Nina mengerjapkan mata di bawah sinar mentari yang menyusup melalui tirai jendela kamarnya. Di ponselnya ada dua pesan yang baru ia terima, satu dari Alan dan satu dari Mahdi.
Hatinya berdebar saat membaca pesan mereka. Dua lelaki dengan dunia berbeda, tapi entah bagaimana ceritanya sampai Nina bisa jatuh cinta pada keduanya.
Alan adalah duda satu anak, yang selalu mampu membuat Nina merasa nyaman dan tenang. Kehidupan Alan yang sederhana justru memberikan kehangatan tersendiri.
Sementara Mahdi adalah lelaki sukses dan kaya raya, menawarkan kemewahan serta kebahagiaan. Nina tahu, pada akhirnya ia harus memilih, tapi setiap kali ia mencoba memutuskan, hatinya kembali terombang-ambing.
Pagi itu Nina berjanji untuk bertemu dengan Alan di sebuah kafe. Ia memilih mengenakan pakaian sederhana namun tetap cantik, mencoba mencocokkan dirinya dengan Alan yang jauh dari kemewahan. Saat ia tiba, Alan sudah duduk di sudut kafe, menyesap kopi latte-nya.
"Maaf ya, jadi nungguin aku," ucap Nina tersenyum.
Alan hanya tertawa kecil, mengibaskan tangannya. "Ah, ngga masalah kok. Lagi pula aku suka kafe ini."
Nina duduk di depan Alan, mereka mulai berbincang tentang banyak hal. Obrolan mereka selalu mengalir alami, tidak ada topeng yang dipakai saat mereka bersama. Dan ketika Alan bercerita tentang putrinya, Nina bisa melihat sinar terpancar di mata lelaki itu.
"Namanya Alika, dia cerdas dan selalu ceria. Minggu depan dia bakal tampil di pentas tari sekolahnya."
"Kamu pasti bangga ya, Lan." Nina tersenyum.Â
"Jelas dong! Aku selalu berusaha jadi ayah yang baik buat dia. Walau kadang kala rasanya cukup sulit."
Dalam hatinya Nina merasakan kehangatan yang berbeda. Tapi di saat yang sama, ia sadar perasaannya terhadap Mahdi juga tak bisa diabaikan.
Hari berikutnya, Nina bertemu Mahdi di sebuah restoran mewah di pusat kota. Mahdi selalu tampak sempurna dengan penampilannya yang rapi, dan cara bicara yang tenang. Namun, Nina merasa ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka.
"Ada kabar baik untuk kamu. Aku baru saja tanda tangan untuk kontrak besar. Dengan itu, aku bisa ajak kamu keliling dunia. Tapi, itupun kalau kamu mau."
Nina tersenyum mendengar hal itu, meski dalam hati ia tak sepenuhnya bahagia. "Wah, selamat ya Di.."
"Dan hasil proyek ini bisa jadi bagian dari masa depan kita," lanjut Mahdi percaya diri. "Kamu tau kan kalau aku serius? Aku mau kamu selalu ada di samping aku."
Nina terdiam, ucapan Mahdi selalu terdengar indah dan menjanjikan. Sementara Nina mulai mempertanyakan, apakah hidup yang dipenuhi kemewahan itu benar-benar hidup yang ia inginkan?
Malam itu, Nina merenung di balkon kamarnya, melihat langit malam yang penuh bintang. Pikirannya melayang kepada dua lelaki itu.
"Apa yang sebenarnya lo cari, Na?!"Â tanya Nina pada dirinya sendiri. Ia tahu, Mahdi adalah tipe lelaki yang menjadi impian banyak wanita. Tapi Alan, ada sesuatu yang membuat Nina tak bisa mengalihkan pikirannya dari lelaki itu.
"Na, besok Alika mau tampil. Kalau kamu ngga sibuk, aku mau ajak kamu ke sana. Pasti Alika senang kalau kamu datang."
Nina tersenyum membaca pesan itu. Meski sederhana, ajakan Alan selalu mengandung kehangatan yang tak pernah ia temukan dalam pesan-pesan Mahdi.
Keesokan harinya, Nina tiba di sekolah Alika. Ketika ia masuk ke aula, ia melihat Alan duduk di barisan depan, memandang panggung dengan penuh antusias. Nina pun duduk di sampingnya, menyaksikan Alika yang akhirnya muncul di panggung, menari dengan indah dalam balutan kostumnya.
Nina merasakan sesuatu yang lain dalam hatinya. Ketika Alika selesai tampil, Alan bertepuk tangan dengan penuh kebanggaan. Wajahnya berseri saat putrinya mendekat dan memeluknya.
"Papa bangga sama kamu, Lika!" ucap Alan mengusap kepala putrinya.
Alika juga berlari ke arah Nina dan tersenyum malu. "Tante Nina, makasih ya sudah datang."
Nina mengangguk dan memeluk gadis kecil itu. Dalam momen itu, Nina merasakan sebuah kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, kebahagiaan bukan hanya soal kemewahan atau ambisi besar. Kebahagiaan juga datang dari hal-hal kecil yang tulus dan penuh kasih.
Setelah acara selesai, mereka berjalan keluar bersama. "Na, aku benar-benar serius sama hubungan kita. Aku sayang kamu, Na. Dan aku mau.. kamu jadi bagian dari hidup aku. Bagian dari hidup Alika juga."
Saat itu Nina menyadari hatinya sudah menemukan jawaban. Bukan kemewahan atau janji-janji manis yang ia cari, melainkan kehangatan yang hanya bisa ia temukan bersama Alan.
"Aku.. aku mau jadi bagian dari hidup kamu dan Alika."
Nina yakin ia telah membuat pilihan yang tepat. Hidup bersama Alan mungkin bukan hal yang mudah, tapi Nina yakin ia dapat melaluinya.
Dan di sisi lain, Nina masih harus merangkai kata yang tepat dan sikap yang tegas untuk mulai menjauh dari Mahdi, meski Nina juga harus berusaha sekuat hatinya melupakan cintanya pada Mahdi. Nina tak ingin lelaki itu menaruh harapan lagi padanya, dan sungguh Nina sama sekali tak berniat melukai perasaan Mahdi.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H