"Kepo lo! Ah, nyesel gue ikut eyang ke sini. Ketemu orang tengil kayak lo!"
"Lo kira gue seneng ketemu lo?" kedua orang itu malah saling melempar pandangan sinis. "Tapi ngomong-ngomong, anak lo berapa sekarang?"
Dalam hitungan detik Desy terdiam, lalu kemudian menggeleng.
"Wah, gue tau nih. Jangan-jangan lo belum nikah ya? Hahaha.. Makanya jangan judes-judes! Ternyata lo belum berubah ya Des. Dari kita SMP sampai sekarang, masih judes aja."
"Stop, stop! Nyerocos aja lo. Lo sendiri emangnya udah punya anak berapa? Sombong bener!"
"Gue? Ya.. sama sih sama lo. Belum nikah. Hahaha.." sembari tertawa, lelaki yang bernama Kris itu pergi meninggalkan Desy yang masih termangu heran di sana.
Wanita itu memaki dan menggerutu sendiri, ia lanjutkan langkahnya menuju kamar kecil.
Di malam harinya saat Desy tiba di rumah, ia langsung mengunci pintu kamar dan menangis di dalam sana. Ia menyembunyikan kekesalan dan kesedihannya di hadapan eyang putri.
Masih terngiang jelas segala ucapan yang sore tadi diucapkan oleh Kris kepadanya. Ia sadar bahwa ucapan Kris mungkin ada benarnya. Sejak dulu ia juga sudah berusaha untuk merubah tabiatnya yang kurang baik itu. Namun untuk berubah menjadi wanita yang lemah lembut, memang terasa sangat sulit baginya.
Berbulan-bulan terlewati, tapi Desy tak pernah mau lagi jika diajak eyangnya arisan. Ia sedikit trauma, ia takut jika mungkin bertemu lagi dengan seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Seperti Kris, teman semasa SMP yang lebih pantas disebut musuh bebuyutan.
Berbeda dengan Desy, di kejauhan sana Kris justru selalu kepikiran dan kecarian Desy. Lelaki itu sadar ucapannya telah menyakiti perasaan Desy. Hingga akhirnya suatu ketika Kris bertanya pada ibunya di mana alamat rumah eyang putri, Kris lalu datang ke rumah itu untuk meminta maaf pada Desy sekaligus... untuk mulai mendekatinya.