Mohon tunggu...
Novie Rupilu
Novie Rupilu Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intelektualitas Rhoma Irama

28 Februari 2014   07:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ini bukan pledoi, ini tentang sebuah sosok.

Rhoma Irama; siapa tak kenal sosok yang sering membuat kontroversi ini. Raja dangdut, pernah menjadi politisi, dan terakhir adalah calon presiden yang getol dikampanyekan oleh Partai Kebangkitan Bangsa.

Beberapa hari belakangan, Bang Rhoma kembali jadi pembicaraandi media sosial. Sebuah gelar akademik yang dipasang di depan namanya adalah muasal perkara itu, Profesor Rhoma Irama. Publik tak rela jika gelar itu disandang Sang Mahabintang. Alasannya, asal-usul gelar itu tak jelas. Memang Rhoma punya dalil; beberapa orang profesor pernah datang ke Indonesia untuk memberinya gelar itu pada tahun 2005 lalu. Tapi, Rhoma bukan dosen sehingga haram hukumnya untuk menyandang gelar itu.

Profesor adalah gelar bagi mereka yang bekerja di universitas atau lembaga riset yang kerap melakukan penelitian dan menulis artikel ilmiah. Beda dengan Rhoma yang notabene adalah seniman. Tetapi andai Rhoma adalah seorang dosen musik, pantaskah ia diberi gelar itu?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menilik sosok lain yang tak menghebohkan. Profesor Anggito Abimanyu. Gelar akademik Dirjen Haji itu tak diragukan. Doktor ekonomi lulusan universitas mentereng – Universiy of Pennsylvania Philadelphia – di negeri Paman Sam. Ia berkarier di lembaga yang punya nama besar, Universitas Gadjah Mada.

Tenaga dan pikirannya diabdikan pada negara dalam jabatan birokrasi; Menjadi Kepala Badan Fiskal di Departemen Keuangan dan terakhir adalah Dirjen Haji. Hebat bukan. Tapi sebuah kerikil kecil mengguncang kebesaran namanya. Ia menjiplak karya orang lain. Menyedihkan? Tentu saja iya. Bahkan memalukan untuk orang sekelas Anggito.

Profesor tentu bukan gelar akademik. Tak ada sekolah yang meluluskan orang dengan gelar profesor. Itu adalah penghargaan. Nilai yang diberikan atas karya intelektual. Sampai disini, simpulan boleh dibuat. Profesor diberikan kepada mereka yang punya karya intelektual. Titik.

Tapi apa itu intelektual?

Defenisi tentang intelektual boleh dilongok pada kamus. Tapi Antonio Gramsci – dalam bukunya Prison Notebooks – memberikan label yang universal. Bahwa semua orang adalah kaum intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Kalau tidak semua orang punya fungsi intelektual, lantas siapa yang paling layak diberi gelar itu?

Edward W. Said berujar dalam bukunya Peran Intelektual, seorang intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat mempresentasikan, mengekspresikan, serta mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi.

Kembali pada Rhoma Irama. Dalam sebuah buku yang ditulis Andrew N. Weintraub – Dangdut: Musik, identitas dan Budaya Indonesia – saya menemukan bahwa karya-karya Rhoma Irama telah banyak dikaji secara akademik, bahkan hingga ke luar negeri. Disebutkan pula bahwa tak kurang ada 7 karya akademik berhasa Inggris yang disusun tentang karya-karya Rhoma Irama. Di Indonesia, tak kurang artikel ilmiah yang membahas lagu Rhoma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun