Malam itu Dita duduk di ruang tamu, menunggu Bimo pulang kerja. Sudah jam sepuluh malam, namun Bimo belum memberi kabar. Suara kunci pintu yang berputar akhirnya memecah keheningan.
"Kamu lembur lagi, Bim? Ada masalah di kantor?"
"Ngga ada masalah, cuma ada rapat mendadak."
Dita mengangguk, meskipun hatinya merasakan keraguan. Semakin hari, Bimo makin sering pulang larut, dan Dita merasa jarak di antara mereka kian membesar.
Beberapa minggu kemudian, jarak di antara mereka semakin terasa. Bimo semakin jarang ada di rumah, sementara Dita berusaha tetap menjaga hubungan mereka dengan perhatian kecil yang tampaknya tidak dihargai lagi. Hingga suatu hari, Dita menemukan sesuatu.
Dita menyodorkan ponsel Bimo dengan pesan-pesan yang terbuka di layar. Sekejap raut wajah Bimo pucat. "Aku bisa jelasin ini, Ta."
"Ini apa? Siapa Citra?"
"Dia teman di kantor. Aku ngga ada maksud lain, Ta."
"Kita sudah lama nikah, Bimo. Kenapa isi pesannya terdengar ngga wajar bagi aku?"
Dalam hati Bimo sadar bahwa perasaannya kepada Citra mulai tumbuh, lebih dari sekedar rekan kerja.
Namun, satu hal yang Bimo tak bisa jujur dan menjelaskan kepada Dita ialah bahwa selama ini ia merasa harga dirinya terinjak sebagai seorang suami. Sejak penghasilan Dita jauh lebih besar daripada penghasilannya. Sementara dirinya yang sudah bekerja selama bertahun-tahun, pendapatannya hanya segitu-gitu saja. Bimo memang mengakui kekurangannya yang tak pandai mencari uang tambahan.