Mohon tunggu...
Novi Nurul Khotimah
Novi Nurul Khotimah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah dengan hati

GURU MULIA ADALAH GURU YANG BERKARYA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terlelap di Bawah Langit Mudzalifah

20 Juli 2022   09:15 Diperbarui: 21 Juli 2022   12:48 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padang Arafah mulai mengemas panas yang telah terpancar sedari matahari tergelincir hingga hampir terbenam. Senja pun dengan cahaya kemerahan menghampiri Padang Arafah yang dipenuhi oleh para jemaah haji sehingga nuansa Padang Arafah semakin tampak indah. 

Hal itu menandakan bahwa rangkaian wajib Haji untuk Wukuf di Padang Arafah telah selesai. Para jemaah haji pun serempak berkemas diri, bersiap-siap pergi ke Mudzalifah untuk Mabit di sana.

Saya dan suami pun mulai beranjak dari tempat duduk di bawah pohon Sukarno. Tiada terasa hampir tiga jam saya dan suami berdamai dengan panas, bersahabat dengan terpaan debu yang tersapu angin hanya ingin bermesraan dengan Rabb...kami, Sang Pemilik Hati. 

Panas matahari yang mencapai 43 derajat Celsius tidaklah menjadikan sebuah kendala untuk memanfaatkan waktu bercengkerama dengan-Nya. Semilir angin yang datang menghalau, rasa panas yang ada menyapa. Dan Masya Allah... sepertinya saya sudah berdamai dengan iklim panas di Tanah Haram ini. 

Dalam untaian do'a-do'a yang saya panjatkan, selalu terselip sebait kata, "Ya Rabb-ku, Panas ini milik-Mu, Dinginpun Milik-Mu. Berikan kesejukan disaat tubuh ini kepanasan, berikan kehangatan dikala tubuh ini kedinginan". Aamiin.

Sekira ba'da Maghrib, saya beserta rombongan sudah berkemas diri, meyakinkan diri pula tidak ada yang tertinggal di tenda Padang Arafah yang berada di Maktab 43, gabungan kloter 37 dan kloter 38 menuju Mudzalifah untuk Mabit (bermalam). 

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Mempersiapkan diri untuk rangkaian kegiatan ibadah haji berikutnya yaitu perjalanan ke Jamarat untuk lempar jumroh Aqobah. Perjalanan ke Mudzalifah para jemaah haji dijemput dan diantar oleh bus yang sudah dipersiapkan oleh Pemerintah Arab Saudi.

Kesabaran dari para jemaah haji dari seluruh penjuru dunia terus diuji, karena ini bagian dari indikator para jemaah haji untuk mendapatkan predikat haji yang mabrur dan mabruroh. 

Mengapa demikian? Karena proses untuk mendapatkan antrean kendaraan bus pun tidak mudah. Antrean panjang dari setiap kloter cukup banyak menyita waktu. Hampir tiga jam saya beserta rombongan menunggu hingga dapat giliran bus.

Rasa kantuk karena kelelahan sudah mulai menyerang para jemaah haji, tak kurang dari para jemaah tertidur beralaskan tas bawaannya karena kasur dan bantal yang ada di tenda sudah mulai dibereskan oleh para petugas. 

Ditambah lagi cuaca yang berubah menjadi dingin karena angin malam mulai berhembus disertai pendingin udara dalam tenda yang masih gencar menyala. 

Kerap kali saat para jamaah haji sedang terlelap dalam lelah petugas PPIH datang menyampaikan informasi bahwa bus jemputan sudah datang. 

Dengan tergesa para jemaah langsung bangun untuk keluar tenda. Ternyata saat para jemaah sudah berada di luar tenda, berbaris menuju pangkalan, tidak serta merta langsung bergerak. Antrean masih panjang mengular. 

Subhanallah... lagi dan lagi kesabaran dan keikhlasan diuji bagi para jemaah haji. Hanya semangat ingin meraih ridho-Nya dalam beribadah, para jemaah menjadi kuat dan terbiasa dengan menunggu.

Pukul 21.00 Waktu Arab Saudi, saya dan rombongan akhirnya tiba saatnya mendapatkan tumpangan bus. Alhamdulillah...lega rasanya ketika sudah duduk berada di dalam bus. 

