Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berkaca pada Musim Dingin, Tak Apa Meski Berasal dari Negara Tropis

27 Januari 2021   12:16 Diperbarui: 6 Februari 2021   10:49 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi: Asrama mahasiswa saat musim dingin

Setelah lebih dari seperempat abad merasakan kehidupan dengan sinar matahari langsung sepanjang tahun, tibalah hari itu: pertama kali saya merasakan suhu 5° C di bawah langit gerimis tipis sambil membawa dua tas ransel dan satu koper berisikan beban 29 kg.

Kedua mata saya seketika menjadi kering dan "menangis" kala angin bertiup dengan kencangnya. Sialnya, jaket yang saya gunakan ternyata tak cukup tebal untuk menghalau hawa dingin Jerman kala itu. Atau, mungkin saja badan saya yang masih terkaget-kaget dengan semriwing yang dirasakan sambil berjalan kaki sekitar 500 meter dari halte bus ke tempat tinggal saya yang baru.

"Ini masih belum musim dingin, ini baru musim semi, tapi dinginnya udah bikin mager banget", batin saya saat itu.

Tapi ini tidak berlangsung lama. Tubuh saya ternyata cukup cepat beradaptasi dengan cuaca musim semi di bulan April kala itu. Saya hanya perlu memakai kaos kaki tebal, baju hangat berteknologi heattech, serta memakai down jacket yang sudah saya bawa dari Indonesia.

Selain itu, aktivitas kehidupan baru yang saya jalani juga adalah penyemangat menghadapi dinginnya musim. Bak masa-masa bulan madu atau euforia di awal, perjalanan hidup saya benar-benar berbeda dan berwarna.

Dinginnya musim tak berlangsung lama, saat di bulan Mei musim panas pun datang. "Ah, sepanas apa, sih? Palingan masih lebih panas di Indonesia", pikir saya lagi. Benar memang, suhu musim panas tidak sampai 34° C seperti yang biasa saya rasakan di Indonesia sehari-harinya.

Tapi, iklim di Eropa sungguhlah kering, tidak lembab seperti di Indonesia. Meski tak banyak keringat yang mengucur di musim panas, teriknya matahari ternyata lebih terasa membakar ketika bersentuhan dengan kulit.

Kebiasaan memakai tabir surya pun saya mulai dengan musim panas di Jerman. Dulunya, memakai tabir surya saya lakukan hanya ketika saya pergi berlibur ke pantai.

Bagi saya tak ada yang aneh dengan musim panas di Eropa. Mungkin karena sudah terbiasa dengan sinar matahari sepanjang masa, saya bersikap biasa-biasa saja selain membawa kipas tangan ke mana-mana.

Maklum, di ruangan-ruangan kelas di Jerman tidak ada AC. Kipas angin pun tidak selalu ada. Kami hanya mengandalkan angin dari jendela untuk mengusir hawa panas, itupun kalau ada angin. Kalau tidak, yah, apa boleh buat, terus saja fokus dengan pelajaran sambil terus menghidrasi tubuh dengan minum air putih. 

Semua terlihat bahagia dengan hamparan sinar matahari di setiap harinya. Taman-taman dan sungai-sungai mulai penuh dengan gerombolan muda-mudi yang menikmati sinar matahari hangat sepanjang harinya.

Musim panas rasa-rasanya adalah musim ramai manusia di luaran. Banyak juga festival-festival yang diadakan di musim panas. Pun langit pukul 10 malam masih terlihat sangat cerah, membuat aktivitas muda-mudi semakin panjang di luaran sana.

"Tak ada yang aneh", pikir saya lagi. "Orang-orang hanya terlihat lebih bahagia, bersemangat, dan ceria di musim panas", lanjut saya lagi. Tapi, hey, itulah sebabnya!

Dokumentasi pribadi: Musim panas yang selalu ramai di Jerman
Dokumentasi pribadi: Musim panas yang selalu ramai di Jerman

Sesuatu yang menarik mulai terbersit di benak saya saat hawa dingin musim gugur mulai datang dan perlahan menggantikan teriknya matahari musim panas. Orang-orang kembali berlalu-lalang dengan pakaian musim dingin (jaket tebal, syal di leher, sepatu boots, topi rajut, dan sarung tangan). Saya pun mulai harus beradaptasi lagi dengan hawa dingin yang kali ini jauh lebih dingin daripada saat pertama kali saya tiba. 

