Dita menyimpan sebuah rahasia, tentang hubungan kasihnya dengan salah satu mahasiswanya yang bernama Bimo.
Hari itu di salah satu ruangan kampus, Bimo menunggu, menatap layar ponselnya dengan cemas. Tak lama, Dita datang menghampiri.
"Ada apa, Bim? Kelihatannya muka kamu serius banget."
"Mama aku sudah tau soal hubungan kita."
Kekhawatiran pun terpancar di wajah Dita, "Mama kamu bilang apa?"
"Mama ngga setuju. Mama bilang hubungan kita ngga pantas. Papa juga bilang, kalau aku harus putusin kamu, atau.. aku harus keluar dari rumah."
Dita sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tetap saja rasa sakitnya tak bisa dihindari. Dia tahu hubungan ini akan dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Meski mereka berdua sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri.
"Aku ngerti, Bim. Aku juga ngga mau nyusahin kamu, mungkin lebih baik kita...."
Bimo memotong, "Ngga, Ta! Aku sayang kamu. Aku ngga peduli dengan anggapan mereka."
"Aku tau, dan aku juga sayang sama kamu. Tapi semua itu ngga cukup, Bim. Keluarga kamu jauh lebih penting, dan aku ngga mau menjadi alasan atas rusaknya hubungan kalian."
"Aku akan perjuangin hubungan kita. Aku tau kita harus jaga hubungan ini diam-diam di kampus, tapi di luar.. aku ngga mau sembunyiin hubungan kita."
"Tapi Bim, mereka anggap aku terlalu tua untuk kamu. Meskipun kita ngga melanggar aturan kampus, tapi akan ada banyak orang yang berprasangka buruk ke kita."
"Aku ngga peduli. Mereka cuma khawatir karena perbedaan usia kita dan posisi kamu. Aku bisa meyakinkan mereka kalau itu bukan masalah."
Beberapa hari kemudian, Bimo memutuskan untuk kembali berbicara dengan keluarganya, ia telah siap untuk mengutarakan segala keinginannya.
"Aku tau Papa Mama khawatir, aku ngerti. Tapi Dita itu orang yang baik, dan kami saling suka. Perbedaan usia bukan masalah buat kami."
"Tapi Bimo, dia sudah mapan, dan kamu masih kuliah. Kami cuma takut kalau nanti....."
"Ngga ada yang harus ditakutin, Ma. Dita yang kasih semangat aku untuk lebih fokus kuliah. Supaya aku bisa lulus tepat waktu. Percaya sama aku, Ma.."
Terdengar Papanya menghela nafas, "Kami mau yang terbaik buat kamu, Bim. Kami ngga ingin kalau kamu sampai tersakiti."
"Aku sudah pikirin semuanya, Pa. Aku tau risikonya. Aku harap Papa Mama bisa kasih aku kesempatan untuk buktiin semua omongan aku."
Pada akhirnya kedua orangtua Bimo melunak. Mereka tidak sepenuhnya setuju, tapi setidaknya mereka tidak lagi memaksa Bimo untuk meninggalkan Dita.
Tahun-tahun berlalu, Bimo telah lulus dan mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga keuangan di sebuah perusahaan. Bimo pun yakin untuk melangkah lebih jauh, menikahi Dita. Perlahan namun pasti, kehidupan pernikahan mereka tampak berjalan baik-baik saja.
Sampai di usia pernikahan mereka yang ke lima tahun, keduanya telah dikaruniai seorang putri yang kini berusia tiga tahun. Selain masih mengajar, Dita justru semakin sibuk dengan hobinya membuat kue, dan kerap kebanjiran order lewat online.
Malam itu Dita duduk di ruang tamu, menunggu Bimo pulang kerja. Sudah jam sepuluh malam, namun Bimo belum memberi kabar. Suara kunci pintu yang berputar akhirnya memecah keheningan.
"Kamu lembur lagi, Bim? Ada masalah di kantor?"
"Ngga ada masalah, cuma ada rapat mendadak."
Dita mengangguk, meskipun hatinya merasakan keraguan. Semakin hari, Bimo makin sering pulang larut, dan Dita merasa jarak di antara mereka kian membesar.
Beberapa minggu kemudian, jarak di antara mereka semakin terasa. Bimo semakin jarang ada di rumah, sementara Dita berusaha tetap menjaga hubungan mereka dengan perhatian kecil yang tampaknya tidak dihargai lagi. Hingga suatu hari, Dita menemukan sesuatu.
Dita menyodorkan ponsel Bimo dengan pesan-pesan yang terbuka di layar. Sekejap raut wajah Bimo pucat. "Aku bisa jelasin ini, Ta."
"Ini apa? Siapa Citra?"
"Dia teman di kantor. Aku ngga ada maksud lain, Ta."
"Kita sudah lama nikah, Bimo. Kenapa isi pesannya terdengar ngga wajar bagi aku?"
Dalam hati Bimo sadar bahwa perasaannya kepada Citra mulai tumbuh, lebih dari sekedar rekan kerja.
Namun, satu hal yang Bimo tak bisa jujur dan menjelaskan kepada Dita ialah bahwa selama ini ia merasa harga dirinya terinjak sebagai seorang suami. Sejak penghasilan Dita jauh lebih besar daripada penghasilannya. Sementara dirinya yang sudah bekerja selama bertahun-tahun, pendapatannya hanya segitu-gitu saja. Bimo memang mengakui kekurangannya yang tak pandai mencari uang tambahan.
Selama beberapa bulan ini, Bimo masih berusaha memperbaiki rumah tangganya. Namun, Dita justru merasa bahwa dirinya semakin tidak mengenali Bimo lagi.
Hingga di suatu malam, mereka pun bertengkar hebat, dan Dita memutuskan untuk mengakhiri semuanya. "Aku sudah ngga tau lagi gimana caranya mempertahankan ini, Bim. Aku lelah."
"Aku minta maaf, Ta. Aku benar-benar ngga pernah bermaksud begitu."
Malam itu mereka sepakat untuk berpisah. Cinta yang dulu begitu kuat kini terasa seperti kenangan yang jauh dan hampa.
Setelah perpisahan yang menyakitkan itu, Dita kembali fokus pada kehidupannya bersama sang putri. Ia hanya perlu berusaha untuk menemukan kedamaian di hatinya. Sedangkan Bimo, ia memilih untuk mulai menjalani kisah cintanya yang baru bersama Citra.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H