Islam Menjaga Fungsi Lahan Pertanian
Demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan, luas lahan dan produktivitasnya menjadi "harga mati". Strategi ekstensifikasi dan intensifikasi mutlak dilakukan negara dengan cara yang efektif. Negara harus disiplin mengatur peruntukan lahan berdasarkan kajian geografis.
Aturan terkait lahan pertanian, untuk berdaulat pangan, negara mau tidak mau harus memiliki kebijakan yang menjamin ketersediaan lahan pertanian. Tujuannya agar terhindar dari alih fungsi yang masif, tidak ada lahan menganggur, serta terdistribusinya lahan kepada pihak yang mampu mengelola. Semua jaminan ini hanya terwujud melalui penerapan hukum pertanahan Islam. Islam memandang bahwa kepemilikan lahan sejalan dengan pengelolaannya. Ketika seseorang memiliki lahan, tetapi tidak dikelola, hak kepemilikannya bisa dicabut. Hal ini berdasarkan nas ijmak sahabat, "Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun." Â
Sebab itu pula, Islam melarang menyewakan lahan pertanian. Ini berdasarkan hadis, "Rasulullah saw. telah melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah." (HR Muslim)
Islam juga mengizinkan siapa pun warga negaranya untuk menghidupkan tanah mati/yang tidak berpemilik.
Arah pembangunan dalam sistem Islam berorientasi pada kemaslahatan rakyat berdasarkan timbangan syariat. Negara akan mengatur secara ketat wilayah yang memiliki tanah subur sehingga cocok menjadi sentra pertanian, termasuk mengatur wilayah yang tanahnya cocok menjadi permukiman, perindustrian dan lainnya. Dengan demikian, tidak ada potensi tanah yang tersia-siakan.
Aturan Islam juga mengatur terkait regulasi tanah dimana Islam tidak membiarkan ada tanah yang menganggur. Misalnya, adanya keharusan untuk mengolah tanah bagi pemilik tanah dan jika dalam tempo tiga tahun berturut-turut tanahnya menganggur, negara akan mengambilnya dan menyerahkan pada pihak yang bisa mengolahnya.
Terkait pengelolaan pertambangan, Islam mengatur sumber daya alam tambang (minerba, migas) sebagai bagian dari kepemilikan umum. Ini sebagaimana sabda Rasulullah ,
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu, tambang tidak boleh dimiliki/dikelola atas nama individu, apalagi oleh oligarki maupun swasta lokal/asing. Islam memperkenankan negara untuk mengelola pertambangan yang hasilnya serta kemanfaatannya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan melalui prinsip bisnis, alih-alih demi aliran profit.
Wallahu a'lam bisshawab.. [ ]