"Ternyata syal itu berguna bukan hanya untuk menghangatkan leher, tapi juga bisa menutupi mulut dan hidung saat di jalanan (seperti halnya masker) agar tidak sulit untuk bernapas karena dinginnya udara. Hidung jadi tidak mampet!" saya menarik kesimpulan.

Tapi, lebih menarik lagi, mengamati raut wajah orang-orang yang saya temui di jalanan dan di dalam bus, tram, ataupun subway. "Hmm, tatapan yang dingin", batin saya.

Dengan kedua mata awam saya, tak banyak keceriaan yang bisa dilihat seperti ketika musim panas datang. Tak banyak pula yang bercakap-cakap seperti di musim panas. Tak banyak interaksi yang terjadi di dalam transportasi umum dan semakin sedikit senyum yang bisa saya lihat di luaran. "Hmm, menarik", pikir saya lagi.

Hingga suhu semakin dingin mencapai minus, dan saya pun mengalaminya sendiri. Sembari menunggu bus untuk berangkat ke kampus, tidak ada sama sekali keinginan dari saya untuk membuka mulut dan menyapa teman saya dengan senyum lebar. Kami hanya mampu berkata "hi, how are you?". Rasanya itu saja sudah cukup.

Semakin berbicara dan membuka mulut, semakin hawa dingin terasa di badan ini. Daripada sibuk berkata-kata, lebih baik saya fokus menghangatkan diri dengan menyelipkan kedua tangan di dalam saku jaket dan menutupi separuh mulut saya dengan syal.

Jika salju turun dengan derasnya, saya tambahkan lagi untuk memasang topi jaket di kepala saya dan tak lagi tertarik menoleh ke kanan dan ke kiri. 

Tentu saja hal ini lebih banyak dilakukan ketika sedang berada di luaran. Saat berada di ruangan yang lebih hangat, tentu kami tak lagi malas bercakap-cakap, apalagi jika dalam kegiatan kuliah, mau tidak mau harus bersikap normal selayaknya kelas-kelas di musim panas. Pemanas ruangan telah tersedia di setiap ruangan sehingga tak lagi ada alasan untuk bermalas-malasan karena merasa kedinginan.

Tapi, pernah tidak mendengar istilah "winter depression"? Seseorang yang merasa depresi karena perubahan musim.

Saya tak pernah menyadari atau bahkan memahaminya sampai suatu hari saya berkata pada seorang teman, "Rasanya kesepian banget, malas ke mana-mana, malas makan, maunya tidur aja sepanjang hari."

Sontak dia pun berkata, "Udah beli Vitamin D aja, minum tiap hari biar nggak kena winter depression!". "Hmm, apa hubungannya, sih?", batin saya setelahnya.

Ternyata, setelah banyak menjelajahi internet tentang winter depression dan cara mengatasinya, saya memperoleh informasi bahwa pengaruh sinar matahari besar manfaatnya untuk suasana hati.

Dilansir dari Mayo Clinic, salah satunya karena sinar matahari membantu produksi hormon serotonin yang bermanfaat untuk meningkatkan suasana hati seseorang.

Nah, bisa dibayangkan saat musim dingin, tak banyak sinar matahari yang diterima oleh tubuh ini, dan hal itulah yang memicu perasaan sedih dan kesepian sata musim dingin. Info lebih lengkapnya bisa dibaca di sini, ya.

Saya pun tersadar, jika memang sinar matahari sebermanfaat itu untuk suasana hati, coba saya mulai beranikan diri untuk keluar rumah setiap hari saat musim dingin, meski sekedar untuk berjalan kaki lima menit di sekitaran tempat tinggal saya.

Hasilnya, memang suasana hati menjadi lebih baik! Meski tak bercakap-cakap dengan orang lain, tapi sekedar melihat sedikit cahaya di luaran sudah membuat hangat perasaan hati. Sejak saat itu saya biasakan untuk keluar ruangan di musim dingin barang sebentar saja, meski teramat dingin udara yang bertiup.

