“Lho? Justru karena dia tidak tahu namaku, Jo, makanya aku menganggap ini sebagai firasat bahwa umurku sudah dekat! Masa nama yang tertulis di sana sangat persis dengan namaku. Larto bin Kusno! Aneh tho? Coba, dari mana dia tahu nama mbah-mu yang sudah lama meninggal itu?” Larto mengerutkan keningnya.
“Seperti yang saya bilang tadi, itu hanya kebetulan, Pak. Tidak usah dipikirkan. Apalagi sampai membuat Bapak gelisah dan merasa disindir oleh batu nisan itu. Bahkan Bapak sampai membenci pemilik kios itu, yang jelas-jelas tidak bersalah. Pak, yang namanya kematian itu, hanya Gusti Allah yang tahu!” tegas Bejo meyakinkan.
“Lha iyo, tapi…”
“Sudahlah, Pak. Itu cuma kebetulan. Dan tidak akan terjadi apa-apa sama Bapak. Justru kalau Bapak terus memikirkannya, maka Bapak akan tertekan sendiri dan akhirnya malah sakit. Nah, itu baru namanya mendekati kematian!”
Larto tampak terdiam. Namun perlahan wajahnya mulai terlihat lega. “Jadi… aku ndak usah percaya tho, Jo?”
Bejo mengangguk mantap. “Betul! Sekarang lebih baik Bapak istirahat di kamar, sudah malam.”
Larto mengangguk pelan. Dalam hati ia bersyukur, akhirnya beban batin yang ia rasakan belakangan ini mulai berkurang. Dan ia berharap tidurnya bisa nyenyak malam ini.
***
“Jo! Bejo!” sambut Larto tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menunggu Bejo di teras rumah petakan mereka.
“Ada apa, Pak?” Bejo menatap bapaknya heran. Wajah lelaki tua itu tampak cerah, berbeda sekali dengan beberapa hari yang lalu. Dalam hati Bejo bersyukur, bapaknya sudah kembali seperti semula.
“Bapak punya sebuah kabar untukmu, Jo!” Larto mendahului langkah Bejo masuk ke dalam.