“Tuh, kamu jadi penasaran kan?” Bu Tiwi tersenyum lebar.
“Hehe, iya, Bu. Kok bisa sih?”
“Jujur saja aku sebenarnya khawatir kerjasama kita pun batal setelah kamu datang ke kantor ini. Tapi aku tidak begitu percaya bahwa sebuah tempat memiliki hoki-hoki seperti kata orang. Masalahnya, Bos kami sangat percaya itu makanya dia ingin segera memindahkan kantor kami meski kontraknya masih setahun lagi,” jelas Bu Tiwi.
“Gedung ini hokinya jelek, begitu kan maksudnya?” tanyaku memastikan.
“Katanya sih begitu. Tapi aku masih belum percaya. Makanya aku memintamu untuk datang kesini, aku ingin membuktikannya sekali lagi. Jika kontrak kerjasama kita memang gagal, berarti aku harus percaya pada hoki-hokian,” Bu Tiwi menggidikkan bahu.
Aku mendekat, duduk di kursi yang persis di samping Bu Tiwi.
“Tapi…gedung ini nggak ada hantunya kan, Bu?” tanyaku agak berbisik.
Bu Tiwi tersenyum, kali ini agak jengah.
“Novi, aku percaya makhluk halus itu pasti ada. Tapi aku tidak percaya mereka bisa mendatangkan kerugian, keburukan apalagi kesialan pada kita. Kita ini manusia yang dianugerahi otak dan hati yang melebihi makhluk lain. Kenapa harus takut dan percaya sih?”
Aku menarik napas terdiam. Bu Tiwi belum menjawab pertanyaanku.
“Aku lebih takut jika lift rusak dan terkurung di dalamnya dibanding bertemu makhluk halus di gedung ini,” tambah Bu Tiwi lagi sambil tertawa kecil.