"Kalau begitu, mungkin ini sebabnya kenapa orang-orang di negara tropis banyak dikaitkan dengan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang-orang di negara bermusim dingin?". Ah, tapi ini hanya asumsi pribadi saya saja.

Setelah mengalami tiga kali musim dingin, rasa-rasanya saya tak lagi berkecil hati meski berasal dari negara tropis dan kini harus kembali melalui hari-hari saya dengan sinar matahari sepanjang tahun. Tak apa, asal tak lagi merasa kesepian saat pergantian musim kering ke musim penghujan maupun sebaliknya. 

Masih penasaran dengan manfaat sinar matahari, saya kembali mengamati keseharian saya saat PSBB kali ini. Berdiam diri di rumah saja cenderung membuat jenuh dan bosan, betul tidak? Tapi, ternyata saat saya mencoba kebiasaan baru untuk berjemur di halaman di pagi hari, barulah saya rasakan, sepertinya memang betul sinar matahari berpengaruh terhadap suasana hati.

Jika kalian melakukan hal yang sama, coba perhatikan dengan seksama. Rasanya ada sensasi yang berubah dari mood dan pikiran kita saat kita berada di bawah paparan sinar matahari pagi meski hanya 15 menit hingga 30 menit saja. Perasaan hangat yang membuat bahagia dan tenteram. Mungkin itu sebabnya, hangat sinar matahari tidak hanya memberikan kehangatan secara raga tapi juga kehangatan secara jiwa.

Namun demikian, musim dingin di Jerman juga membawa saya pada pengamatan lainnya di luar berubah-ubahnya suasana hati, yaitu semangat untuk terus beraktivitas tak peduli sedingin apapun udara di hari itu.

Bagaimana tidak? Yak, turunnya salju bukan alasan untuk tak berkegiatan. Semua masih harus berjalan secara normal. Tak ada alasan untuk bermalas-malasan, jika kita tetap ingin menjalani hidup dan bertahan.

Dokumentasi pribadi: Festival di musim gugur dan orang-orang tetap melihat pawai meski udara mulai dingin
Dokumentasi pribadi: Festival di musim gugur dan orang-orang tetap melihat pawai meski udara mulai dingin

Saya teringat ketika di Indonesia, saat hujan turun dengan lebatnya, tak ayal saat itu teman-teman kuliah masih saja ada yang bertanya kepada dosen apakah kelas tetap berlangsung atau tidak. Selalu saja ada alasan untuk tidak bepergian ketika hujan turun, meskipun kita tahu ada payung dan jas hujan sebagai alat pelindung. Alasan-alasan semacam ini tak bisa saya buat ketika berhadapan dengan musim dingin, sayang sekali.

Teman saya yang bekerja paruh waktu misalnya, tetap harus berangkat ke tempat kerjanya pukul 4 pagi di tengah dinginnya udara dan salju yang turun hingga menumpuk di jalanan.

Saya pun tetap harus hadir di kuliah pagi pukul 08.00 meski langit masih sangat gelap dan lampu-lampu di jalanan masih terang menyala. Tak ada lagi alasan untuk terus menghangatkan diri di bawah selimut jika ingin terus bertahan hidup di musim dingin. Kita tetap harus berjalan ke pasar dan berbelanja, jika kita ingin terus makan, misalnya.

"Hmm, mungkin ini sebabnya orang-orang di negara 4 musim sering dikait-kaitkan dengan sikap lebih rajin dan lebih giat, karena mereka tetap harus bergerak dalam segala musim yang berbeda", lagi-lagi asumsi pribadi saya menari-nari di benak saya.

Terlepas dari itu semua, musim dingin ataupun musim panas, selalu ada pembelajaran diantara keduanya. Dan kita tetap memegang kendali untuk mengatasi permasalahan yang dipicu oleh dua musim yang berbeda tersebut. Tantangannya tentu saja untuk selalu menjaga produktivitas dan suasana hati meski turunnya salju ataupun hujan seolah menghalangi.

Ingat juga, tak ada salahnya mulai sekarang kita lebih menghargai lagi keberadaan sinar matahari yang tersedia di bumi ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun