***
“Bapak mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Bejo yang sedang bersiap-siap hendak berangkat kerja. Seragam satpamnya sudah terpasang rapi. Ia memang bekerja sebagai satpam di sebuah mal.
“Memangnya kenapa? Apakah aku harus selalu melaporkan kemana saja aku mau pergi? Apakah kamu harus tahu semua yang kulakukan?!” Jawaban Larto yang agak bernada marah itu membuat Bejo tertegun. Firasatnya mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang serius dengan bapaknya. Tapi entah apa.
“Maksud saya, jika Bapak pergi, jangan lupa membawa kunci cadangan. Nanti kalau Bapak pulang sementara saya sudah berangkat kerja, bagaimana? Bapak kan tidak bisa masuk,” jelas Bejo sabar.
“Memangnya kamu sudah mau berangkat?”
“Wong saya sudah pakai seragam begini, masa masih mau main-main dulu tho, Pak?” jawab Bejo dengan alis naik.
“Ya, sudah. Coba kamu ambilkan kunci cadangan itu biar kubawa!” perintah Larto kemudian, masih dengan nada agak ketus. Bejo tersenyum tipis sambil mengambilkan kunci cadangan di laci lemari dan menyerahkan pada bapaknya yang menunggu di teras rumah petakan mereka.
“Jangan jauh-jauh ya, Pak, nanti kesasar. Kalau nyeberang jalan, hati-hati. Kendaraan di jalan depan itu sangat ramai dan mereka suka ngebut nggak karuan,” pesan Bejo penuh perhatian.
“Bicaramu seperti aku sudah pikun saja, Jo!” sahut Larto tampak tersinggung, dan tanpa bicara lagi segera ditinggalkannya Bejo yang terpana, semakin tak mengerti keadaan bapaknya. Tidak biasanya beliau seperti ini. Sangat sensitif. Setidaknya ia tak pernah pergi tanpa pamit, dan tak pernah membentaknya hanya karena omongan yang biasa seperti itu. Ah, Bejo jadi tak habis pikir.
***
Larto melangkah pelan di sepanjang Jalan Suropati yang lumayan ramai. Matanya mengawasi deretan kios-kios di sepanjang jalan tersebut. Dan ketika ia semakin yakin bahwa tempat yang ditujunya sudah dekat, langkahnya malah semakin pelan. Dadanya mulai berdebar tak karuan, hingga napasnya jadi terasa sesak sendiri.