Kurang lebih setengah jam menikmati perjalanan di malam hari dari Padang Arafah menuju Mudzalifah. Masya Allah... suasana megah Kota Mudzalifah di malam hari membuat decak kagum dalam batin saya seraya senantiasa memuji kebesaran-Nya.

Tiada terasa bus sudah memasuki area Mudzalifah. Lagi-lagi saya tertegun, tercegang melihat fenomena depan mata saya. Masya Allah... Lautan manusia berjibaku di tanah lapang yang luasnya entah seluas apa, yang pasti seluas pandangan mata saya melihat ke berbagai arah. 

Sesaat saya termenung di antara keramaian dan hiruk pikuk orang lalu lalang dalam kepadatan. "Ya Rabb-ku... apakah kiranya seperti ini kelak nanti di Padang Mahsyar?" tiada terasa air mata saya berebut berjatuhan.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Dengan bergandengan tangan bersama suami seraya berdoa memasuki lapangan Mudzalifah saya beserta rombongan berdesak-desakan mencari lahan yang kosong untuk Mabit. 

Terlihat para jemaah pun sibuk mencari batu kerikil di lapangan Mudzalifah ini. Batu kerikil untuk kepentingan lempar jumroh Aqobah di Jamarat keesokan harinya di sekitar waktu Dhuha. 

Tak sedikit pula para jemaah haji dari berbagai negara sudah nampak lelap tertidur di tengah ingar bingar suara. Ada yang bertalbiyah, berdzikir, sholat, antre di toilet, ada yang masih mencari tempat untuk berbenah seperti saya dan rombongan.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Alhasil, saya dan rombongan tiba di ujung lapangan masuk sepertinya lebih dekat ke arah pintu keluar yakni di maktab 43. Alhamdulillah... dengan susah payah dengan tetap berdoa kepada Sang Pemilik Jagat Raya, pemilik langit dan bumi dengan segala isinya agar senantiasa diberikan kemudahan dalam beribadah haji ini, akhirnya saya beserta rombongan bisa merebahkan diri di atas karpet merah yang sudah dipasang di sepanjang dan seluas lapangan. Namun dengan demikian saya tetap memberikan alas lagi dengan tikar yang saya bawa.

Setelah mengambil air wudhu, secara berjamaah melakukan sholat Maghrib dan Isya di Jama Qasar. Kemudian berbenah untuk beristirahat dengan cara tidur. Tidur beralaskan kasur tanah lapang, beratapkan langit malam bertabur bintang-bintang, berselimutkan angin malam. 

Dengan mengucapkan Bismillah dan doa-doa pengantar tidur menjadikan mata mulai terlelap, diri di bawa ke alam mimpi. Betapa nikmatnya tidur terlelap di bawah langit seakan tiada beda antara nikmatnya tidur di dalam kamar hotel.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Inilah sejatinya Mabit di Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah dimulai ba'da Maghrib hingga mulai terbit fajar 10 Dzulhijah Dan boleh sesaat asalkan telah melewati saat tengah malam. 

Mabit di Muzdalifah hukumnya wajib bagi para jemaah haji yang sehat, tetapi tidak harus memaksakan bagi para jemaah haji yang udzur. Dan baginya tidak dikenakan dam.

Bagi para jemaah haji batu kerikil untuk kepentingan lempar Jumroh sudah disediakan oleh panitia haji di maktab Mudzalifah. 

Tetapi jika para jemaah haji yang ingin mencari batu kerikil di Mabit Mudzalifah juga banyak di sekitar maktab, seperti dahulu dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika berada di Mudzalifah beliau mencari batu kerikil. Besaran batu kerikil yang disarankan sebesar biji kelereng. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.

Berapa jumlah batu kerikil yang harus dipersiapkan untuk keperluan lempar jumroh di Jamarat? Bagi para jemaah haji yang mengikuti kegiatan haji Nafar Awal cukup 49 butir kerikil. 

