diimpor. Tidak hanya bahan pangan, sarana produksi pertanian, seperti alat dan mesin pertanian dan pupuk pun masih tergantung impor. 

Selain Tiongkok, Kanada, dan Mesir, Indonesia juga mengimpor pupuk dari Rusia. Dampak lanjutan konflik Rusia-Ukraina akan menyebabkan lonjakan harga pupuk sebab Rusia merupakan pengekspor utama kalium, amonia, urea, dan nutrisi tanah lainnya, di samping kenaikan harga bahan bakar gas yang telah lebih dahulu melambungkan harga pupuk.

Terlebih lagi dari sisi regulasi, impor pangan makin terbuka lebar melalui pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pasal 14 ayat (1) menyebutkan sumber penyediaan pangan diprioritaskan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. 

Regulasi ini makin menunjukkan arah Pemerintahan ala kapitalisme dalam mengelola pertanian dan pangan. Bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat secara berdaulat, melainkan makin bergantung pada impor.

Islam Mewujudkan Kemandirian Pangan

Kebijakan pangan dalam aturan Islam akan mewujudkan terciptanya kemandirian pangan. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dilandasi oleh filosofi peran penguasa dalam menjalankan pengurusan urusan umat. Penguasa adalah pengurus sekaligus pelayan rakyat. Konsekuensinya, negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat secara mandiri. Atas dasar ini, negara tidak boleh membiarkan pihak lain mengganti perannya dalam memenuhi kebutuhan rakyat.

Kesalahan sistem kapitalisme hari ini ada di saat negara memberi peluang pihak swasta turut dalam melakukan pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena orientasi profit yang melekat pada aktivitas bisnis, muncullah gejolak harga, hingga lahir pula kebijakan-kebijakan yang hanya berfungsi sebagai obat penenang. Jika masanya tiba, gejolak kenaikan harga dan kebijakan, seperti impor beras akan tetap ada.

Sinergisitas dalam penguasaan sektor industri vital lainnya oleh negara adalah seperti pertanian, perikanan, farmasi, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur, teknologi, dan sebagainya adalah bagian terpenting lainnya dalam mewujudkan kemandirian pangan. Seluruh aspek industri, terutama di bidang pangan, dibangun dengan paradigma kemandirian. Tidak akan tergantung kepada asing, baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik.

Rasulullah saw. bersabda, "Imam (pemimpin) adalah raa'in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan paradigma ini, pemerintahan Islam bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Wujudnya, negaralah yang menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai tuntunan syariat. Tidak akan terjadi pengendalian kebijakan negara oleh pihak lain, termasuk korporasi bahkan pihak asing.

 Wallahu a'lam bisshawwab..[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun