Oleh: Fahmiyah Tsaqofah Islamiy
Islam memiliki regulasi sempurna dalam memposisikan kedudukan seorang Perempuan. Studi ini telah lama dibicarakan oleh para pakar, analis, dan dosen keislaman. Atas dasar kaidah fiqih "Perempuan adalah kehormatan yang wajib dijaga", para khatib di mimbar-mimbar masjid juga turut serta memberikan kajian komprehensif mengenai kedudukan mulia seorang wanita didalam Islam kepada para jamaah.
Kedudukan mulia ini memang seharusnya diberikan kepada perempuan. Sebab, Islam memahami bahwa perempuan memiliki andil begitu hebat dalam mengoptimalisasi urusan rumah tangga, memegang kebijakan dapur, mendidik anak-anak dan penentu keberhasilan atau kegagalan mereka sebagai generasi gemilang di masa yang akan datang, serta menggerakkan opini Islam sebagai representasi dakwah Islam.
Bahkan, peran hebat ini juga disadari oleh para kapitalis. Mereka memahami betul bahwa perempuan dapat menjadi penggerak roda bisnis kapitalistik. Dengan mengandalkan kinerja perempuan yang lebih ulet, cerdas, mandiri, teliti, berpenampilan menarik, dan tidak terlalu menuntut dalam masalah profit, para kapitalis pebisnis menyumbang pembukaan lapangan kerja yang begitu lapang bagi para perempuan. Disaat yang bersamaan pun negara lalai dengan kewajibannya meregulasi tatanan sosial agar perempuan fokus pada fungsi utamanya dan alpa dalam menyediakan lapangan kerja bagi kaum lelaki.
Pada 18 April 2016, laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), melansir pernyataan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh yang meminta pemerintah untuk segera melakukan moratorium pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang memiliki balita ke luar negeri. Jika diasumsikan setiap TKI memiliki 2 anak, maka ada 11,2 juta anak kehilangan hak pengasuhan dan kasih sayang dari ibunya karena bekerja di luar negeri.
Melihat realita diatas, tak heran jika kita temukan berbagai fenomena pahit di masyarakat, sisi keibuan kaum perempuan diperas demi kepentingan para kapitalis. Hari ini, bisa kita lihat bagaimana degradasi moral remaja meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun para pengamat mengatakan faktor penyebabnya beragam, namun penyebab paling darurat yang sering terjadi adalah karena butir internal didalam keluarga telah mengalami peralihan fungsi. Selain itu, standart keislaman dan ketaatan terhadap syari'at yang seharusnya diterapkan oleh para wanita perlahan-lahan ditabrak melalui berbagai persyaratan yang harus dipenuhi perempuan dalam dunia kerja. Seperti bertabarruj, tidak berhijab syar'i, menanggalkan kewajiban meri'ayah anak-anak, melayani suami, dan mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya.
Secara sadar, slogan "Balance of Better" yang sengaja digaungkan para feminis merupakan kedok eksploitasi dan perbudakan terhadap perempuan. Asas kebebasan yang diopinikan kental dengan aroma sekular kapitalistik yang amat jauh dari kebebasan dalam frame Islam yang begitu memanusiakan manusia dan memuliakan para wanita.
Sesungguhnya, Islam memposisikan perempuan sebagai Ibu dan pengurus rumah tangga bukan untuk mengekang aktivitas mereka. Namun, merupakan cara memuliakan perempuan dengan sebaik-baiknya. Perempuan tidak diwajibkan bekerja agar fokus mencetak generasi menjadi khoiru ummah. Sebaliknya, kewajiban bekerja diserahkan kepada kaum lelaki sebab kekuatan laki-laki dua kali lebih besar dibanding perempuan.
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengeluarkan hadits berkenaan dengan kisah Sayyidina Ali dan Fathimah radhiyallahu 'anhuma, "Rasulullah telah memutuskan atas putri beliau, Fathimah, wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah dan atas Ali wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah." (Musnad Ibnu Abi Syaibah)
Catatan sejarah membuktikan, tatkala perempuan benar-benar melebur dengan fungsi utamanya, lahirlah orang-orang berilmu dan para cendekiawan berpengaruh di dunia. Kecerdasan mereka yang merupakan hasil didikan para perempuan di masa Islam memberikan pengaruh positif serius terhadap sumbangan keilmuan modern.
Disisi lain kiprah strategis perempuan sebagai penggerak opini Islam merupakan peran yang wajib difokuskan. Sebab menurut Fika Monika Komara, CEO Institut Muslimah Negarawan, kaum muslimah jelas berperan besar dalam menggerakkan opini, dikarenakan perempuan lebih memiliki nilai berita di mata media, sehingga kekuatan opini perempuan 10 kali dibanding lelaki
Tapi bukan berarti peran sebagai penggerak opini Islam selalu dikaitkan dengan aktivitas politik praktis ala demokrasi yang mewajibkan individu didalamnya terjun ke parlemen. Jauh dari itu, aktivitas menggerakkan opini ini semata-mata bertujuan sebagai aktivitas mengurusi urusan ummat, agar umat Muhammad SAW ini kembali memahami urgensi penegakan syari'ah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah sehingga kemuliaan umat ini terjaga kembali.
"Namun, hari ini ada krisis yang memengaruhi keharmonisan dan kesatuan pernikahan dan kehidupan keluarga di masyarakat-masyarakat di seluruh dunia, termasuk di dalam negeri-negeri Muslim. Impor budaya barat ke dunia Muslim, berikut kebebasan seksual liberal-nya yang merusak, gaya hidup individualistik yang hedonistik, cita-cita kapitalis materialistik, dan konsep-konsep feminis yang memecah belah seperti kesetaraan gender, melalui media seperti industri hiburan, sistem pendidikan, media sosial, dan organisasi-organisasi feminis. telah menggerogoti dan mengikis institusi pernikahan dan menyebabkan epidemi kerusakan keluarga. Situasi ini telah diperparah oleh adanya tradisi Arab, Asia, atau Afrika yang tidak Islami di dalam komunitas-komunitas Muslim kita yang mengemban pandangan-pandangan dan praktik-praktik berbahaya yang telah menyebabkan perselisihan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga" (dikutip dari Dr Nazreen Nawaz, Direktur Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H