Dunia pendidikan sedang tidak baik baik saja.
Setelah viral banyak murid SMP tidak bisa membaca. Kini kita dihebohkan dengan video seorang guru yang sedang memberikan ice breaking melalui soal pembagian sederhana.
Dalam video yang beredar menunjukkan banyak murid yang paham dan tidak bisa menjawab soal mengenai konsep dasar ini.
Bagi sebagian dari mereka, membagi bilangan sudah menjadi momok tersendiri. Mungkin terdengar tidak masuk akal. Bagaimana bisa murid SMA masih kesulitan dengan pembagian?
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus murid SMA yang masih kesulitan dengan dasar-dasar numerasi semakin banyak terdengar.
Contoh ini bukan sekadar anekdot; beberapa guru bahkan sering kali menemukan murid yang harus berpikir keras untuk menghitung 100 dibagi 4 tanpa kalkulator. Padahal, kemampuan pembagian adalah fondasi yang harusnya dikuasai sejak SD.
Data yang dihimpun dari beberapa survei menunjukkan bahwa kemampuan literasi numerasi murid di Indonesia memang masih berada di bawah standar internasional.
Hasil PISA (Program for International Student Assessment), misalnya, menunjukkan bahwa kemampuan literasi numerasi murid Indonesia berada pada level yang cukup rendah dibanding negara-negara lain.
Salah satu alasannya adalah karena murid sering kali tidak mendapatkan pemahaman konsep yang mendalam. Banyak murid yang akhirnya mengandalkan rumus atau kalkulator tanpa benar-benar memahami konsep di baliknya.Â
Sederhananya, mereka tahu "cara" mengerjakan soal tetapi tidak "mengerti" mengapa cara itu digunakan.
Misalnya, ketika diberikan soal pembagian yang sedikit berbeda dari biasanya, murid sering kali bingung. Contoh ini memperlihatkan bahwa konsep dasar, seperti pembagian, kadang hanya dihafal tanpa benar-benar dipahami.
Selain itu, era digital yang berkembang pesat ternyata juga turut mempengaruhi pola belajar generasi Z. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan teknologi, murid lebih cenderung mencari solusi instan ketimbang berusaha memahami proses.
Bahkan, menurut sebuah studi, semakin banyak murid yang menganggap kalkulator sebagai "penyelamat" ketimbang alat bantu belajar. Maka, tak heran jika saat dihadapkan pada soal sederhana tanpa kalkulator, banyak yang kebingungan.
Menghadapi fenomena ini, guru tentunya mempunyai peran penting. Namun, menjadi guru di era digital ini mempunyai tantangan tersendiri.
Guru tidak hanya dituntut untuk menguasai materi, tetapi juga mampu mengemas pembelajaran yang menarik agar murid tetap fokus.
Misalnya, guru dapat menggunakan metode problem based learning atau game based learning untuk menstimulasi rasa ingin tahu murid. Metode seperti ini memungkinkan murid untuk belajar dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Misalnya, guru bisa memberi contoh soal pembagian dalam konteks membagi uang jajan atau membagi makanan dalam kelompok. Dengan pendekatan seperti ini, murid akan lebih mudah memahami konsep pembagian karena mereka melihat aplikasinya dalam kehidupan nyata.
Orang tua juga bisa berperan dalam mendukung literasi numerasi anak. Sering kali, kita menganggap bahwa pendidikan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, padahal pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Mulailah dari hal-hal kecil; ajak anak untuk membantu menghitung belanjaan di supermarket, atau diskusikan bagaimana membagi waktu untuk belajar, bermain, dan beristirahat.
Sebagai orang tua, mengarahkan anak untuk melihat numerasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari adalah langkah sederhana namun berdampak besar.
Dukungan ini akan memperkuat pondasi mereka, terutama dalam kemampuan pembagian dan matematika dasar lainnya.
Kelemahan dalam literasi numerasi harus segera diatasi. Jika kita terus mengabaikan masalah ini, akan sulit bagi generasi mendatang untuk bersaing dalam dunia yang semakin kompetitif.
Bukan hanya di bidang akademik, literasi numerasi juga sangat diperlukan di berbagai aspek kehidupan. Mulai dari memahami laporan keuangan, menyusun anggaran rumah tangga, hingga mengambil keputusan penting lainnya.
Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam. Namun, dengan sinergi antara guru, sekolah, orang tua, dan murid itu sendiri, kita bisa mulai mengubah keadaan.
Mulai dari hal-hal sederhana, seperti memahami konsep dasar pembagian, hingga kemampuan numerasi yang lebih kompleks, semua dimulai dari satu langkah kecil.
Menumbuhkan rasa cinta pada matematika mungkin terdengar klise, tapi inilah kuncinya.
Jika murid mulai melihat matematika bukan sebagai momok, melainkan sebagai tantangan yang menyenangkan, masalah literasi numerasi yang rendah akan bisa teratasi.
Mulailah dengan langkah sederhana, seperti menghadirkan suasana belajar yang lebih menyenangkan di kelas. Dengan begitu, pembagian tak lagi menjadi soal yang sulit, tetapi menjadi sesuatu yang mudah dan menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H