Tak ada yang salah. Setiap orang memang punya ceritanya masing-masing. Tapi aku memang seakan menang lotre, dengan Ibu dan keluarga yang selalu mendukung keputusanku.
"Ah, meski ini bukan senja di pantai Indonesia bagian Timur, senja Skandinavia terasa semakin sendu karena ingatan-ingatan itu", lanjut batinku sore itu.
Ingatan-ingatan yang membuatku berpikir, perempuan juga layak untuk bermimpi tanpa dihalangi kebebasannya. Dia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia pun tahu, apa yang terbaik untuknya dan apa yang membuatnya bahagia.
"Alangkah indahnya jika setiap impian teman-teman perempuanku yang lain pun tak pernah ada yang membatasinya", pikirku berandai-andai.
Terus berlayar meski badai menerjang
Tak lupa, kacamata hitam melengkapi penampilan mereka, pun juga denganku. Matahari memang terlalu terik siang itu, silaunya tak jarang cukup menyilaukan mata.
Kupandangi kapal-kapal yang terparkir di sepanjang pelabuhan. Kapal-kapal yang terdiam itu justru menambah riuh pemandangan Nyhavn dengan bangunan-bangunannya yang berwarna-warni.
"Kapal-kapal ini akan terus berlayar meski sedang terperangkap badai di tengah laut. Setidaknya, sang nahkoda akan terus berusaha menyelamatkan kapalnya yang terombang-ambing ombak ganas di lautan sana. Meki entah apa yang akan dihadapinya, setidaknya, segala upaya akan dilakukannya untuk menerjang badai", lamunku sambil terduduk diam di tepian Nyhavn.
Sama seperti perjuanganku hingga menginjakkan kaki di Skandinavia ini.Â
Empat tahun berturut-turut aplikasi beasiswaku ditolak. Hingga dua dari dosenku pun tak lagi bersedia memberiku surat rekomendasi kala itu. Kuingatnya lagi samar-samar, aku pernah hampir menyerah, tak lagi ingin melanjutkan sekolah karena tak tahu bagaimana harus aku dapatkan surat rekomendasi itu. Aku masih ingat, menangis tersedu-sedu tanpa malu di depan dua kolegaku sore itu, tak tahu harus bagaimana lagi aku melangkah.