Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bisakah Kita Bijak dalam Bermedia Sosial?

2 Februari 2021   17:12 Diperbarui: 3 Februari 2021   01:04 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ragam media sosial (Sumber gambar: teknorex.com)

Inginnya menginspirasi, tapi malah membuat sensi dan depresi.
Terkadang inginkan pengakuan, tapi ternyata hanya sebatas angan-angan.
Maunya diapresiasi, tapi dituduh mencari sensasi.
Pikirnya akunku ya terserah aku, rasamu ya urusanmu.
Tapi jadinya malah hidupmu bayanganku, dan rasaku bukan masalah bagimu.

Sejatinya tidak ada aturan khusus dan mengikat dalam bermedia sosial. Tapi, pernahkah kita merasa sedih atau julid dengan unggahan orang lain di media sosial? Atau pernahkah kita merasa semakin rendah diri dan tidak percaya diri setelah melihat unggahan orang lain di media sosial?

Terlebih lagi, yang biasanya paling sering terjadi, pernahkah kita lupa bersyukur dengan hidup kita sendiri dan mulai membanding-bandingkannya dengan hidup orang lain yang kita lihat di media sosial?

Alhasil, kita menjadikan hidup kita sebagai sebuah kompetisi. Bukan untuk mencari yang terbaik, melainkan untuk mencari siapa yang terlihat lebih bahagia di dunia maya.

Eits, ingat, kata-katanya adalah "terlihat" bahagia. Tapi yang terlihat dan kelihatan itu belum tentu demikian adanya. Kalau kata pepatah sih, "don't judge a book by its cover".

Tidak ada yang salah dengan mengunggah cerita dan foto di akun media sosial kita. Itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat untuk kita.

Namun siapa sangka unggahan kita di media sosial mungkin bisa saja mempengaruhi suasana hati orang lain. Atau, orang lain bisa saja menilai kita dengan label "terlalu berlebihan" maupun "congkak". Bisa sih kalau mau cuek dengan pendapat orang lain.

Hidupku hidupku, hidupmu hidupmu. Akunku ya akunku, terserah aku mau diapain dan mau ngapain.

Tapi, pernahkah kita mempertanyakan apakah dengan begitu kita telah dengan sengaja menghilangkan sifat empati pada diri kita? Atau, memang demikian hidup seharusnya, tak usah pedulikan orang lain dan lakukan saja apa yang kita mau?

Nah, bingung kan? Saya sendiri selalu bingung dengan pemikiran ini. Hanya saja, kebingungan ini sempat mengusik pikiran saya sejak beberapa waktu silam, hingga akhirnya saya mulai mengendalikan unggahan-unggahan saya di media sosial.

Banyak alasan mengapa kita berbagi di media sosial

Ilustrasi searching foto (Sumber: www.pixabay.com)
Ilustrasi searching foto (Sumber: www.pixabay.com)
Tidak bisa kita pungkiri bahwa media sosial telah menjadi salah satu wadah yang cukup ampuh untuk berbagi informasi dan menjalin silaturahmi dengan teman lama kita. Terlebih jika sudah semakin sulit untuk bertemu karena kesibukan masing-masing.

Nah, di sinilah peran media sosial menjadi penting agar kita tetap terhubung dengan orang lain. Sekadar untuk berbagi pesan dan bernostalgia dengan foto-foto kebersamaan di masa lalu.

Ada juga yang memanfaatkan media sosial sebagai narahubung informasi-informasi penting. Misalnya, memberikan rekomendasi makanan atau produk-produk tertentu, berjualan online, memberikan info-info kegiatan seminar dan sejenisnya.

Atau ada juga yang memanfaatkannya sebagai wadah untuk mengampanyekan pola hidup sehat dan pola hidup ramah lingkungan. Ataupun sekadar menuliskan kata-kata mutiara dan membagikan resep masakan, misalnya.

Bahkan dewasa ini media sosial telah banyak juga yang digunakan sebagai sumber mata pencaharian, misalnya dengan menjadi selebgram.

