"Tapi Bim, mereka anggap aku terlalu tua untuk kamu. Meskipun kita ngga melanggar aturan kampus, tapi akan ada banyak orang yang berprasangka buruk ke kita."
"Aku ngga peduli. Mereka cuma khawatir karena perbedaan usia kita dan posisi kamu. Aku bisa meyakinkan mereka kalau itu bukan masalah."
Beberapa hari kemudian, Bimo memutuskan untuk kembali berbicara dengan keluarganya, ia telah siap untuk mengutarakan segala keinginannya.
"Aku tau Papa Mama khawatir, aku ngerti. Tapi Dita itu orang yang baik, dan kami saling suka. Perbedaan usia bukan masalah buat kami."
"Tapi Bimo, dia sudah mapan, dan kamu masih kuliah. Kami cuma takut kalau nanti....."
"Ngga ada yang harus ditakutin, Ma. Dita yang kasih semangat aku untuk lebih fokus kuliah. Supaya aku bisa lulus tepat waktu. Percaya sama aku, Ma.."
Terdengar Papanya menghela nafas, "Kami mau yang terbaik buat kamu, Bim. Kami ngga ingin kalau kamu sampai tersakiti."
"Aku sudah pikirin semuanya, Pa. Aku tau risikonya. Aku harap Papa Mama bisa kasih aku kesempatan untuk buktiin semua omongan aku."
Pada akhirnya kedua orangtua Bimo melunak. Mereka tidak sepenuhnya setuju, tapi setidaknya mereka tidak lagi memaksa Bimo untuk meninggalkan Dita.
Tahun-tahun berlalu, Bimo telah lulus dan mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga keuangan di sebuah perusahaan. Bimo pun yakin untuk melangkah lebih jauh, menikahi Dita. Perlahan namun pasti, kehidupan pernikahan mereka tampak berjalan baik-baik saja.
Sampai di usia pernikahan mereka yang ke lima tahun, keduanya telah dikaruniai seorang putri yang kini berusia tiga tahun. Selain masih mengajar, Dita justru semakin sibuk dengan hobinya membuat kue, dan kerap kebanjiran order lewat online.