Kini Raya telah duduk di sampingnya. "Tapi kamu ngga sendirian, Yas. Ada aku di dekat kamu."
"Bahkan aku ngga bisa melihat lagi, Raya."
Dengan tatapan yang begitu dalam, Raya memandang wajah teduh Dias. "Bagi aku, kamu tetap sama. Orang yang baik, yang penuh semangat, yang selalu bisa bikin orang-orang suka sama kamu. Keadaan kamu ini, ngga akan pernah merubah semua itu."
"Tapi aku pernah nyakitin kamu, Ray. Kenapa kamu masih mau datang ke sini?"
"Karena.. cinta yang tulus ngga pernah meminta balasan. Aku sayang sama kamu bukan karena siapa kamu, tapi karena hati kamu. Dan meskipun dulu kamu sakitin aku, perasaan aku ngga pernah hilang."
Mendengar kata-kata Raya, Dias begitu terharu hingga air mata terlihat di sudut matanya. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Dias merasa ada yang peduli terhadap dirinya dengan tulus. Bukan karena penampilannya, bukan karena statusnya, tapi karena dirinya yang sebenarnya.
"Maafin aku, Raya! Hatiku sudah buta selama ini. Dan mungkin karena itu, sekarang penglihatanku benar-benar diambil."
Sekejap air mata Raya menetes. "Aku ngga butuh maaf kamu, Yas. Aku mau kamu tau bahwa ada orang yang cinta sama kamu, tanpa syarat apapun. Dan kalau kamu izinkan, aku akan ada di sini untuk kamu."
"Aku ngga tau gimana caranya membalas kebaikan kamu, Ray."
"Kamu ngga perlu membalas apapun, Yas. Cukup biarin aku ada di sini untuk kamu."
Sejak saat itu, hari-hari Dias berubah. Bersama Raya, ia mulai menerima dirinya yang baru. Raya tidak hanya mencintainya, tapi juga membantunya bangkit kembali.