Nah, kalau yang paling umum lagi dan sudah pasti hampir semua orang pernah melakukannya adalah menggunakan akun media sosial untuk berbagi kegiatan berlibur, bekerja, dan kegiatan-kegiatan lain yang kita alami sehari-harinya. 

Saya pun pernah sangat candu dengan media sosial hanya untuk mengunggah hal-hal yang sepele. Meski entah apakah ada manfaatnya, tapi kita lakukan saja, asal hati senang. 

Begitu kira-kira menurut hemat saya. Tentu tidak semuanya negatif. Karena kembali lagi, ini adalah kebebasan berekspresi secara individu.

Tak usah pedulikan orang lain. Toh, ini akunku. Jadi ya, terserah aku.

Namun, tepatnya dua tahun yang lalu, saya pribadi mulai memutuskan untuk mengendalikan unggahan-unggahan di media sosial saya. 

Sesederhana karena, saat itu saya sangat disibukkan dengan kegiatan kuliah, yang membuat saya tak lagi bisa berlibur dengan sesuka hati seperti tahun-tahun sebelumnya.

Lalu kemudian, setiap kali membuka akun media sosial dan melihat foto-foto liburan teman-teman saya, hati saya seketika sedih. Sebut saja saya julid, karena saya tidak bisa berlibur seperti mereka.

Sontak saya pun berkontemplasi, dengan unggahan-unggahan liburan saya sebelum-sebelumnya, apakah saya juga pernah membuat hati orang-orang yang melihatnya sedih seperti yang saat itu saya rasakan?

Singkat cerita, saya membuka-buka lagi arsip-arsip unggahan saya dalam bentuk video (story). Dan yang terpikir saat itu hanyalah, "Untuk apa dulu aku mengunggah hal-hal ini? Ini bahkan hanyalah hal-hal sepele yang orang lain pun tak perlu tahu". Dan setelahnya, saya mulai melihat dengan seksama story yang diunggah oleh teman-teman saya di media sosial.

Hasilnya, "Ah, ternyata kami sama saja. Meski entah untuk apa. Ya sudah. Anggap saja sedang berbagi cerita". Meski setelahnya, saya kembali merenungkan,"Tapi mungkin tidak semua hal harus kita bagikan, bukan?"

"Akunku akunku, tak usah pedulikan apa kata orang lain", lagi-lagi ini terus berputar-putar di benak saya. Seolah-olah mencari pembenaran untuk terus bermedia sosial dengan leluasa.

Kendalikan diri kita sendiri

Kita tidak bisa mengendalikan pikiran dan pendapat orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Dalam artian, meskipun kita merasa unggahan kita di media sosial biasa-biasa saja, orang lain tetap bisa menilai kita secara berlebihan atau julid.

Tak perlu baper, karena kita memang bukan pengendali hati manusia. Apa yang mereka pikirkan, tak bisa kita ubah semau kita. Tapi, kita bisa mulai dari diri kita sendiri.

Misalnya dengan menahan diri tidak terlalu sering mengunggah di media sosial. Atau, jika justru kita yang sering julid, kita bisa saja tidak usah mengikuti akun-akun media sosial yang membuat perasaan kita tidak nyaman. Sekali pun akun teman dekat sendiri, tapi jika dirasa lebih nyaman, lakukan saja. Mungkin memang lebih baik berteman hanya di dunia nyata, tidak usah ditambah di dunia maya.

Oh ya, penting juga untuk kita agar bisa mengatur jadwal bermedia sosial. Tidak perlu setiap hari, setiap jam atau setiap menit. Ingat, sesuatu yang berlebihan dan membuat candu itu tidak baik. Mengontrol intensitas bermedia sosial membantu kita menjaga kepercayaan diri dengan tidak lagi sibuk dengan kehidupan yang dijalani orang lain.

Hemat saya, pilihlah akun-akun yang dianggap membawa manfaat bagi kita atau membuat kita tetap nyaman dalam bersosialisasi di media sosial.