Tujuh butir kerikil untuk lembar Jumroh Aqobah di Jamarat pada tanggal 10 Dzulhijah, 21 butir kerikil buat lempar Jumroh Ula, Wustha dan Aqobah pada tanggal 11 Dzulhijah dan 21 butir kerikil untuk lempar Jumroh Ula, Wustha, dan Aqobah pada tanggal 12 Dzulhijah di Jamarat. Sedangkan bagi para jemaah haji yang mengikuti Nafar Tsani, batu kerikil yang diperlukan sebanyak 70 butir.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Pelaksanaan lempar Jumroh sama seperti Nafar Awal, namun Nafar Tsani, lempar Jumroh Ula, Wustha, dan Aqobah masih dilakukan pada tanggal 13 Dzulhijah.

Batu kerikil tersebut bisa diambil pada saat Mabit di Muzdalifah. Batu kerikil terhampar banyak di sekitar lapangan Mudzalifah.

Sekira lewat tengah malam situasi Mabit di Muzdalifah mulai menyusut karena para jemaah haji sebagian mulai beranjak ke Mina. Hal itu saya ketahui ketika mata ini terjaga sekira pukul 02.00 pagi Waktu Arab Saudi. 

Saat mata terbuka pandangan yang nampak di lapangan banyak para Jemaah yang telah mengosongkan karpet-karpet tempat bermalam dan samping kanan kiri saya yang berdekatan dengan arah pintu keluar ramai sekali dengan antrean panjang mengular oleh para jemaah jaji yang menunggu jemputan bis sesuai maktab menuju Mina untuk bersiap diri melakukan lempar Jumroh Aqobah di Jamarat.

Alhamdulillah... kurang lebih empat jam saya terlelap dalam buaian mimpi indah di bawah langit Mudzalifah. Masya Allah...betapa nikmatnya tidur yang hanya beralaskan tanah, beratapkan langit dan berselimutkan angin malam. 

Suasana ingar bingar di area lapangan Mudzalifah tidak menjadikan kedua mata saya sulit terpejam. Segala pujian hanya milik Allah semata...

Saya pun bersama rekan jemaah haji perempuan beranjak ke toilet untuk bersih-bersih diri, untuk melakukan sholat malam dan persiapan sholat subuh. 

Alhamdulillah... antrean di toilet tidaklah nampak seperti diawal saya datang sehingga saya pun dengan bebas bisa memilih ruangan toilet sekaligus untuk bisa mandi. Di samping itu saya bisa berpuas diri mencari batu kerikil sesuai yang dibutuhkan.

Saya dan rombongan dari KBIHU Al Hidayah Kota Cirebon sudah menetapkan waktu dijemput saat subuh tiba dan termasuk rombongan dari maktab 43 adalah rombongan yang dijemput oleh bus ke tenda Mina. 

Rencana awal langsung ke Jamarat, tetapi karena keterbatasan kendaraan bus penjemputan ke Jamarat, akhirnya saya dan rombongan dijemput ke tenda Mina terlebih dahulu untuk kemudian dengan berjalan kaki dari tenda Mina ke Jamarat untuk lempar Jumroh Aqobah.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Setiap perubahan jadwal dalam perjalanan ibadah haji selalu terasa indah dan penuh hikmah. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Saya sudah membayangkan saat persiapan perjalanan ke Armuzna dengan bawaan tas yang cukup berat dan harus dibawa serta saat berjalan kaki ke Jamarat meskipun pastinya suami saya yang bawakan. 

Namun Masya Allah,, Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, terjadi perubahan jadwal sehingga saya dan rombongan tidak langsung ke Jamarat tetapi pulang ke tenda Mina terlebih dahulu sehingga tas punggung yang sarat perlengkapan bisa ditinggal di tenda. Allah Maha Besar.

Sekitar pukul 06.00 waktu Arab Saudi, saya dan rombongan tiba di tenda Mina. Untuk selanjutnya bersiap melanjutkan perjalanan ke Jamarat untuk melakukan lempar jumroh Aqobah dengan berjalan kaki sepanjang kurang lebih 9 kilo meter untuk perjalanan pergi pulang.

Semoga Allah SWT menerima rangkaian ibadah haji melalui kegiatan Mabit di Muzdalifah ini. Aamiin Allahumma Aamiin

Terima kasih bagi para pembaca yang sudah berkenan menyimak tulisan perjalanan saya.


Kota Mekkah, 20 Dzulhijah 1443 H
Novi Nurul Khotimah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun