Adanya kuliner sekarang ini memudahkan seorang untuk merasakan berbagai makanan yang ada di berbagai daerah di Indonesia tanpa harus berkunjung ke daerahnya. Jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak mengatakan bahwa Indonesia mempunyai cita rasa yang tinggi.
Namun ketika ramadhan tiba, semua pikiran ini sepertinya kalah dengan kenangan masa kecil. Bersama ayah ibu, suasana ramadhan ketika itu. Barangkali itu sudah fitrah manusia kembali pada hati yang bersih dan baik (hanif) yang semua didapatkan dari masa kecil yang dicontohkan oleh orang tua.
Kue kompyang Dengan Santan atau Susu
Ketika semua berburu takjil yang dinantikan sore hari menjelang berbuka puasa, di tempat- tempat tertentu di sudut-sudut kota, saya justru berburunya khusus hanya pada satu tempat dan jam tertentu yaitu jam 7.00 di Pasar Gede Solo untuk mengejar kue kompyang. Karena di kota Solo kue kompyang ini sudah langka, hanya ada satu tempat saja di Pasar Gede Solo pada jam tersebut.
Bila tidak jam tersebut dan di tempat tersebut, jangan mengharapkan mendapatkan kue kompyang ,karena pasti sudah habis. Untuk saya yang bekerja, kesulitan untuk mendapatkan kue kompyang. Saya harus mengakalinya dengan menitip seseorang yang bisa ke pasar gede.Â
Bila tidak mendapatkan orang yang dititipi ke pasar gede ini, aku harus mengakalinya dengan datang pagi sebelum berangkat kerja lewat pasar gede, titip kepada satpam untuk nanti sesudah pulang kerja diambil. Serunya disini, perjuangan mendapatkan kompyang makanan langka masa kecil.
Apakah sebenarnya kue kompyang itu? Kue kompyang adalah kue yang berbentuk bulat pipih seperti roti burger, namun teksturnya keras dan krispi bila hangat. Rasanya asin seperti roti Perancis namun lebih padat dan sangat memberikan rasa kenyang. Kompyang ini nikmat dan enak dinikmati dengan segelas santan gula jawa ataupun susu yang manis dan hangat.Â
Namun ibu saya lebih sering memberikan saya dan kakak-kakak saya kompyang dengan santan gula jawa hangat. Kenapa ibu memberikan pada kami? Karena untuk membuat kami semua lebih merasa kenyang (bahasa jawa : marem) dalam berbuka puasa.
Semestinya memang pada saat adzan berkumandang dan saatnya berbuka puasa, idealnya adalah berbuka 5 buah kurma dan air putih, itu sudah cukup dan sehat. Lalu shalat maghrib, membaca alquran, baru makan malam. Selama ini  ayah dan ibu kami begitu.
Namun tidak bagi kami  saya, adik, dan kakak, kami tidak bisa seminimalis itu dalam berbuka. Kakak saya suka membeli sendiri makanan berbuka dari uang sakunya, namun selain ibu melarang karena tidak sehat, bisa-bisa uang saku kami habis hanya untuk makan takjil.
Akhirnya ibu memberikan kompyang itu dengan santan gula jawa yang hangat. Kami memakannya nikmat sekali dan perut kami kenyang untuk melakukan shalat maghrib dan membaca alquran menuju makan malam.
Itulah kompyang makanan legendaris saya, yang selalu saya perjuangkan saat ramadhan. Cerita ini juga saya teruskan pada anak saya agar dimengerti suasana ramadhan pada jaman ibunya. Namun akhirnya kami sekeluarga menjadi penggemar kompyang santan gula jawa hangat.
Mengingat makanan berbuka puasa waktu kecil, sebenarnya tidak sekedar bernostalgia saat itu, namun kebutuhan jiwa untuk merindukan hal-hal dari orang tua. Sebagai sembah bakti bahwa pendidikan mereka adalah benar adanya.
Semua pahit getir ketika kecil tetap ada kebahagiaan yang berarti, dan selalu ada kekurangan yang ingin dikirim untuk orang tua, yaitu doa, agar Allah menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi saya, hingga menjadi orang seperti ini. Dan selalu meneruskannya untuk anak saya kelak, agar berbahagia dengan berbakti pada ayah bundanya dan pada Allah Taala.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H