Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Membunuh Rindu-rindu

26 Januari 2025   08:51 Diperbarui: 26 Januari 2025   12:28 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pexels.com 

Aku meraba ke sampingku, menepuk-nepuk ranjang mencari keberadaan suamiku. Tapi, ke mana dia, kenapa dia tidak ada? Harusnya dia masih tidur di sampingku.

Rasa takut akan kehilangan dirinya telah memuncak di dadaku, hingga aku pun membuka kedua mata dan menoleh ke samping.

Kuhela nafas dan tertunduk diam, setelah semua kesadaranku terkumpul penuh. Aku baru ingat, kalau aku belum menikah. Lantas mengapa rasa memiliki ini begitu kuat? Seolah aku benar-benar sudah memilikinya.

Dalam sekejap terlintas wajah Bastian dalam ingatanku. Kuhirup dalam-dalam udara di sekelilingku, mencoba menemukan aroma tubuhnya yang masih sangat jelas kuingat hingga detik ini.

Namun, aku hanya dapat mengernyitkan dahi, menekan air mata yang tertahan agar lekas luruh sepenuhnya di pipiku. Apa hidupku sudah terlalu konyol, sampai aku masih saja berharap akan kehadirannya yang nyata di sisiku?

***
Sekitar empat belas tahun yang lalu, waktu itu Bastian membawaku kepada orang tuanya. Kami dipertemukan di sebuah restoran untuk menikmati momen makan malam bersama.

Meski sedikit canggung, tapi aku berhasil mengatasi perasaan itu dan melangkah ringan di samping Bastian, menghampiri keberadaan orang tuanya yang sudah menunggu lebih dulu di meja makan.

Tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, bahwa sejak malam itu hubunganku semakin dekat dengan orang tuanya. Setiap kali bersama mereka, aku seperti menemukan keluarga baru, dan kehangatan yang utuh, yang telah lama kurindukan.

Namun, aku memang paling dekat dengan Pak Hendro, papa Bastian. Sosok pria enam puluh tahun itu selalu menerima kedatanganku dengan wajah ceria dan penuh antusias.

Beliau senang berbincang tentang banyak hal denganku. Bahkan ternyata, kami punya selera minum kopi yang sama. Kami sama-sama menyukai kopi hitam yang dicampur dengan bubuk krimer, tanpa gula, dan diseduh dengan temperatur 96 derajat celcius. Entah mengapa kami bisa sekompak itu.

***
"Lira! Sudah jam berapa ini.. Kamu dandan di sini saja. Cepat ke sini ya!" terdengar nyaring suara mamaku dari kejauhan sana. Telepon pun terputus setelah beliau mendengar jawaban singkat dariku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun