“Gak hoki itu kalau awalnya sudah seperti itu!” Pak Direktur menutup pertemuan dan menyuruhku kembali ke ruanganku.
Ya Tuhan, atasanku dan atasan Bu Tiwi sama ternyata. Dengan berat hati aku pun menelepon Bu Tiwi menyampaikan keputusan atasanku.
“Tuh kan, apa yang aku khawatirkan terjadi lagi,” sahut Bu Tiwi di seberang sana. Suaranya lesu.
“Maaf ya, Bu,” kataku dengan hati berat.
“Tapi, apa betul kamu kemaren melihat bayangan di dalam lift itu?” Bu Tiwi seakan ingin memastikan.
“Iya, Bu. Sungguh! Kalau enggak buat apa aku lari dari lantai 7 ke lantai 1 tanpa berhenti sama sekali,” jawabku bergidik. Aku pun menceritakan sosok yang kulihat itu secara panjang lebar.
Bu Tiwi terdengar ketawa kecil, "Hantu kupluk dalam lift koplak dong."
Aku pun tertawa meski masih ngeri membayangkan sosok itu. “Tapi aku tetap kecewa kerjasama ini tak jadi berlanjut setelah kita membuat konsep yang begitu bagus, Bu. Tak perlu dihubungkan dengan kejadian dalam lift itu.”
“Ya, aku juga menyesalkan keputusan itu. Padahal kalau kamu bersabar sebentar menunggu lift itu terbuka di lantai 1 pasti semua akan baik-baik saja. Tombol di lift itu memang error sistemnya. Tidak boleh dipencet berkali-kali.”
“Ya itulah, Bu, aku sudah panik dan ingin buru-buru. Tapi bayangan itu benar-benar ada, Bu. Aku bahkan mendengar suara napasnya.”
“Okelah, Aku percaya sama kamu, Vi. Simpan saja cerita itu untuk kamu. Kami juga mungkin akan segera pindah. Gagalnya kerjasama dengan perusahaanmu adalah bukti terakhir yang akan jadi alasan atasanku untuk secepatnya pindah.”