Jangan lupa bersyukur

Terkadang karena terlalu sering memperhatikan kehidupan orang lain di media sosial, kita lupa dengan nikmat kehidupan yang kita miliki sendiri. Seperti yang saya tulis sebelumnya, hidup seolah-olah sebuah kompetisi.

Hidup tak lagi melakukan apa yang kita mau atau kita butuhkan. Tetapi melakukan apa yang menurut orang lain elok dilihat. Hidup bukan lagi dalam kendali kita, melainkan mengikuti tampilan kehidupan orang lain. Secara tidak sadar, kita menyerahkan gambaran hidup kita pada pandangan orang lain.

Jika sudah begini, lambat laun kita bisa terlena dan lupa dengan tujuan hidup kita sendiri dan terlalu fokus untuk memiliki hidup orang lain.

Cobalah rehat sejenak dari candu media sosial dan berhenti memperhatikan aktivitas orang lain di media sosial. Fokuslah pada aktivitas kita sendiri dan lakukan yang terbaik untuk itu. Hal yang paling penting juga adalah selalu bersyukur dengan hidup yang kita jalani meski berbeda dengan orang lain.

Tak ada salahnya menjadi berbeda. Karena pada hakikatnya setiap manusia memang berbeda dan memiliki jalan yang berbeda.

Alih-alih menggunakan waktu untuk meratapi nasib sambil mencibir hidup orang lain, sebaiknya kita gunakan waktu yang kita miliki untuk selalu bersyukur dan melakukan yang terbaik untuk hidup kita sendiri, tanpa bayang-bayang orang lain dan media sosial.

Ragam media sosial (Sumber gambar: teknorex.com)
Ragam media sosial (Sumber gambar: teknorex.com)
Terkadang hidup lebih nyaman dengan tidak terlalu sering bermedia sosial

Pernahkan mendengar bahwa media sosial rentan membuat seseorang depresi? Ya, seringnya melihat kehidupan orang lain yang dianggap bahagia atau bahkan lebih bahagia dari diri kita sendiri kerap menjadi pemicu depresi. Dalam psikologi misalnya, media sosial disebut-sebut sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Info lengkapnya bisa dibaca di sini, ya.

Media sosial pun memicu perasaan tidak bahagia dan tidak puas dengan kehidupan yang dijalani. Salah satu teman saya misalnya, menganggap bahwa media sosial itu sebuah racun untuk hidupnya. 

Sesederhana karena media sosial membuatnya semakin merasa kesepian dan merasa tidak memiliki apa yang orang lain miliki. Dia pun memutuskan untuk berhenti menggunakan media sosial dan bahkan menghapus aplikasi media sosial dari ponsel pintarnya.

Pada kenyataannya, hidup terkadang terasa lebih tenteram saat kita berhenti membanding-bandingkan kegiatan kita dengan kegiatan orang lain. Bagaimana caranya? Batasilah penggunaan media sosial, jangan terlalu sering apalagi sampai memperhatikan setiap detil kehidupan orang lain yang hanya berupa foto dan video.

Toh, kita tak pernah tahu cerita apa dibalik senyuman di foto atau video itu. Bisa jadi sebenarnya hidup kita lebih baik dari mereka. Siapa yang tahu, ya kan? Tapi kan, tak perlu semua orang tahu tentang seluk beluk diri kita dan hidup yang dijalani, betul tidak?

Mungkin saja "akunku ya terserah aku" adalah benar. Kitalah yang menjadi kendali dari semuanya. Jika orang lain tak bisa mengendalikan media sosial kita, lebih baik kita saja yang mencoba mengendalikan media sosial kita untuk lebih bijak lagi dengan kesehatan mental dan kehidupan yang kita jalani.

Tentu saja tidak perlu sampai ekstrim menghapus aplikasi atau tidak lagi bermain media sosial. Karena memang banyak sekali informasi-informasi yang juga bermanfaat untuk kita di beberapa akun media sosial. Pintar-pintar kita saja mau melihat dan mengikuti yang mana.

Paling penting adalah semua yang kita kelola jangan sampai membuat kita julid dengan orang lain dan jangan sampai membahayakan kesehatan mental kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun