Di sebuah rumah bergaya tempo dulu, dengan halamannya yang luas, hiduplah seorang nenek bernama Sarah. Walaupun usianya telah menginjak delapan puluh tahun, matanya masih bersinar cerah dan senyumnya selalu terasa hangat.
Di ruang tamunya, Sarah duduk di kursi goyang sambil memandangi hujan yang turun dengan lembut di luar jendela. Seketika Mira, sang cucu yang berusia dua puluh limaan itu merangkulnya dari belakang.
"Hujan memang punya cara tersendiri untuk membawa kita kembali ke masa lalu."
"Betul, Oma. Hujan seringkali membawa kenangan. Kadang, aku merasa kembali ke masa-masa itu. Cerita dong Oma, tentang salah satu kenangan Oma!"
Sarah menghela napas panjang. "Ada satu cerita yang mungkin belum pernah kamu dengar. Tentang seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidup Oma. Dulu, Oma pernah jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Haris. Kami bertemu saat Oma berusia sembilan belas tahun dan dia dua puluh satu. Saat itu, Oma sedang membantu di ladang padi, dan dia sering lewat dengan sepeda tuanya."
"Apa Oma jatuh cinta pada pandangan pertama?"
"Bisa dibilang begitu. Haris selalu menyapa dengan senyuman ramah setiap kali lewat. Oma merasa hati ini berdebar setiap kali melihatnya. Akhirnya, suatu hari, dia berhenti dan membantu kami di ladang. Itu adalah awal mula kami saling mengenal." Sarah menghela nafas dan melanjutkan, "Sayangnya, Haris mendapat tawaran kerja di Jakarta. Dia memutuskan untuk pergi."
"Setelah Oma juga pindah ke Jakarta, apa Oma pernah mencari dia?"
Sarah mengangguk, "Pernah, tapi ngga ketemu. Waktu di desa kami sempat saling berkirim surat sampai akhirnya surat-surat yang kami kirim semakin jarang."
Hujan telah usai dan Mira masih memikirkan cerita neneknya tadi. Di dalam hening malam, Sarah merasakan kehadiran cinta masa lalunya dengan cara yang berbeda. Beliau tahu bahwa meskipun cinta sejatinya tidak pernah terwujud seperti yang diimpikannya, tetapi kenangan itu tetap berharga dan memberikan arti dalam hidupnya.
Esok harinya saat matahari mulai mengusir sisa hujan, Sarah masih duduk di kursi goyangnya dengan perasaan yang campur aduk. Kenangan-kenangan tentang Haris terus terngiang dalam pikirannya. Beliau memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman rumahnya untuk menikmati keindahan pagi setelah hujan.
Aroma tanah basah yang menyegarkan menyambutnya. Di antara tanaman-tanaman yang mulai tumbuh kembali, Sarah menemukan ketenangan.Â
"Aku memikirkan cerita Oma kemarin. Aku rasa, aku ingin mencari Pak Haris."
Sarah terkejut mendengar ucapan Mira, "Mencari dia? Buat apa Mir?"
"Aku ingin lihat senyum Oma. Senyuman Oma karena laki-laki itu. Oma percaya kan, aku bisa mempertemukan Oma sama dia?"
Sarah mengamati cuaca pagi yang cerah, sejenak terdiam, dan tersenyum memandang Mira, "Ya, Oma percaya!"
Hari ke hari, terus berlalu. Dengan segala daya dan upaya yang dilakukan oleh Mira, akhirnya pencarian itu membuahkan titik terangnya.
Setelah Mira mendapatkan alamat Haris dengan jelas, ia pun memutuskan untuk mengajak sang nenek pergi bersamanya. Mereka telah tiba di sebuah gedung apartemen yang tak jauh dari pusat kota. Mira bertanya kepada penjaga gedung tentang kemungkinan tinggalnya seorang pria bernama Haris.
"Nama itu... kalau ngga salah, beliau tinggal di lantai lima. Tapi, saya ngga yakin apa beliau masih tinggal di sini. Coba saya cek dulu."
Beberapa menit kemudian, penjaga itu kembali dan berkata, "Pak Haris masih tinggal di sini. Tapi, beliau sudah cukup tua dan jarang keluar."
Dengan hati berdebar, Sarah dan Mira menaiki lift menuju lantai lima. Mereka berhenti di depan pintu unit yang dimaksud. Mira mengetuk pintu dan setelah beberapa saat, pintu terbuka. Tampak seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan mata yang lembut berdiri di ambang pintu.
Sarah merasa hatinya bergetar saat melihat wajah yang familiar itu. "Haris?"
Haris menatapnya dengan kaget. "Sarah? Ini kamu, Sar?"
Sarah mengangguk. "Ya, ini aku. Aku datang untuk melihat kamu setelah sekian lama."
Di dalam apartemen yang sederhana namun nyaman, mereka duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing.
"Sarah, aku menyesal ngga bisa memenuhi janji kita. Tapi, aku ngga pernah melupakan kamu."
Sarah tersenyum, air mata merembes di sudut matanya. "Aku juga ngga pernah melupakan kamu, Haris. Kenangan kita selalu ada di hatiku."
Mira yang duduk di sudut ruangan merasa terharu melihat pertemuan itu.
"Aku sudah memaafkan segala yang terjadi di masa lalu. Yang penting sekarang... kita punya kesempatan untuk bertemu lagi." tambah Sarah"
Haris meraih tangan Sarah dengan lembut. "Terima kasih sudah datang, Sarah. Ini adalah hadiah yang luar biasa setelah sekian lama."
Hujan di ujung senja masih mengiringi pertemuan itu. Selama nafas masih tersisa, keduanya sepakat menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi, untuk mengganti waktu yang sempat hilang.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H