Aku tersenyum kecil, “Memangnya ada yang pernah terkurung dalam lift itu, Bu?”
“Tidak, hanya saja kadang mereka salah memencet tombolnya sehingga lift yang seharusnya turun jadi balik naik lagi atau berhenti mendadak. Tapi itu nggak lama, biasanya lift itu akan normal lagi. Jadi sama sekali belum pernah ada yang celaka dalam lift itu,” jelas Bu Tiwi lagi.
Aku kembali menarik napas, kali ini agak panjang.
“Sudahlah, jangan membahas hal-hal yang tidak bisa dinalarkan pakai logika. Kerjaan kita masih banyak ini, kita lanjut lagi ya,” Bu Tiwi menyudahi obrolan kami yang melebar kesana-kemari.
Aku tersenyum mengangguk. Ya, pekerjaan kami memang masih lumayan banyak yang harus diselesaikan agar kerjasama antar perusahaan ini bisa berjalan baik. Merumuskan beberapa strategi pemasaran hingga penanggulangan resiko kerugian.
Tak terasa matahari sudah tenggelam, otak dan badan pun mulai lelah minta diistirahatkan. Aku menelepon supir kantor untuk menjemput. Saat pamit dengan Bu Tiwi, beliau tersenyum sambil berpesan, “Jangan pikirkan apa yang tadi kita bicarakan soal gedung ini ya, anggap saja itu hanya intermezzo. Aku antar kamu sampai depan lift aja ya, Vi, aman kok, sampai di bawah sudah ada security menyambut.”
Aku mengangguk tersenyum. Ya, otak dan badan yang penat memang membuatku tak ingin memikirkan hal-hal semacam itu. Di gedung ini banyak orang yang mondar-mandir, security pun ada, kenapa harus takut?
Bu Tiwi mengantarku menuju lift sebelah Timur, lift yang tadi siang kami naiki.
“Lift yang itu rusak, Bu. Listriknya bermasalah kata bagian teknisi. Ibu naik lift yang di Barat aja,” ujar seorang karyawan yang melintas di dekat kami.
“Bukannya lift itu yang suka rusak?” Bu Tiwi terlihat kesal. “Maaf ya, Vi, atas kondisi yang nggak nyaman ini.”
“Enggak apa-apa kok, Bu,” jawabku cepat.