“Hm... sebenarnya tetangga sebelah rumahku mau pindah bulan depan. Kalau kamu mau, ya di sana aja,” jawabku.
“Wah! Benar, Win? Kalo gitu, aku mau deh, mau! Dipanjarin dulu ya, ntar kuganti.”
Akhirnya aku meletakkan gagang telepon dengan helaan napas dalam. Cemburu. Siapa sih, yang tidak punya rasa cemburu? Aku juga sering mengalami hal itu, terlebih ketika suamiku bercerita tentang teman-teman perempuannya yang suka curhat ke dia. Apalagi suamiku tidak jauh berbeda sifatnya dengan suami Siska, orangnya ramah dan terbuka pada siapa saja.
Dalam hati aku selalu bertanya, kenapa perempuan-perempuan itu harus curhat ke suamiku? Kenapa tidak ke sesama perempuan saja? Okelah, mungkin sebagian orang merasa bahwa curhat pada lawan jenis itu lebih asyik dan meyakinkan. Tapi kenapa harus pada mereka yang sudah berkeluarga? Kenapa tidak pada mereka yang masih lajang? Apakah karena mereka pikir orang yang sudah menikah itu memiliki pandangan yang lebih dewasa dan mampu memberi solusi? Entahlah. Tapi seingatku, sejak dulu aku tak pernah tertarik curhat-curhatan pada lawan jenis, apalagi pada lelaki yang sudah menikah. Tabu, begitu kata ibuku.
Namun, cemburu yang berlebihan hingga harus pindah-pindah rumah seperti Siska? Kurasa aku belum separah itu. Setidaknya aku selalu berpikir bahwa suamiku masih cukup bisa dipercaya, masih bisa menjaga perasaanku sebagai istrinya dan masih tahu mana yang harus jadi prioritas dalam hidupnya. Ya, sampai detik ini aku masih percaya.
@@@
“Win,” Siska duduk di hadapanku dengan wajah berkabut. Genap sudah sebulan ia jadi tetanggaku dan setahuku ia terlihat baik-baik saja. Jadi, apalagi yang membuat wajah cantiknya terlihat muram?
“Apakah... wanita yang sedang hamil itu terlihat begitu menarik di mata lelaki?” tanya Siska sambil menatapku.
“Hm, gimana, ya? Mungkin aja sih, terlebih bagi suaminya sendiri yang tentu begitu bangga dan mengharapkan kehadiran anak mereka,” jawabku sekenanya. “Memangnya kenapa, Sis? Kamu ingin hamil?”
“Bukan begitu. Aku... aku tidak tahu apakah aku pantas marah padamu, atau kamukah yang lebih pantas marah padaku.”
“Maksudmu apa sih, Sis? Aku bingung, nih!”